Sri Rabitah, 25 tahun, tak mampu berkata-kata.
Perempuan dari Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini berkomunikasi dengan tulisan cakar ayam di atas kertas putih. Dia menulisnya sambil terbaring di kasur ruang perawatan intensif (ICU) Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar.
Di balik lemah tubuhnya, Rabitah teguh pada permintaannya. Dia terus minta es cincau pada Rahmi Indrawati yang mendampinginya selama di RSUP Sanglah.
Rahmi, yang biasa disapa Mimi, adalah aktivis Lembaga Advokasi Rakyat untuk Demokrasi. Organisasi ini mendampingi para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari NTB.
Rabitah mantan tenaga kerja wanita (TKW) di Qatar. Dia dibawa ambulans ke Bali Jumat dini hari pekan lalu setelah dirujuk dari rumah sakit di Mataram.
Rabitah dirawat di ruang intensive care unit (ICU) RSUP Sanglah. Ketika kami berkunjung, dia masih terlihat lemah.
Dia kemudian menuliskan pesan di selembar kertas pada perawat. Isi pesannya minta es cincau, lapar, dan kapan dioperasi karena perut terus sakit. Akhirnya pada Senin malam lalu ia menjalani bedah perut untuk penanganan peradangan dan robekan di kandung kemih.
Kadek Nariyantha, Kepala Humas RSUP Sanglah Denpasar mengatakan pihaknya fokus pada penanganan medis yang mengakibatkan pasien sangat kesakitan di bagian perut. Saat ini kondisi pasien sudah sadar setelah kritis saat dirujuk dari Lombok.
Diagnosisnya perotinitis generalisata atau dugaan peradagangan di perut. “Pasien juga mengalami anemia, hemoglobin rendah, dan tidak bisa berak seminggu,” papar pria ini. Inilah yang menjadi prioritas penanganan.
Soal kondisi ginjal pasien, Nariyantha mengatakan belum ada pemeriksaan detail karena konsentrasi tim medis ke masalah darurat perut yang dikeluhkan pasien.
Kejahatan Organ Tubuh
Sri Rabitah diduga mengalami kejahatan organ tubuh yakni penggantian atau pengambilan ginjal saat bekerja di Qatar pada 2014. Namun ini masih perlu dibuktikan.
Sejauh ini, temuan yang sudah ada adalah Rabitah juga korban perdagangan manusia (human trafficking). Dia diduga mengalami kekerasan dalam proses penampungan.
Hal ini disampaikan Muhammad Shaleh, Koordinator Wilayah NTB Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran (PBHBM) yang tiba di Denpasar pada Selasa (14/3) lalu.
Soal dugaan trafficking, Shaleh menyebut salah satu indikasinya adalah dugaan pemalsuan dokumen. Dalam dokumen-dokumen penempatan kabupaten dan provinsi dicantumkan akan bekerja di Oman, namun malah dipekerjakan di Qatar melalui Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Serang, Banten.
Ia menyebut hal ini terbuka saat diskusi dengan anggota DPRD NTB di Lombok pada Senin kemarin. “Ini sudah penipuan dan pelanggaran HAM,” cetus pria ini dalam diskusi internal dengan sejumlah aktivis perempuan dari lembaga pendampingan hukum di Bali.
Selain itu ada pengakuan dari Sri Rabitah soal penyiksaan. Menurut Shaleh, bentuk penyiksaannya menggunakan pentungan dan pukulan-pukulan saat di agensi di Qatar. “Penyiksaan dilakukan karena dianggap korban tidak becus bekerja,” kata Shaleh.
Ni Nengah Budawati dari Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Center meenyatakan ia dan sejumlah aktivis dari lembaga lain siap mendampingi di Bali termasuk pemantauan dan penanganan psikologis korban. “Bisa jadi ini banyak kasus lain seperti ini, kita harus bersolidaritas,” kata mantan ketua LBH APIK Bali ini.
Kronologi
Dalam kronologis disebutkan pada 2014 setelah pulang dari Malaysia korban ditawari untuk bekerja ke Abu Dhabi oleh seorang calo perempuan bernama Ulfah dari kecamatan sama dengan Rabitah.
