Secara akademis, Luh Gede Saraswati Putri sebenarnya filsuf tulen.
Perempuan kelahiran Denpasar 35 tahun lalu ini menyelesaikan studi strata satu hingga doktor di Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Saat ini, dia mengajar di almamaternya.
Perempuan yang akrab dipanggil Saras atau Yayas itu bahkan pernah menjadi ketua jurusan pada 2011-2017.
Toh, Saras tak hanya dikenal sebagai dosen, pekerjaan utamanya saat ini. Sebelumnya dia lebih dulu dikenal sebagai penyanyi. Selain mengajar sehari-hari, Saras juga terlibat dalam gerakan sosial lingkungan baik di Bali, tanah kelahirannya, ataupun di Jakarta, tempat tinggalnya saat ini.
Dalam isu lingkungan, misalnya, dia aktif dalam gerakan menolak reklamasi baik di Teluk Jakarta maupun Teluk Benoa.
Istri personel NTRL Christopher Bollemeyer itu juga menulis buku Ekofenomenologi (2015) yang menguraikan ketimpangan hubungan antara manusia dengan lingkungan. Dalam situs ulasan buku Goodreads, salah satu pembaca menyebut buku ini menawarkan perspektif lain dalam memahami alam.
Ada pula yang menyebut buku Saras ini sebagai bahan perenungan untuk kita yang acap kali masih melupakan bumi dan seluruh elemen semesta lain yang menyertainya.
Pada saat Nyepi awal Maret lalu, Saras mudik ke tanah kelahirannya, Desa Sumerta di Denpasar. Seperti kebiasaannya empat tahun terakhir, dia mengaku selalu pulang ke Bali saat ini. Dia menghabiskan Pengrupukan, hari sebelum Nyepi, di Desa Geriana Kauh, Karangasem tempat di mana dia meneliti tarian sakral Sang Hyang Dedari yang dihidupkan kembali setelah lama mati.
Usai Nyepi di Denpasar, dia akan sembahyang saat Ngembak Geni di Tanjung Benoa, di mana dia juga terlibat dalam gerakan menolak rencana reklamasi di kawasan ini.
Mumpung Saras sedang mudik, saya tertarik untuk mewawancarainya seputar pandangannya pada isu lingkungan di Bali. Juga apa relevansi Nyepi bagi upaya pelestarian lingkungan saat ini.
Wawancara ini pernah dimuat di Mongabay dan diterbitkan kembali di sini.
Apa pentingnya Nyepi ketika Bali menghadapi banyak isu kerusakan lingkungan?
Penting sekali karena ini menunjukkan bahwa Bali masih menjadi simbol harapan. Ada perubahan berorientasi lingkungan oleh publik luas secara luas dan sadar. Saat Nyepi, kekuatan partisipasi publiknya besar. Ini jadi oase di antara karut marutnya lingkungan.
Di sisi lain ada terobosan-terobosan seperti kebijakan Wali Kota (Denpasar) untuk mengeluarkan instrumen hukum yang mengatur sampah plastik sekali pakai. Itu menunjukkan bahwa bila kita punya keterwakilan yang bisa diajak bertukar pikiran megenai lingkungan hidup, maka bisa ada keselarasan antara kebutuhan lingkungan hidup, manusia, ekonomi, dan penyelenggaraan pemerintahan.
Ketika begitu banyak masalah (lingkungan di Bali), ada kemauan untuk memperbaiki. Dengan kecerdasan lokal yang digunakan, saya lihat keinginan masyarakat untuk memperbaiki lingkungan hidupnya itu puncaknya ada di Nyepi.
Apa tantangan utama lingkungan Bali saat ini?
Kalau saya lihat, tantangan masyarakat di Bali bermacam-macam: perkotaan, pegunungan, dan pesisir. Tiga wilayah itu diserang pembangunan infrastruktur yang tidak berkelanjutan secara lingkungan.
Saya rasa Bali terkepung sekali dengan kepentingan pembangunan yang mengurangi roh Bali. Tapi, saya melihat ada upaya perlahan-perlahan meskipun tertatih-tatih untuk memperbaiki. Generasi ke depan masih punya hati nurani untuk memperbaiki.
Cuma problemnya klasik, hati-hati ada kesenjangan antara pemerintah dan publik. Karena banyak pembangunan yang menindih masyarakat. Nyepi bisa jadi momentum untuk memperbaiki. Saya merasa Bali mulai punya harapan.
