Untuk:
1. Yang terkasih: Bupati Tabanan;
2. Yang tersayang: Wakil Bupati Tabanan;
3. Yang tercinta: Ketua DPRD, Kepala Kantor Perpusda Tabanan, dan khalayak ramai.
Selamat Pagi, Siang, Sore, Malam. Semoga belum bobo.
Sebetulnya, Bu, Pak, dan sodara-sodari sekalian, saya tidak ingin surat-suratan begini. Dengan begini, sepertinya kita ada jarak. Padahal, kita bisa bicara dari hati ke hati secara intim. Tapi, apalah daya, saya juga ingin membagikan gundah gulana ini dengan warga yang lain. Jadilah curhatan ini.
Begini Bu, Pak, dan sodara-sodari sekalian. Saya ini termasuk member Perpustakaan Daerah (Perpusda) Tabanan. Sebelumnya, ngebet banget jadi member Perpusda Bali (dulu Perpustakaan Nasional). Ceritanya, ketika datang ke Perpusda Bali di Jalan Teuku Umar, Denpasar itu, saya berharap bisa langsung menjadi anggota. Sebab, koleksi buku di Perpusda Bali tampaknya lebih banyak dari Perpusda kabupaten/kota.
Sayang, harapan saya kandas. Untuk menjadi anggota Perpusda Bali itu, ternyata harus menyetor pas foto beberapa lembar. Karena tanpa persiapan melengkapi syarat itu, saya pun urung. Hingga kini, cita-cita saya itu pun belum kesampaian. Saya terlalu sibuk, atau setidaknya malas untuk datang kembali.
Sebagai pelipur lara, Bu, Pak, dan sodara-sodari sekalian, saya pun iseng ke Perpusda Tabanan di kompleks Kantor Bupati Tabanan Jalan Pahlawan. Terus terang lupa tanggal dan bulannya, tapi sekitar tahun 2016 ini, setelah batal jadi anggota Perpusda Bali. Kedatangan ini yang kedua. Kedatangan yang pertama, lupa, mungkin sekitar tahun 2012-an. Pokoknya sudah lama. Dan lupa merupakan salah satu penyakit saya yang paling akut.
Di kedatangan yang pertama itu, saya mengira akan langsung menjadi anggota Perpusda Tabanan. Ternyata, saya belum memenuhi syarat. Syaratnya kala itu, saya harus mengisi blangko yang harus ditandatangani klian dinas. Lagi-lagi, karena sibuk, atau karena malas, saya tak sempat anjangsana ke rumah Pak Klian.
Baru di kedatangan yang kedua ke Perpusda Tabanan, sebetulnya ini iseng mau lihat-lihat, ternyata aturan lama sudah tak berlaku. Begitu saya datang, langsung isi formulir, langsung foto di tempat, dan kartu anggota pun langsung jadi. Ini kemajuan. Saya salut. ”Dapat bantuan dari pusat,” aku staf Perpusda ketika saya tanya soal alat perekam calon anggota, lengkap foto langsung itu. Dan di hari itu juga, saya diperbolehkan untuk meminjam buku.
Ruangan Perpusda Tabanan itu memang tidak besar. Hanya sebesar ruangan kelas di TK, tempat anak saya sekolah. Kira-kira 6×10 meter. Koleksi bukunya juga tidak banyak-banyak amat. Dari bacaan anak-anak, novel, keterampilan, olah raga, ilmu alam, hingga hukum, sosial, politik dan agama. Filsafat juga ada. Dan ternyata, komik-komik manga tersedia, meski tak banyak pula.
Terus terang saja, Bu, Pak dan sodara-sodari sekalian, saya sedang gandrung dengan buku-buku sastra, novel khususnya. Sayang, koleksinya tak banyak juga. Bahkan, novel-novel karangan Pramoedya Ananta Toer, kandidat peraih nobel sastra itu, tak bisa saya temukan. Tetralogi Pulau Buru dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, hingga Rumah Kaca, yang menceritakan tumbuhnya nasionalisme Indonesia, tak meninggalkan jejak di perpustakaan ini.
Pun demikian dengan Arus Balik, kisah kemunduran Nusantara pasca runtuhnya Majapahit. Atau Arok-Dedes, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, Mangir, Jalan Raya Pos, Panggil Aku Kartini Saja, hingga Gadis Pantai. Belum lagi karya berjudul Midah si Manis Bergigi Emas, Bukan Pasar Malam, Perburuan, Cerita dari Blora, Korupsi, Dongeng Calonarang, dan sederet judul lainnya. Aneh. Saya tak bertemu dengan Pram sama sekali.