Ia diajak melaksanakan pemeriksaan kesehatan ke Mataram.
Setelah korban dinyatakan sehat, korban dibawa ke perusahaan penyalur tenaga kerja PT Falah Rima Hudaity Bersaudara di Jakarta untuk menjalani pelatihan untuk penempatan.
Namun Rabitah bekerja di Doha, Qatar pada majikan yang disebutnya Madam Gada, asli Filipina. Korban bekerja selama satu minggu dengan jenis pekerjaan Penata Laksana Rumah Tangga dalam rumah berlantai empat.
Di dalam rumah ini tinggal majikan suami istri dan ibu dari majikan yang sedang sakit. Korban tidak tahu ibu dari majikan sakit apa. Karena saat korban tanya majikan tidak mau memberikan penjelasan.
Selama satu minggu bekerja tidak ada keluhan sakit apa-apa. Pada hari keenam, sang majikan perempuan mengajak Rabitah ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya. Padahal dia merasa tidak sakit apa-apa.
Beberapa kali korban memberikan penjelasan bahwa dirinya sehat dan tidak ada keluhan apapun. Tetapi majikan perempuan tetap memaksanya untuk ke rumah sakit.
Korban dipaksa masuk ke ruangan operasi yang di dalamanya ada lampu-lampu sangat terang, serta beberapa peralatan operasi. Saat korban bertanya lagi, sang majikan mengatakan akan mengangkat penyakit korban. Selanjutnya korban di suntik. Selama kurang lebih lima jam korban baru sadar.
Ketika sadar, didapati korban sedang diinfus pada kedua tangannya, tabung oksigen pada hidungnya, serta selang beirisi darah yang dari dalam tubuh yang dialirkan pada kantong darah. Selanjutnya sang majikan memberikan penjelasan pada korban agar tenang. Bahwa penyakitnya sudah diangkat.
Dari Rumah sakit korban tidak langsung dibawa kembali ke rumah majikan. Tetapi korban langsung dibawa ke agensi di Qatar (agency awal pendisbusi PLRT). Saat itu majikan sudah memasukkan semua pakainaanya dalam koper korban. Selanjutnya korban dipekerjakan pada tiga majikan, dimana di masing-masing majikan korban hanya bisa bekerja selama satu hari. Korban tidak bekerja karena merasa badannya sakit sekali pada bagian bawah perutnya.
Pada majikan ketiga Sri Rabitah mendapatkan pertolongan dengan cara menjelaskan pada agensi bahwa korban benar-benar sakit dan harus dirawat serius. Karena jika tidak, kondisinya akan bertambah parah.
Berangkat dari informasi ini selanjutnya agensi memulangkan korban ke Indonesia.
Selanjutnya korban dipulangkan ke Indonesia dan tanpa membawa gaji serupiah pun. Tetapi korban hanya bisa sampai di Surabaya. Karena korban tidak punya uang untuk pulang, akhirnya meminta bantuan polisi.
Sekitar Juli 2014 korban sampai dirumah dan beraktivitas seperti biasa dan sering sakit. Pada Februari 2017 korban memeriksa kesehatan ke puskesmas setempat, selanjutnya dirujuk ke RSUD Tanjung Lombok Utara, kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Provinsi Nusa Tenggara Barat.
“Nah di sini mulai kehebohan. Pihak rumah sakit bertanya apakah korban pernah menjual ginjalnya atau menodor ke orang lain. Pihak korban bingung dan menjelaskan tidak pernah,” jelas Shaleh.
Versi lain, ginjalnya masih ada hanya salah satu terlihat kecil. Ada benda seperti selang atau kateter dalam tubuhnya. Shaleh berharap pemerintah menelusuri kasus ini dan memberikan bantuan hukum untuk korban dan penanganan kesehatannya.
Seorang bayi perempuan empat bulan menunggu di Lombok untuk kembali disusui Rabitah. Sementara suaminya juga menjadi buruh migran di Malaysia. [b]