Di tengah macetnya Jalan Peliatan Ubud, di jalan menanjak menuju swalayan Popular, ada proyek baru yang terlihat dari alan raya Peliatan. Tampak gerbang proyek besar dengan tanah gersang dan debu yang beterbangan.
Kalimat “Hidden City Ubud” menutupi seluruh pandangan mata untuk dapat melihat jauh ke dalam. Memang benar tampak tersembunyi karena tertutupi oleh banner-banner bertuliskan nama proyek mereka. Namun tahapan pembangunan dibagikan dalam sejumlah video di media sosialnya.
Hidden City Ubud berdiri di atas tanah seluas 3 hektare, atau setara dengan luas lapangan Lumintang yang berada di Denpasar. Di dalamnya, akan dibangun 22 vila, 42 apartemen, 36 komplek hunian, hingga mall seluas 40 are atau lebih luas dari Matahari Mall di Sudirman, Bali. Selain hal-hal disebut di atas, nantinya akan pula dibangun restoran, gym, mall, hingga ruang konser. Setidaknya itu yang tersebut dalam laman resmi mereka. Di laman resmi mereka juga disebut sebuah kalimat: “(Hidden City Ubud) at the same time away from the noise of the roads.”
Dengan luasan 3 hektar, ada perubahan pola penggunaan lahan di lokasi tersebut. Setidaknya pada bulan Juni tahun 2022, lahan yang digunakan oleh Hidden City Ubud adalah lahan yang tertutup oleh pepohonan. Kemudian ada perubahan citra satelit yang signifikan ketika Hidden City Ubud mulai menjalankan proyek mereka. Berikut gambarnya.
Lokasi Angker dan Ekspansi Kapital Baru
Seorang pria warga negara asing (WNA) datang bersama putranya ke jaba sisi Pura Amrta Sari Desa Adat Pengosekan, Ubud. Baru ingin melangkah ke jaba tengah, mereka segera dihentikan oleh warga desa yang sedang saling bercengkrama.
Alasannya, WNA tersebut tidak menggunakan kamen atau kain penutup dan menggunakan celana pendek ketika ingin memasuki pura tersebut. Untungnya WNA tersebut mengerti dan lebih memilih meninggalkan Pura Amrta Sari. “Goodbye,” kata sang anak kepada warga yang melarang mereka.
Ubud tampaknya masih memegang teguh kepercayaan-kepercayaan lokal. Terbukti hal-hal seperti berpakaian di tempat suci masih sangat diperhatikan oleh masyarakat lokal. Tenget (angker) kata mereka.
Dewa Ayu, seorang penari yang telah lahir dan besar di Pengosekan juga mengatakan hal yang sama. Dahulu, sebelum Ubud menjadi tempat seramai sekarang, ada jalan pintas dari Desa Pengosekan ke Desa Peliatan Ubud, yakni melalui tegalan atau perkebunan warga yang berada dekat dengan sungai perbatasan kedua desa. Ketika itu, anak-anak seumuran Dewa Ayu tidak banyak yang berani melewati jalan itu karena dianggap angker oleh warga sekitar.
Apakah keyakinan tempat angker ini masih bisa dipertahankan di tengah ekspansi proyek-proyek wisata?
Hidden City Ubud yang berada di Jalan Peliatan Ubud, masuk ke dalam administrasi Desa Pengosekan. Batasnya adalah sungai yang dahulunya angker, melintang dari utara ke selatan di jalan tersebut. Kini, mitos angker yang sempat melindungi tegalan itudari ekspansi kapital baru, telah direncanakan menjadi tempat yang mewah dan tersembunyi.
Proyek Hidden City Ubud yang baru berjalan tahun 2023 ini mulai direspon warga dengan kerisauan. Warga Pengosekan secara resmi belum menentukan sikap mereka atas pembangunan proyek Hidden City Ubud.
Dewa Putu Brata, ketua sanggar seni Cudamani adalah salah satu orang yang sudah menyatakan penolakan atas proyek ini. Detu, panggilan akrabnya, tidak menginginkan kesenian-kesenian asli Bali menjadi hilang dan tidak lagi digandrungi oleh anak muda karena tidak banyak lapangan kerja yang menampilkan seni-seni asli Bali.
“Misalnya mereka di sana mementaskan sesuatu. Dari segi orang yang akan diam di sana, pasti seni barat, pasti nika. Yen boleh dikatakan, jika ada seni Bali, tidak lebih dari 10 persen. Bukti riilnya, mana ada restoran di sini yang mementaskan seni Bali, jika toh ada berapa persen?” ujar Detu menjelaskan salah satu kerisauannya. Hal lain adalah dampak lingkungan.
