Akankah suatu hari kelak/wisatawan menatap nanar terpesona/ke arah pencakar-pencakar langit/raksasa di New York yang berkarat/ seperti kita kini menatap reruntuhan kota-kota Maya yang digayuti rimba?/ (Jared Diamond)
Polemik reklamasi Teluk Benoa bermula dari terbitnya Perpres No 51 Tahun 2014. Pengganti Perpres No 45 Tahun 2011 ini menghapus, atau paling tidak mengubah pasal-pasal yang tadinya mengatur Teluk Benoa sebagai daerah konservasi perairan menjadi kawasan penyangga. Dengan demikian, wilayah konservasi berubah menjadi wilayah yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Pariwisata tampak paling strategis di antara kepentingan lainnya sebab Bali selalu dicitrakan sebagai surga terakhir para pelancong. Legitimasi bahwa Bali surga bagi para pelancong terbukti dengan sederet penghargaan kelas wahid untuk Bali. Sebut saja pengghargaan dalam ajang China Travel & Meeting Industry Awards 2013, Bali dinobatkan sebagai Island Destination Of The Year (antaranews.com).
Pro kontra tak terelakkan dari wacana mega proyek reklamasi Teluk Benoa yang konon akan mengurug laut seluas 700 hektar. Selain menyelamatkan Teluk Benoa dari pendangkalan, pembangunan dan penyerapan tenaga kerja, pulau hasil reklamasi disebut-sebut akan menjadi wahana baru pariwisata Bali. Berbagai akomodasi berkelas akan dibangun di sana.
Demikianlah wacana utama kubu pendukung reklamasi Teluk Benoa.
Sebaliknya, kubu kontra dengan tegas menyatakan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan suci. Selain itu, reklamasi Teluk Benoa akan berakibat pada abrasi pantai sebagaimana berkaca pada kasus reklamasi Pulau Serangan yang menyebabkan abrasi pesisir di pantai Lebih, Gianyar hingga pantai Candidasa, Karangasem.
Berdasarkan hasil survei Universitas Udayana pada 2014, rencana reklamasi seluas 700 ha mendapatkan penolakan dari sebagian besar masyarakat pesisir Teluk Benoa. 64 persen masyarakat Kabupaten Badung tidak setuju dengan reklamasi Teluk Benoa. Hanya 9 persen yang setuju sementara 27 persen tidak menjawab.
Dalam survei tersebut, responden usia produktif yang notabene membutuhkan lapangan pekerjaan justru menolak rencana reklamasi Teluk Benoa (mongabay.co.id).
Wahana baru bagi wisatawan berupa pulau baru hasil reklamasi Teluk Benoa tentu membutuhkan akomodasi penunjang, salah satunya adalah hotel. Data statistik menunjukkan, kini di Bali terdapat 130.000 kamar hotel berbintang (beritabali.com). Jumlah yang tidak sedikit bahkan dianggap overload oleh Kamar Dagang dan Industri Provinsi Bali.
Kekhawatiran Kamar Dagang dan Industri Provinsi Bali cukup beralasan. Kelebihan kamar hotel yang tidak didukung dengan lama hunian atau peningkatan kunjungan wisatawan akan berdampak pada perang tarif yang berujung pada persaingan tidak sehat serta terkesan murahan.
Sebagian besar hotel tersebut berada di Bali selatan. Kondisi ini wajar mengingat aktivitas pariwisata berpusat di seputaran Badung dan Denpasar. Hanya sebagian kecil di kabupaten lainnya. Hal ini berdampak pada padatnya hunian dan lalu lintas di Bali bagian selatan yang notabene menjadi pusat perekonomian dan bisnis.
Dengan asumsi sederhana semacam ini, wacana pembangunan dan penyerapan tenaga kerja di balik megaproyek reklamasi Teluk Benoa menjadi tidak berimbang. Sederet pertanyaan semisal seberapa siapkah sumber daya manusia Bali bersaing untuk menjadi pekerja pada destinasi wisata baru tersebut, ke mana nelayan lokal ketika laut tempat ia mencari nafkah berubah menjadi beton harusnya menjadi pertimbangkan yang tidak bisa dikesampingkan.
Jika pembangunan adalah alasannya, mengapa tidak dipilih kabupaten lain sehingga terjadi pemerataan pembangunan? Bukankah program pemerintah pusat ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia ternodai dengan upaya reklamasi atau privatisasi kawasan? Sebagaimana lumrah terjadi pada pantai-pantai di Bali oleh pemilik hotel atau pihak pengembang. Bagaimana nasib terumbu karang dan biota laut juga menjadi sederet pertanyaan cukup mengkhawatirkan.