Saya lihat kejeniusan lokal itu ada upaya sporadis untuk memperbaiki. Misalnya di pertanian ada upaya menghidupkan kembali benih lokal seperti di Karangasem. Di pesisir warga terlibat tolak reklamasi dan menyehatkan mangrove. Di kota, saya tidak membayangkan di Denpasar akan ada ogoh-ogoh tanpa styrofoam. Ada kesadaran anak muda bahwa kalau mau membunuh hawa nafsu, harus dengan memerhatikan lingkungan. Hal-hal yang tadinya simbolik, sekarang mulai menjadi harapan. Itu keren banget.
Nyepi dianggap ideal, tetapi setelah itu apa yang perlu dilakukan agar tidak lewat begitu saja?
Saya rasa kalau menghayati Nyepi secara romantis saja bawaannya jadi terlalu mengkhayal Bali yang eksotis saja. Bagaimana membuatnya menjadi nyata, itu yang jadi tantangan. Saya belajar dari warga desa. Awalnya saya tidak tahu apa-apa tetapi setelah ke desa saya jadi tahu. Oh, ada kekuatan besar yang masuk, seperti rencana reklamasi di Tanjung Benoa, tetapi mereka bertahan meskipun dengan begitu banyak persoalan.
Begitu juga di Geriana Kauh (Karangasem). Mereka sempat mengalami kerusakan lahan pertanian akibat Revolusi Hijau, tetapi mereka bangkit lagi. Dengan kesabaran dan tanpa bantuan siapapun kecuali dengan tekad. Saya jadi belajar bahwa gerakan sosial bermula dari kesadaran masyarakat.
Di Bali, ciri khasnya komunitas mendahului individu meskipun saya sempat menanyakan di mana individu jika tidak dibiarkan jadi kritis. Tetapi, sekarang saya paham konteks individu di komunitas Bali itu tidak sama dengan Jakarta. Di Jakarta pun kita coba bangun sosialisasi apapun, mengenai gerakan perempuan atau reklamasi Jakarta, memang khas adatnya beda. Kalau di sini sudah ada perangkat yang mudah untuk diterapkan. Jadi buat saya itu keunggulan juga.
Saya sendiri tidak tahu kalau tidak belajar sama warga bagaimana mengubah itu jadi realis, gerakan sosial yang masif. Tadinya saya juga tidak terbayang bahwa perubahan bisa antara lain dari budaya. Ternyata budaya tidak berdiri sendiri dari spiritualitas. Ternyata budaya, spritiualitas, dan ekonomi itu satu.
Tadinya banyak keheranan dan pertanyaan, kecerdikan masyarakat untuk nertahan itu luar biasa. Tinggal bagaimana pemerintah melihat itu. Masyarakat sudah berjuangnya itu sudah maksimal.
Komunalisme ketika dipraktikkan dalam keseharian yang tidak hanya ritual itu apa?
Kalau saya belajar dari Geriana Kauh itu bahwa mulanya ada ritual lalu ritual itu punah dan kini dihidupkan kembali. Kerja-kerja rekonstruksi itu kan butuh kerja kolektif. Apa yang saya lihat saat kerja kolektif adalah bagaimana pengetahuan itu dijaga. Saat membahas fungsi berkesenian, kita abai sama prosesnya. Bahwa kerja kesenian itu sebenarnya mengikat satu sama lain. Tapi orang-orang sekarang mulai berpikir apakah ini ada daya jualnya? Apakah bisa jadi komoditas? Orang Bali keburu melihatnya sebagai hal tangible dan atraksi wisata.
Saya tidak bilang jangan memiliki dorongan ekonomi. Namun, ekonomi yang memiliki orientasi pada masyarakat itu juga penting. Itu belum dihayati. Makanya program pemerintah cenderung eksploitatif. Saya sempat kritik Kemenpar (Kementerian Pariwisata) soal rencana membuat “10 Bali baru”. Itu menghilangkan ciri khas masyarakat setempat. Itu tindakan yang membunuh pengetahuan masyarakat yang dijaga secara kolektif.
Apa contoh kerja kolektif di Bali untuk menjaga lingkungan?
