Bangkai kapal kargo menjadi magnet utama di Tulamben.
Setiap hari, ratusan penyelam datang ke desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, itu. Mereka menikmati kapal kargo milik tentara Amerika Serikat yang tenggelam pada Perang Dunia II.
Dari tahun ke tahun, jumlah penyelam di Desa Tulamben terus bertambah.
Selain menyumbang terhadap makin besarnya pendapatan warga, banyaknya penyelam juga melahirkan kekhawatiran baru: kian rapuhnya kondisi bangkai kapal yang sudah berumur sekitar 70 tahun tersebut.
Menurut I Nyoman Suastika, salah satu pemandu selam di Desa Tulamben, kekhawatiran itu makin besar terutama ketika ada ombak besar. Berada di Selat Lombok antara Bali dan Lombok, ombak di pantai ini relatif besar pada musim-musim tertentu.
Pekan lalu, misalnya, selama dua hari ombak di sini relatif besar. Tingginya antara 1-2 meter. Akibatnya, beberapa penyelam pun terpaksa membatalkan rencana penyelaman. Selain karena lebih susah untuk memulai penyelaman juga karena keruhnya air saat menyelam.
“Hari ini kami tidak menyelam. Padahal biasanya bisa dua kali,” kata Putu Mangku, pemandu penyelam lain di Tulamben.
Seperti halnya Suastika, Putu juga mengkhawatirkan kondisi bangkai kapal kargo yang menjadi andalan wisata Desa Tulamben dan bahkan Karangasem. Menurut Putu, jika tidak pengaturan jumlah penyelam di sini, kerusakan ship wreck (bangkai kapal selam) akan makin cepat.
“Dari yang seharusnya bisa bertahan dua puluh tahun, mungkin bisa rusak dalam sepuluh tahun,” ujarnya.
Pengaturan
Kekhawatiran para penyelam di Tulamben terhadap potensi kerusakan ship wreck akibat tidak adanya pengaturan jumlah penyelam memicu kembali diskusi tentang perlunya pengaturan wisata bahari di Indonesia, termasuk Bali.
Inilah salah satu topik yang dibahas dalam CTI-CFF Regional Business Forum keempat di Nusa Dua, Bali pada 27-29 Agustus. Pertemuan tiga hari itu diadakan oleh Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF), forum regional dalam tata kelola terumbu karang di kawasan Asia Pasifik.
Forum multilateral ini beranggotakan enam negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Enam negara tersebut berada di kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) seluas sekitar 647 juta hektar. Brunei Darussalam termasuk negara baru dalam forum ini.
Sebagai forum multilateral, CTI-CFF bekerja di tiga isu penting terkait tata kelola kelautan dan perikanan yaitu konservasi laut, pengelolaan perikanan, dan adaptasi perubahan iklim.
Sejalan dengan tiga bidang tersebut, ada tiga topik utama selama konferensi di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) tersebut. Pertama, keterlibatan sektor swasta dalam pariwisata bahari teurtama dalam pendanaan. Kedua, praktik-praktik terbaik dalam wisata bahari dan pesisir yang bertanggung jawab. Ketiga, mempromosikan kawasan Segitiga Terumbu Karang sebagai tujuan wisata global yang berkelanjutan.
Diskusi topik-topik itu melibatkan para pihak dalam tata kelola wisata bahari seperti agen perjalanan, perusahaan penerbangan, organisasi non-pemerintah di bidang lingkungan, dan pemerintah. Beberapa organisasi lingkungan yang turut serta dalam forum regional ini adalah WWF, Conservation International (CI), Coral Triangle Center (CTC) dan The Nature Conservacy (TNC).
Forum dihadiri lebih dari 300 peserta dari lebih 20 negara, termasuk pejabat tinggi pemerintahan seperti Menteri Pariwisata dan Budaya Malaysia, Mohamed Nazri Abdul Aziz, Menteri Pariwisata dan Budaya Kepulauan Solomon, Bartholomew Parapolo, Utusan Pemerintah Papua Nugini, serta Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata Indonesia, Indroyono Soesilo.
“Untuk mewujudkan kawasan wisata bahari yang berkelanjutan kita harus melibatkan sektor swasta,” kata Arwandrija Rukma, Koordinator Sekretariat Regional CTI-CFF di Denpasar pekan lalu.