Pendeknya eksploitasi Bali lewat pembangunanisme yang relatif cepat untuk mewujudkan mass tourism dan pembangunan berorientasi ekonomi terlebih bersifat top down menjadikan Bali makin dikepung masalah. Tak hanya sekarang, tetapi juga di kemudian hari (kabarbangsa.com).
Secara yuridis, pengembangan pariwisata Bali mengacu pada Perda No 3 tahun 1974 juncto Perda Nomor 3 tahun 1991. Perda ini dengan jelas menyatakan bahwa konsep pengembangan pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya. Pariwisata budaya merupakan jenis kepariwisataan yang dalam pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali sebagai napasnya.
Mengacu pada landasan yuridis di atas, reklamasi Teluk Benoa jauh dari kata pariwisata bernapaskan budaya. Sebagai misal yang paling sederhana bagaimana local genius Tri Hita Karana dengan salah satu dalilnya, Palemahan, menegaskan hubungan equilibrium antara manusia dengan alam.
Kejahatan Lingkungan
Secara etimologis, “reklamasi” berasal dari kosa kata bahasa Inggris, yaitu to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak.
Ada beberapa sumber yang mendefinisikan reklamasi dengan lebih akurat. Menurut Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005), reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Kemudian Peraturan Menteri Perhubungan No 52 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan (radarplanologi.com).
Semua definisi tersebut mengacu pada satu titik temu bahwa reklamasi bertujuan menambah wilayah daratan untuk aktivitas sesuai wilayah tersebut. Apakah pariwisata budaya yang sarat local genius masyarakat Bali dengan menitikberatkan pada prinsip harmonisasi manusia dengan alam sesuai dengan proyek ambisius pengurugan laut yang menciderai konsep nyegara gunung ala orang Bali?
Apakah spirit Tri Hita Karana tak memiliki taring lagi atau hanya sebagai jargon kampanye lima tahunan?
Green criminology sebagaimana dijelaskan Birne dan Sout merupakan istilah yang pertama kali diciptakan Lynch pada tahun 1990. Istilah ini diterima secara luas sebagai gambaran kontribusi kriminologi yang khusus berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan atau bahaya lingkungan (Satria, 2014: 29).
Lebih jauh Clifford (1998) menjelaskan kejahatan lingkungan sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud merusak atau menyebabkan kerusakan sistem ekologi dan lingkungan hidup untuk keuntungan pribadi.
Beberapa pakar mendifinisikan kejahatan lingkungan dengan lebih lentur sebagai suatu tindakan yang melanggar atau tidak melanggar aturan yang ada dalam peraturan lingkungan, yang menghasilkan kerusakan lingkungan, dapat diidentifikasikan, dan berasal dari tindakan manusia dengan alasan penyebab kerusakan lingkungan adalah sama dengan penyebab ketidakadilan sosial (Satria, 2014:27).
Merujuk pada penjelasan di atas, dampak yang paling dominan dari kegiatan reklamasi adalah terpenuhinya kebutuhan akan lahan. Selain dampak fisik, reklamasi akan berdampak pada aktivitas sosial, lingkungan, hukum, ekonomi dan bahkan akan memacu pembangunan sarana prasarana pendukung lainnya.
Namun demikian, reklamasi di sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negatif yang tak kalah mengerikan. Misalnya meningkatkan potensi banjir, kerusakan lingkungan (abrasi, terancamnya terumbu karang dan biota laut) dan tergusurnya pemukiman nelayan dari pemukiman pantai (Radarplanologi.com).
Menelisik lebih jauh reklamasi di Uni Emirat Arab (Dubai) yang disebut-sebut sebagai reklamasi tersukses di dunia dan dinilai sebagai pioner praktik reklamasi tersukses di dunia tanpa merusak lingkungan hidup pun ternyata menyisakan kerusakan lingkungan yang tak main-main.
Hasil Tesis Bayyinah Salahuddin dengan judul The Marine Environmental Impacts of Artificial Island Construction Dubai di The Nicholas School of the Environment and Earth Sciences of Duke University 2006 menunjukkan bahwa, reklamasi menghapus biostrome terkaya kedua di teluk dan menewaskan 91 spesies ikan, 52 spesies moluska laut, serta 34 spesies karang (tirto.id).
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri pada 2004, jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 pulau dengan rincian 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama (tirto.id). Jumlah ini menjelaskan bahwa ada puluhan ribu pulau di Indonesia yang beberapa di antaranya bahkan tidak berpenghuni.