Contoh kerja-kerja kolektif di Bali itu subak. Saat rapat subak itu mau raja ataupun petani, semua setara. Itu demokrasi paling radikal. Petani di Geriana Kauh bercerita bahwa ada pembagian subak itu peninggalan kuno, tetapi karena sudah ada alih fungsi, maka terancam. Jika begitu, di manakah kenangan kita pada demokrasi?
Subak itu fungsi komunal yang sudah tergerus. Secara inheren, subak itu kerja. Menurut filsafat, dia itu indah, baik, dan benar. Ciri khas Tri Hita Karana (konsep keseimbangan manusia dengan alam, manusia, dan Tuhan menurut Bali) itu kan mencari keselarasan, mengakomodir hal-hal tersebut. Itu juga bagian dari upaya yang dihidupkan kembali di Geriana Kauh dan berhasil.
Pemerintah seharusnya melihat itu. Kalau membuat kebijakan, mereka melihat dulu ke bawah, ke desa. Bukan sebaliknya. Akibatnya ya seperti di Bali saat ini. Bali sejak zaman moi indie sudah jadi produk. Mau dibilang bahwa Bali itu diampuni pada masa penjajahan, dia tetap produk. Pada masa kolonial, Soekarno, sampai Wisata Halal juga produk. Bali versi Eat Pray Love juga produk.
Tidak ada orang datang ke Bali lalu bertanya Bali mau jadi apa. Kegiatan wisata di Bali itu dikomoditaskan. Mereka mau dapat untung cepat saja terlepas dari dampak sosial lingkungannya.
Siapa pelaku komodifikasi itu?
Dari masa kolonial sampai sekarang, hierarki itu masih ada. Bahwa bentuk-bentuk, eksotisme Bali, kemudian Bali yang digambarkan sebagai wisata apapun, menurut saya itu masih tempaannya dari sesuatu yang di atas. Tidak pernah dari kebutuhan masyarakat.
Bentuk-bentuk (pariwisata berbasis kemauan warga lokal) yang menurut saya cukup berhasil ada di Tenganan (Karangasem) dan Penglipuran (Bangli). Banyak pihak di sana yang terlibat. Bayangan saya, pariwisata akan begitu jika datang dari bawah. Langsung dinikmati masyarakat setempat. Di homestay, bukan hotel.
Kalau saya melihat pemerintah pusat itu desperate banget. Reklamasi oleh Pelindo di Teluk Benoa, misalnya. Ada warga setempat yang terhimpit tetapi di sisi lain Kementerian Koordinator Maritim bilang nanti Tanjung Benoa dijadikan tempat bersandar kapal bersandar, merek-merek global. Ada kesenjangan antara yang dibutuhkan masyarakat setempat dengan apa yang dilakukan pemerintah.
Contoh lain Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang. Masyarakat Hindu dan Islam di sana berusaha mempertahankan desa, tetapi ada kebijakan yang dilakukan tanpa bertanya apakah mereka butuh atau tidak. Dan, warga kalah ketika menggugat di pengadilan.
Bali punya jati diri. Bali sedang menjaganya, tetapi terhimpit. Masalah lingkungan hidup paling nyata. Perubahan Bali telah merusak lingkungan hidup. Bali kalau tidak ada palemahan (alam) ya tidak nyata lagi.
Apa bukti paling nyata dari kerusakan lingkungan Bali?
Banyak sekali. Tentu hilangnya wilayah-wilayah alam yang bagi orang Bali adalah juga titik sakral. Juga dampak limbah yang tidak bisa ditanggulangi. Kalau wisata masif begini, gimana kita pertanggungjawabkan limbahnya? Karena masyarakat yang terkena dampak justru diabaikan.
Pencemaran laut juga jadi perhatian publik dunia. Karena di satu sisi Bali identik dengan keindahan alam dan pantainya, tetapi bukan ubur-ubur yang dijumpai turis melainkan plastik. Masyarakat Bali harus bertindak, tidak hanya mengeluh. Saya lihat makin banyak inisiatif karena masalahnya sudah akut.
Apakah inisiatif-inisiatif ini termasuk baru?
Menurut saya sih hal baru. Salah satu contohnya ogoh-ogoh itu. Dari tahun lalu sudah ada yang tidak pakai bahan berbahaya. Tahun ini bahkan ada yang 100 persen daur ulang. Itu contoh yang tadi saya sebut, ritual dan lingkungan itu satu. Tema lingkungan itu kental sekali dalam seni orang Bali.