Menurut Arwan, sektor swasta bisa berperan dalam pengelolaan pariwisata bahari berkelanjutan melalui pendanaan. Bagaimanapun juga, lanjutnya, konservasi lingkungan tetap memerlukan pendanaan. “Pariwisata bahari harus ramah lingkungan dan memperhatikan carrying capacity,” ujar Arwan.
M. Eko Rudianto, Direktur Kelautan dan Pesisir di Kementerian Kelautan dan Perikanan menambahkan, kawasan Coral Triangle termasuk salah satu pusat keanekaragaman dunia seperti Amazon untuk flora dan Congo Basin untuk fauna. Dengan jumlah spesies terumbu karang lebih dari 500, kawasan ini sangat potensial menjadi tempat wisata global.
“Namun, semua harus dikelola secara berkelanjutan,” tegasnya.
Eko memberikan contoh beberapa kawasan wisata di Bali yang sudah dikelola secara berkelanjutan dengan melibatkan warga lokal. Misalnya Desa Les di Buleleng, Bali bagian utara yang terkenal sebagai tempat wisata bawah laut terutama ikan hiasnya. Ada pula Desa Pemuteran di Bali bagian barat di mana warga turut serta menjaga karang bawah lautnya.
Dalam wisata-wisata bahari tersebut, ada tata kelola yang disepakati bersama antara pemerintah, swasta, dan warga. Misalnya pembagian zona yaitu zonasi wisata untuk kegiatan wisata, zonasi perikanan untuk nelayan, dan zonasi inti untuk konservasi.
“Pembagian zona justru bisa meningkatkan harga jual sekaligus membatasi jumlah turis di lokasi tersebut. Marine tourism itu tidak bisa berjalan jika menerapkan model mass tourism,” ujar Eko.
Penghargaan
Sebagai upaya memberikan contoh praktik wisata bahari berkelanjutan, maka pelaksana Regional Business Forum CTI-CFF juga memberikan penghargaan terhadap perusahaan wisata. Enam perusahaan itu dari Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste. Mereka dianggap telah melaksanakan bisnis pariwisata bahari berkelanjutan yang terintegrasi. Mereka secara aktif mendukung konservasi kawasan pesisir, biota laut dan habitatnya serta melibatkan peran serta masyarakat setempat.
“Bisnis di laut dan wisata bahari di Segitiga Karang harus mendapat perhatian dan komitmen memadai dari semua pihak terkait, yaitu pemerintah, sektor swasta, akademisi dan masyarakat,” kata Eko Rudianto dalam sambutan penghargaan mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti.
Adapun enam perusahaan yang mendapat penghargaan tersebut adalah Reef Seen Divers’ Resort, Bali (Indonesia), Scuba Junkie, Sabah (Malaysia), Madang Resort Hotel, Madang (Papua Nugini), Evolution Diving, Cebu (Filipina), Oravae Cottage, Gizo (Kepulauan Solomon), dan Dive Timor Lorosae, Dili (Timor-Leste).
Enam perusahaan tersebut memiliki usaha berbeda dalam wisata maupun konservasi. Reef Seen di Desa Pemuteran misalnya memiliki upaya yang melibatkan masyarakat dalam pariwisata bahari, seperti kegiatan Reef Gardener. Selain memberikan pelatihan dan menciptakan lahan pekerjaan bagi nelayan muda untuk secara aktif melindungi terumbu karang, mereka juga melakukan kegiatan konservasi penyu dan kegiatan pelatihan sendra tari bagi anak usia sekolah.
Adapun Oravae Cottage di Kepulauan Solomon turut mendirikan kawasan laut yang dikelola warga lokal. Mereka enggunakan panel surya untuk sumber energi dan penampungan air dengan dampak minimal bagi lingkungan. Mereka juga memiliki fasilitas pembibitan karang dan kerang serta bekerja bersama sekolah-sekolah setempat untuk memberikan penyadaran akan pentingnya konservasi laut.
“Penghargaan ini menekankan pentingnya CTI-CFF sebagai wahana untuk mempromosikan tata kelola sumber daya yang berkeadilan di pusat upaya pariwisata bahari berkelanjutan,” tutur Rili Djohani, Direktur Eksekutif Coral Triangle Center. [b]
Comments 1