Maka menjadi wajar mega proyek reklamasi dikritik oleh berbagai pihak tidak hanya karena dampaknya terhadap lingkungan hidup, tetapi juga mengkhianati cita-cita pemerintah yang akan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Melihat besarnya dampak negatif reklamasi pada ekosistem, maka tak berlebihan kiranya jika reklamasi bisa kita sebut sebagai sebentuk kejahatan terhadap lingkungan (green criminology) dengan dampak yang tak bisa dianggap sepele terhadap lingkungan dalam jangka waktu panjang. Orientasi pembangunan jangka pendek secara sederhana memang mampu mengurai satu masalah, namun di sisi lain efek domino pembangunan fisik juga harusnya menjadi dasar pengambilan keputusan.
Fungsi Religius Laut
Teruntuk kasus Bali, tak jarang ditemui privatisasi lahan oleh pemilik hotel yang berada di bibir pantai. Mereka melarang warga lokal melintasi kawasan tersebut. Hal ini menjadi serius tatkala dihadapkan pada budaya masyarakat Bali yang mengganggap laut memiliki fungsi religius yang sangat kuat. Laut adalah simbul ibu dan penyucian semesta. Bayangkan jika local wisdom semacam ini dihadapkan pada proyek reklamasi dan kemungkinan privatisasi lahan.
Bagi masyarakat Bali, laut adalah kawasan suci, bagaimana laut sebagai kawasan suci juga tertuang dalam Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009-2029 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang menyebut “kawasan suci adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu seperti kawasan gunung, perbukitan, danau, mata air, campuhan, laut, dan pantai”.
Contoh kasus di atas adalah sebentuk marginalisasi masyarakat lokal akibat derasnya arus pembangunan fisik di Bali. Secara sederhana, marginalisasi adalah peminggiran atau hilangnya hak masyarakat dalam pembangunan sejak perencanaan, pengambilan keputusan hingga pasca pembangunan.
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan Aminah, masyarakat marginal adalah masyarakat yang secara politik tidak memiliki kekuasaan, dihisap secara ekonomi, secara sosial diperlakukan semena-mena oleh pemilik modal, berada dalam posisi yang lemah, hampa norma dan terasing (Karim, 2008:39).
Banyaknya kasus privatisasi lahan oleh pemilik hotel di Bali adalah gambaran bagaimana masyarakat Bali kehilangan hak politik, diperlakuan semena-mena oleh pemilik modal dan terasing di tanahnya sendiri.
Marginalisasi sendiri mewujud ke dalam tiga bentuk. Pertama, pada bidang ekonomi terjadi dominasi ekonomi berupa perluasan faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja dan komoditas lainnya. Kedua, dalam bidang politik terjadi hubungan yang tidak wajar sehingga memunculkan ketegangan. Ketiga, di bidang budaya terjadi desakan terhadap norma-norma yang ada sehingga masyarakat kehilangan orientasi (Karim, 2008: 40).
Atas kondisi ini, penolakan masyarakat Bali pada mega proyek Reklamasi Teluk Benoa menjadi cukup beralasan.
Proyek ambisius Reklamasi Teluk Benoa sebagai destinasi wisata baru di Bali tak pelak menyebabkan kanibalisme lahan ke depannya atau paling tidak memacu makin cepatnya pembangunan sarana dan prasarana lainnya—efek domino pembangunan jangka pendek. Destinasi wisata baru mendorong perpindahan penduduk untuk mengadu nasib ke kota.
Para buruh migran yang kemudian menetap di kota membutuhkan lahan hunian atau pertokoan. Dengan demikian, alih fungsi lahan produktif menjadi lahan hunian atau pertokoan terjadi makin masif, hingga penggunaan air tanah yang berlebihan. Ke depannya krisis air bersih membayangi Bali di samping isu sosial lainnya, kemacetan misalnya.
Kuatnya Paradigma Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup atau aliran filsafat yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, manusia dan kepentingannya dianggap paling menentukan dalam tatanan ekosistem (Kerap, 2010: 47).
Secara sederhana, kata-kata Ariestoteles dalam Politics bisa menggambarkan antroposentrime: “Tumbuhan disipakan untuk kepentingan binatang, binatang disipakan untuk kepentingan manusia” (Susilo, 2012: 61). Dalam hal ini, posisi manusia pada tatanan ekosistem menempati posisi paling teratas dan berkuasa penuh atas alam. Segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dengan demikian dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak pada tempatnya.
Seturut dengan itu, paham antroposentrisme sarat cara pandang relasi instrumental antara manusia dengan alam—alam hanya menjadi alat pemenuhan atau pelengkap kebutuhan manusia. Akibatnya alam harus disiksa sedemikian rupa agar menunjukkan rahasianya (baca: kebermanfaatannya) bagi kepentingan manusia, termasuk mengurug laut.
