Oleh Anton Muhajir
Sertifikasi organik dan fair trade belum menjadi perhatian petani di Indonesia saat ini. Padahal sertifikasi akan meningkatkan harga produk pertanian terutama untuk komoditas ekspor. Demikian dikatakan Indro Surono, Board of PT Biocert, lembaga sertifikasi untuk produk pertanian di Denpasar akhir pekan lalu.
Indro, yang juga perwakilan lembaga sertifikasi dari Swiss, Institute for Marketecology (IMO) di Indonesia, mengatakan saat itu dalam seminar Social and Fairtrade: Toward Responsible and Fair Business in Agriculture. Seminar sehari itu diikuti petani, mahasiswa, perusahaan pengolah hasil pertanian, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan Dinas Pertanian.
Menurut Indro, saat ini baru sekitar 1200 petani di Indonesia yang memiliki sertifikasi produk organik dan fair trade. Padahal jumlah petani di Indonesia hampir mencapai 50 persen penduduk Indonesia saat ini atau sekitar 100 juta. “Jadi sangat kecil petani yang sudah peduli masalah sertifikasi,” katanya.
Sedikitnya petani yang memiliki sertifikasi tersebut, kata Indro, karena biaya untuk sertifikasi memang relatif mahal. Untuk satu kali sertifikasi harganya bisa sampai Rp 40 juta per tahun. Karena itu muncul adanya Internal Control System (ICS) di mana petani secara berkelompok bisa menjadi penilai sendiri atas kualitas yang mereka miliki.
Sertifikasi, kata Indro, penting untuk meningkatkan harga produk pertanian terutama yang diekspor. Komoditas untuk perdagangan internasional tersebut antara lain kopi, kakao, kacang mete, dan semacamnya.
Menurutnya, selama ini ekspor produk pertanian dari Indonesia sering kali kalah sama produk dari negara lain karena alasan belum memenuhi standarisasi negara tujuan ekspor.
“Adanya sertifikat sebagai produk organik dan fair trade akan membuat komoditas itu lebih bisa diterima pasar internasional karena konsumennya lebih peduli pada isu-isu keberlanjutan ataupun lingkungan,” kata Indro.
Salah satu kelompok tani yang sudah mendapat sertifikat dari IMO, lanjutnya, adalah petani-petani jambu mete di Kubu, Karangasem. Sejak 2006 lalu, sekitar 400 petani yang tergabung dalam lima subak abian itu sudah mendapatkan sertifikasi bahwa produk mereka sudah memenuhi standar organik dan fair trade.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Seksi Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Dinas Perkebunan Provinsi Bali Dewa Made Sutamba Wijaya menambahkan bahwa saat ini Kecamatn Kubu Karangasem memang menjadi salah satu sentra jambu mete di Bali selain Seririt dan Gerokgak di Buleleng.
Komoditi unggulan Bali sendiri antara lain kopi arabika, kopi robusta, kakao, jambu mete, panili, dan kelapa.
Menurut Wijaya, sertifikasi fair trade sangat penting bagi komoditas perkebunan dari Bali. Fair trade dalam isu pertanian, katanya, harus berdasarkan pada tiga hal yaitu transparansi, partisipasi, dan tidak diskrminatif.
“Adanya transparansi akan membuat petani maupun konsumen memperoleh informasi yang jelas mengenai komoditas pertanian yang diperdagangkan,” kata Wijaya. Sedangkan partisipasi berarti produsen juga terlibat berperan aktif dalam menentukan harga tanpa harus mengorbankan kepentingan petani.
Fair trade, lanjutnya, bisa jadi alternatif untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani, membangun model kemitraan antara produsen dan konsumen, memperhatikan isu lingkungan, serta melindungi anak-anak dari eksploitasi tenaga kerja. [b]