Detu kemudian mengambil tas hitamnya yang terletak tidak begitu jauh dari tempat ia duduk. Ia segera mengeluarkan sebuah brosur yang di dalamnya menjelaskan pertimbangan-pertimbangan tentang penolakan Sanggar Seni Cudamani terhadap proyek Hidden City Ubud.
Akan tetapi, ia menyatakan tidak ingin mengajak masyarakat untuk serta merta menolak pembangunan ini. Ia ingin masyarakat menentukan pilihannya sendiri. Setidaknya, hasil buah pikiran Detu dan Sanggar Seni Cudamani menghasilkan keputusan untuk menolak proyek tersebut.
“Ini jelas-jelas bukan gerakan mengajak orang, memprovokasi. Tidak. Gerakan tyang (saya) ini edukasi dengan cara memberi informasi, kira-kira apa yang terjadi kalau proyek ini dibangun,” tambahnya.
Bagi Detu, hal tersebut penting untuk disampaikan agar masyarakat dapat menentukan keputusannya terhadap proyek Hidden City Ubud. Maka dari itu, Detu bersama Desa Pengosekan telah menyepakati untuk membentuk suatu tim yang bertugas untuk mengkaji Hidden City Ubud dari berbagai aspek, seperti ahli hukum, ahli pariwisata, seniman, hingga budayawan.
Akankah Hidden City mengubah seratus tahun identitas artistik/tradisional Pengosekan? Begitu salah satu pertanyaan dalam brosur yang dibuatnya. Ada juga ketakutan dengan makin parahnya kemacetan, limbah, dan sumber air bawah tanah.
Apalagi sudah ada beberapa beji dan bulakan yang mengering di desa mereka. Detu dan kawan-kawan tidak dapat membayangkan tentang apa jadinya Pengosekan jika sumber air yang mereka sakralkan tidak lagi mengeluarkan air akibat masifnya pembangunan pariwisata di Pengosekan.
“Pengosekan sudah mulai mengering, hal ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya air pancoran dan bulakan,” tulis Detu dalam selebaran yang ia berikan.
Detu sendiri mengakui bahwa gerakan yang sedang ia galang belum mengatasnamakan Desa Pengosekan karena menurutnya sebagian besar masyarakat Pengosekan belum mengetahui hal ini. Sejauh ini, Detu masih menggunakan nama Sanggar Seni Cudamani sebagai wadah gerakan mereka, yang mana sanggar seni ini merangkul 200 seniman di Pengosekan Ubud.
“Makanya tiang (saya) belum mengatakan ini gerakan Pengosekan, ini gerakan Cudamani,” tungkasnya.
Ketika coba dihubungi di no telp yang tertera di website dan media sosialnya pada 31 Agustus 2023, pihak Hidden City mengatakan bahwa dokumen-dokumen perizinan yang dibutuhkan telah mereka siapkan. Mereka juga mengatakan bahwa telah melakukan sosialisasi kepada Desa Pengosekan terhadap rencana pembangunan proyek mereka. Mereka pula telah melakukan diskusi dengan Polres setempat terkait pembangunan mereka. Hasilnya, proyek Hidden City Ubud tidak lagi dijalankan hingga larut malam, sehingga tidak mengganggu warga.
”Sudah wawancara ke Polda, ke Polres, sudah dicek semua dokumen. Sudah dikasi masukan kalau kerjanya jangan sampai malem, jangan sampai mengganggu warga,” ujar Nyoman, suara perempuan yang tidak mau menyebut nama lengkapnya, dan bertanggung jawab sebagai front office Hidden City Ubud. Pengakuan Nyoman, para petinggi Hidden City Ubud sedang berada di Cina sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan wawancara.
Detu menjelaskan bahwa hasil sosialisasi Hidden City di Pura Dalem Pengosekan pada Minggu, 27 Agustus, belum menemui kejelasan. Pasalnya, dalam sosialisasi tersebut, tidak dijelaskan secara rinci perizinan apa yang telah dimiliki oleh pihak Hidden City Ubud. ”Dari pihak Hidden City bilang sudah ada izin, nah sayangnya tidak berlanjut supaya izin itu ditunjukkan.
Sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Hidden City Ubud menurutnya tidak menjawab hal-hal krusial yang dipermasalahkan oleh Detu dalam selebaran yang ia bagikan, seperti dampak lingkungan. ”Ten wenten kejelasan yang betul-betul mengambil poin inti dari pengolakan tiang,” tambah Detu.
situs mahjong