Seni lukis jalanan ikut tampil di ajang Forum Budaya Dunia.
Galeri Nasional Indonesia bekerja sama dengan Bentara Budaya Bali menyelenggarakan pameran street art. Pameran ini termasuk rangkaian World Culture Forum (WCF) 2016 pada 10-14 Oktober 2016.
Sejumlah komunitas dan seniman mural menghadirkan karya-karya terpilih di halaman terbuka Bentara Budaya Bali, di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No. 88A, Ketewel, Gianyar pada 9 hingga 16 Oktober 2016 nanti.
Para seniman street art yang terlibat kali ini tergabung dalam Komunitas Pojok, Komunitas Djamur dan Slinat. Mereka berkarya secara on the spot di Bentara Budaya Bali, sebagaimana proses cipta alami mereka selama ini.
Secara khusus, para seniman ini berkarya dengan merujuk tajuk “Budaya untuk Bumi yang Terbuka, Toleran dan Beragam”, sebentuk respon kreatif atas tema utama WCF 2016.
Pameran Seni Visual Jalanan ini juga mengundang Komunitas Batu Belah (Wayan Sujana ‘Suklu’). Seniman ini tidak hanya dikenal dengan karya-karyanya dua dimensi, tapi juga tiga dimensi, termasuk seni instalasi di ruang publik.
Karya-karya Suklu berangkat dari tafsir pribadinya pada kearifan lokal sekaligus mengkontekstualkannya dengan masalah Bali kini.
Kepala Galeri Nasional Indonesia, Tubagus ‘Andre’ Sukmana mengatakan pameran mural ini merupakan bentuk partisipasi aktif para seniman mural dengan karya-karya yang mengetengahkan tentang budaya untuk bumi yang terbuka, toleran, dan beragam.
“Itu sejalan dengan tema utama WCF 2016 kali ini,” tuturnya.
Mural atau juga dikenal dengan seni visual jalanan adalah salah satu bentuk seni visual yang mengambil tempat di ruang-ruang publik. Para seniman street art lahir dari proses perubahan sosial kultural yang panjang, hakekatnya adalah respon kreatif atas kenyataan zaman.
Keberadaan mereka adalah bagian dari pertarungan ideologi, pergeseran sosial kultural dan saling silang paradigma. Termasuk dinamika yang dipicu kemajuan teknologi informasi.
Demikian pula cikal bakal tumbuhnya komunitas dan seniman street art di Bali, misalnya Komunitas Pojok, Slinat dan Komunitas Djamur, semangat mereka adalah bagian dari dinamika reformasi yang menolak hegemoni terpusat.
Mereka berjuang merayakan kebebasan penciptaan, yang dalam hal tertentu dipandang terkungkung oleh institusi mapan semacam galeri, berikut peristiwa-peristiwa seni yang serba hierarkis dan dibatasi oleh kategoris.
Tubagus berharap pameran ini mendapat apresiasi dari masyarakat luas dan dapat memberi semacam sentuhan baru bagi perkembangan seni mural di Indonesia.
Belakangan ini para seniman kerap menghadirkan tema-tema besar dan ikon-ikon global. Seakan dengan itu mereka menjadi bagian dari pergumulan kekinian. Namun, melalui pameran street art ini, diharapkan lahir satu kesadaran menyikapi kenyataan di kampung halaman sendiri yang dapat dimaknai sebagai cerminan problematik universal yang lintas kultural.
Selain itu, respons para perupa di satu sisi, diharapkan dapat berperan sebagai seruan kesadaran ekologis. Di sisi lain sebagai tawaran ekspresi lokal yang bermakna universal.
WCF 2016
WCF adalah forum untuk merumuskan landasan kebudayaan guna membangun dunia yang lebih inklusif dan lestari. WCF 2016 merupakan hasil kerja sama Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama UNESCO.
Tahun ini WCF diikuti sekitar 1.500 delegasi. Delegasi terdiri dari para kepala negara, pemenang hadiah nobel, menteri kebudayaan, pakar kebudayaan, LSM, budayawan, akademisi, dan praktisi budaya dari berbagai negara. Ada juga 30 pembicara.
Selain Pameran Mural, Galeri Nasional Indonesia juga mengadakan pameran bertajuk “Take a Closer Look to the National Gallery of Indonesia”. Pameran pada 10–14 Oktober 2016, di Bali Nusa Dua Convention Center ini mengetengahkan dua reproduksi (repro) lukisan karya pelukis maestro Indonesia.
Karya-karya tersebut di antaranya repro lukisan berjudul Kapal Dilanda Badai (1851) karya Raden Saleh Syarif Bustaman, media cat minyak pada kanvas, ukuran 74,5 cm x 97 cm dan repro lukisan Ibuku (1941) karya Affandi, media cat minyak pada kanvas, ukuran 42,8 x 34 cm.
Selain itu, disediakan pula berbagai bahan informasi tentang Galeri Nasional Indonesia, sehingga pengunjung dapat memperoleh informasi dan mengenal secara langsung tentang Galeri Nasional Indonesia dan berbagai kegiatan maupun programnya.
Dengan dihelatnya program sinergi dalam rangka WCF 2016 ini, Galeri Nasional Indonesia bermaksud untuk menunjukkan peran serta eksistensinya dalam mengenalkan dan mengembangkan seni rupa Indonesia.
“Ajang ini juga untuk memberikan edukasi, memperkaya wawasan, pengalaman, dan meningkatkan kreativitas masyarakat di bidang karya rupa. Selain itu juga menjadi wadah penyaluran aktivitas dan kreasi seni rupa, serta menjadi ruang ekspresi yang positif bagi publik,” ungkap Tubagus.
Selain sinergi WCF 2016, Galeri Nasional Indonesia telah berkali-kali menyelenggarakan program dukungan termasuk Workshop Seni Rupa (Drawing) di Papua (2014), Workshop Melukis Mural di Kupang–Nusa Tenggara Timur (2015), Workshop Melukis di atas T–Shirt di Manado–Sulawesi Utara (2016). Ketiga program tersebut merupakan dukungan dalam acara Temu Karya Taman Budaya (TKTB) se-Indonesia.
Selain itu, program dukungan/sinergi juga pernah digelar dalam rangka Pameran Seni Rupa Internasional Biennale Terracotta 1st di Yogyakarta (2015), Workshop Seni Lukis dalam rangka Pra–Biennale 2015 di Makassar (2015), dan Workshop Seni Lukis di Malang–Jawa timur (2016) dalam rangka Pekan Budaya Indonesia 2016. [b]