Terkadang orang Bali itu, mereka merasa bentuk kritik itu lewa karya seni. Lihat seperti Navicula, SID (Superman is Dead), Nosstress. Di seni rupa ada Citrasasmita. Mereka generasi 90an. Mereka gelisah pada ruang hidupnya yang makin tidak nyaman.
Termasuk ogoh-ogoh itu hal baru. Mereka proyeksikan (kritik) lewat karya seni. Itu kesadaran yang direstorasi kembali. Kita punya kesadaran nenek moyang yang diwariskan turun temurun. Dalam perjalanan kita lupa dan harus direkonstruksi lagi. Jadi buat saya kayak karya ogoh-ogoh di Ubung (tentang paus terdampar di lautan sampah plastik), itu emosinya benar-benar tersampaikan.
Begitu melihat, saya langsung berpikir ogoh-ogoh di Ubung itu mewakili perasaan banyak orang. Sedih, tetapi ada harapan bahwa anak-anak muda coba mengingat kembali pelestarian lingkungan. Pada saat pawai juga sudah ada kesadaran tidak pakai plastik dan bawa tumbler.
Bagaimana membawa perubahan dari skala mikro itu ke makro?
Itu juga yang saya pikir. Bagaimana agar dampak itu terasa lebih massal. Namun, saya percaya hal-hal kecil begini cepat menyebar. Ini bukti bahwa Nyepi jadi milik semua orang. Di satu sisi dia lebih mengakar, radikal, tetapi juga dinikmati secara horisontal. Kadang-kadang memang paradoks. Bagaimana dari tindakan kecil sederhana sehari-hari, ternyata bisa berdampak besar.
Proses perubahan itu lama dan seringkali butuh kerja untuk pengobatan. Sementara pemerintah masih sibuk sama pileg, pilpres. Sibuk sama yang seksi-seksi dalam politik praktis. Krisisnya nyata tetapi yang dipersoalkan soal-soal yang tidak substansial.
Bagaimana mengubahnya di Bali?
Pilihlah wakil rakyat yang punya visi misi nyata pada lingkungan. Sayangnya, itu belum jadi program. Politik identitasnya masih sangat kuat. Di Jakarta juga begitu. Problem lingkungan hidup itu bukan hayalan. Sedang berlangsung. Tetapi, persepsi manusia belum berubah. Masih banyak penyangkalan.
Meskipun demikian, saya lihat melalui Nyepi bahwa bagi orang Bali, alam itu perlu diprioritaskan.
Tetapi sebelum itu juga banyak sumber daya dikorbankan, misalnya dengan membakar ogoh-ogoh?
Buat saya itu kritik yang penting untuk diingat. Pada sifatnya semua ritual seharusnya menyasar pada kesederhanaan. Tetapi banyak pihak yang melupakan itu karena dia jadi komoditas. Misalnya wisata pada saat Nyepi. Kedua, saya lihat Tapa Brata Penyepian kalau di kota mungkin kental, tetapi di desa jauh lebih sederhana. Lebih khusyuk.
Menurut saya itu kritik penting. Apalagi Nyepi kali ini berdempetan dengan begitu banyak rainan (hari raya umat Hindu Bali). Sibuk sekali orang Bali.
Dulu itu pada zaman setelah bom Bali, ada krisis ekonomi, saya lihat ada upaya menyederhanakan banten. Saya percaya pada prinsipnya, banten itu perangkat yang diberikan secara ikhlas pada dewa. Namun dalam praktiknya itu terabaikan bahwa ada kesukarelaan dan bersahaja.
Mengapa orang Bali terikat atau butuh ekspresi dalam ritual? Menurut saya itu sebenarnya, seperti kata (Miguel) Covarubias, tiap orang di Bali itu seniman. Mereka butuh ekspresi itu. Bebersamaan. Guyubnya. Itu kenapa ada struktur sosial begitu. Bahwa itu punya ongkos, betul. Tetapi memang ada kebutuhan sosial terhadap itu.
Tentunya Hindu tidak hanya di Bali. Di Jawa berbeda. Penghayatan terhadap kolektif juga berbeda. Di Bali saya lihat ada kebutuhan guyub. Seperti kata Martin Heidegger, well being-nya di sana. Dia butuh kebersamaan. Kental banget. [b]