Bila buku sastrawan besar yang karyanya diterjemahkan ke puluhan bahasa di dunia, bahkan jadi bacaan wajib di luar negeri, saja tidak ada, maka, jangan berharap ada koleksi dari penulis muda potensial macam Eka Kurniawan dengan Lelaki Harimau. Atau para penulis muda lainnya, contoh Puthut EA, kepala suku Mojok.co. Buku-buku karya penulis Bali, macam Cok Sawitri, bahkan dari sastrawan asal Tabanan, Gusti Samar Gantang pun alpa. Dan kalau Anda sempat ke toko buku Gramedia, atau Toga Mas di Denpasar, lalu berharap buku-buku yang terpajang di rak itu, juga terdapat di Perpusda Tabanan, sepertinya Anda salah duga. Karena bisa saya yakinkan, buku-buku novel di Perpusda kebanyakan nomor lawas. Yang terbitan baru masih sedikit, dan kurang menarik minat baca saya.
Buku tentang politik memang ada. Tapi tidak banyak. Bahkan, buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBR) tulisan Sukarno pun entah di sudut rak yang mana. Saya tak menemukan. Apalagi Revolusi Belum Selesai, juga tulisan Bung Besar setelah G30S alias Gestok, itu. Saya hanya menemukan tulisan Bung Karno yang berjudul Sarinah. Bukunya sudah lusuh, dan sebagian digerogoti rayap. Tampaknya, itu satu-satunya buku Sukarno. Tulisan Cindy Adam, atau penulis-penulis lain tentang atau seputar BK juga langka.
Semua dari kita pasti tahu, Ibu Bupati dan Bapak Wakil Bupati Tabanan, berikut partai penguasa di “negeri” Tabanan ini adalah kader PDIP. Dan Anda tahu, partai ini selalu jualan Bung Karno untuk menarik (suara) massa di musim Pemilu. Sampai-sampai, perempatan Kediri pun dipasang patung ayah biologis dari Ketua Umum DPP PDIP Megawati, berikut mengubah nama Jalan By Pas Kediri-Pesiapan menjadi Jalan Ir. Sukarno.
Terus terang, saya khawatir, kita, termasuk Bupati dan wakilnya segenap kader PDIP sedang mewarisi abu Sukarno, bukan apinya. Hanya simbol-simbol patung, nama jalan yang menjadi pengingat kita terhadap pejuang yang satu ini. Kita tidak pernah membaca tulisan-tulisannya yang selalu bersemangat, penuh gelora.
Mungkin ada yang berkata sinis, memangnya dengan adanya buku-buku tulisan Bung Karno atau tulisan sejumlah penulis tentangnya bisa membuat pembaca langsung berubah menjadi seorang progresif revolusioner. Atau apakah setelah membaca tulisan Mencapai Indonesia Merdeka, salah satu judul di buku DBR I, lantas pembaca langsung ikut partai atau membuat partai pelopor. Saya kira, bukan di situ perdebatannya.
Ibu, Bapak, dan sodara-sodari sekalian, buku DBR yang ada dua jilid dan tebalnya minta ampun itu tidak bisa semua orang memiliki. Bukan karena pihak penerbit mencetak terbatas. Kalau soal cetak-mencetak, ini soal hukum suplay dan demand saja. Tapi, ketakberdayaan untuk memiliki buku ini karena memang harganya tak murah. Bagi orang miskin, membeli buku yang dua jilid itu bisa tidak makan selama sebulan. Dan bagi mahasiswa, maka jatah bulanannya langsung ludes. Dan bagi orang seperti saya, uang Rp 500 ribu, cukup berharga.
Meski demikian, saya yakinkan diri, saya harus memiliki dua jilid buku itu, walau sudah sempat membaca sepintas-pintas di online. Oiya, satu lagi buku Revolusi Belum Selesai yang merupakan kumpulan tulisan atau pidato Bung Karno pasca G30S ini juga penting lho. Ini adalah tulisan-tulisan atau pidato terakhir si Bung Besar menjelang dikudetamerangkak Soeharto dkk, pendiri rezim Orde Baru.
Ya, untuk memiliki buku-buku macam itu, dan masih banyak buku lainnya, tentu perlu banyak menyisihkan uang jajan, dan rokok buat orang seperti saya. Setelah selesai dibaca pun, bisa jadi buku itu hanya akan jadi pajangan di rak buku, karena saya tidak akan mengizinkan (lagi) bagi teman yang meminjam buku-buku itu untuk dibawa pulang. Karena saya kapok meminjamkan buku, lantaran kerap tak kembali.
Hal ini akan berbeda seandainya buku-buku itu ada, dan memenuhi rak-rak Perpusda, dan setiap tahun terus mengupdate buku-buku terbaru, serta berburu yang lawas yang belum dikoleksi. Dengan dimassalkan, saya yakin itu akan lebih murah. Lebih banyak yang membaca. Dan semoga bisa mencerahkan dan mencerdaskan. Karena, Perpusda adalah milik bersama. Dan buku adalah jendela dunia. Kalaupun setelah dikoleksi, lalu tidak ada yang meminjam atau membaca, setidaknya Perpusda sudah berusaha. Sudah memberikan syarat bagi masyarakat untuk dapat mengakses bacaan.
Mungkin, buku-buku yang saya sebutkan itu kurang menarik. Atau Pak Kepala Perpusda bukan tipe orang yang suka membaca. Semoga saya salah kira. Saran saya, sekali-kali, atau mudahan periodik sebulan sekali, Pak Kepala Perpusda bisa jalan-jalan bersama istri, dan anak, juga ajak para pegawai untuk berwisata ke toko buku konvensional macam Gramedia atau Toga Mas di Jakarta. Semoga bapak tahu lokasinya.
Kalau nggak tahu juga, kebangeten, Pak. Atau, bila Pak Kepala Perpusda rajin berselancar di internet, atau minimal gemar main gadget, sebaiknya keluarkan sedikit paket data untuk mengunjungi sejumlah toko buku online. Semoga setelah itu bisa tercerahkan, dan mau nambah koleksi di Perpusda yang membuat gairah membaca saya kembali menggelora. Dan jangan-jangan, buku berjudul Megawati dalam Catatan Wartawan: Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat yang diluncurkan Rabu (23/3/2016) juga tidak ada.
Kalau buku-buku seperti itu saja nihil di rak-rak buku Perpusda Tabanan, maka saya mau bilang untuk khalayak ramai, jangan berharap ada buku-buku berbau kiri. Buku-buku kiri, mau kiri mentok, garis keras hingga kiri lembut, tidak akan ada di sana. Kalau pun ada, buku tentang kiri itu versi Orde Baru. Tentu, Anda tahu, Tabanan ini dikuasai PDIP, bukan Partai Golkar lho. Anda juga jangan berharap ada buku-buku macam The Indonesian Killings (Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966) yang dieditori Robert Cribb, atau buku Ngurah Suryawan, salah satu antropolog Bali yang kini jadi dosen di Papua Barat, Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965.
Yang cukup mengagetkan, jika karya Bung Karno begitu minim, di Perpusda Tabanan itu ternyata ada buku berjudul Mein Kampf alias Perjuanganku. Ya, itu karya pemimpin besar Nazi, Adolf Hitler. Anda mungkin tahu, buku yang ditulis Hitler saat di penjara karena pemberontakan yang gagal, itu turut melahirkan Holocaust, pembantaian bangsa Yahudi. Semoga, setelah membaca buku ini, kita tidak menjadi manusia yang ultranasionalis, atau ultrakedaerahan, yang mengikis persaudaraan, kemanusiaan. Singkatnya, jangan sampai kita menjadi fasis, seperti Orba, dulu yang membantai jutaan nyawa manusia. Oiya, saya hampir lupa, di Perpusda Tabanan juga banyak buku pidato Soeharto ketika jadi presiden lho. Siapa tahu ada yang kangen.
Dan untuk Pak Ketua DPRD Tabanan, yang juga kader PDIP, semoga keluhan saya ini bisa ”ditampung”. Ya, ”ditampung”, Pak, bukankah demikian kata yang lazim untuk menenangkan massa?. Kalau dirasa keluhan ini mustahil dipenuhi, boleh kok dibuang ke keranjang sampah, dan bapak yang juga seorang seniman, bisa melanjutkan minum-minum bir sambil bernyanyi asyik di gedung ”DPRD Sanggulan”.
Dan dengan segala kekurangannya, saya masih setia dengan Perpusda Tabanan. Tetap meminjam buku untuk saya sendiri, dan kedua anak saya, meski kerap telat mengembalikan. Berikut berharap ke depan, koleksi Perpusda Tabanan bisa lebih lengkap ketimbang toko buku, atau pasar buku bekas. [b]
Comments 2