Ada tiga kesalahan fundamental dari cara pandang ini.
Pertama, manusia dipahami hanya sebagai mahluk sosial yang eksistensi dan identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Manusia tidak dilihat sebagai mahluk ekologis yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam.
Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia, atau etika tidak berlaku bagi mahluk lain diluar manusia—alam dan segala isinya diberlakukan sebagai pelengkap bagi manusia.
Ketiga, kesalahan cara pandang antroposentrisme ini diperkuat oleh cara pandang atau paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan ciri utama mekanistik-reduksionis. Dalam pandangan ini, ada pemisahan yang tegas antara alam sebagai obyek dan manusia sebagai subyek (Kerap, 2010: 3-8).
Sejalan dengan itu, Atmadja (2014) menjelaskan cara pandang semacam ini mengagungkan kepercayaan buta terhadap kemajuan dan ciri kemajuan adalah pengekploitasian alam dengan kemajuan teknologi guna memenuhi kebutuhan manusia. Kondisi ini berujung pada demitologisasi terhadap alam.
Dengan demikian, perlakuan manusia pada alam demi pemenuhan kebutuhan manusia termasuk mereklamasi atau mengurug laut dapat dibenarkan. Anggapan sederhananya alam memiliki daya tak terhingga untuk memperbaiki dirinya padahal proses alam memperbaiki diri tak sebanding dengan cepatnya ekploitasi manusia atas alam.
Cara pandang yang berorientasi pada kemajuan teknologi dan pembangunanisme ala Barat dalam kasus reklamasi yang dijiwai spirit antroposentrisme pada gilirannya membrangus etnostrategi—sebuah pengetahuan dan teknik-teknik tradisional ramah lingkungan sebagaimana dijelaskan Agusyanto (Atmadja, 2014:101-102).
Dengan demikian, terjadi kekerasan budaya berbentuk keterdesakan modal budaya dan amnesia kultural. Sejalan dengan itu, Jean Couteau seorang antropolog yang banyak menulis tentang Bali menjelaskan Pulau Bali telah mengalami serangan massal dari modal raksasa, baik asing maupun nasional. Masyarakat lokal telah kehilangan kontrol total atas ekonomi serta pengelolaan sosialnya. Tanah dan tenaga kerja telah menjadikann komoditas yang pemutarannya melabrak semua tatanan agraris tradisional yang tinggal dikuasai hanyalah agama dan kebudayaannya saja (Arcana, 2007:16).
Menarik diperbincangkan lebih lanjut bagaimana demitologisasi alam terjadi pada kasus upaya reklamasi Teluk Benoa. Teluk Benoa sebagai kawasan suci sebagaimana tertuang dalam Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009-2029 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang menyebutkan “Kawasan suci adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu seperti kawasan gunung, perbukitan, danau, mata air, campuhan, laut, dan pantai”.
Selain secara yuridis Teluk Benoa juga merupakan kawasan suci sebagaimana keputusan Sabha Walaka, Putu Wirata Dwikora sebagai ketua Sabha Walak PHDI menjelaskan menurut konsep Sad Kertih ada enam elemen yang harus dijaga kesuciannya, salah satunya adalah laut (metrobali.com).
Hal ini diperkuat lagi dengan Bhisama No 11/Kep/I/PHDI/1994, kawasan yang dinyatakan suci adalah gunung, sungai, pantai dan laut. Upaya reklamasi Teluk Benoa adalah satu bentuk demitiologisasi alam sebagaimana kepercayaan masyarakat Bali bahwa laut adalah kawasan suci.
Demitologisasi alam dalam mega proyek reklamasi Teluk Benoa juga tampak dari dilabraknya gagasan teoekologi, sebuah gagasan yang bertumpu pada pemikiran bahwa alam, manusia dan Tuhan atau Brahman sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan berpegang pada Yajurweda sebagaimana dikutip dalam Wiana (Atmadja, 2014:109) “Tuhan Berstana di alam yang bergerak maupun tak bergerak” maka secara ekplisit gagasan ini menimbulkan implikasi lebih lanjut yakni merusak alam sama dengan merusak badan jasmani Tuhan karena alam adalah badan jasmani tuhan. Tuhanlah pemberi jiwa alam semesta atau Bwuana Agung sebagaimana dijelaskan Wiana (Dalem, dkk [ed], 2007: 30).
Lebih lanjut dijelaskan Atmadja, teoekologi tidak hanya mengakui otoritas manusia dalam mengelola lingkungan, tetapi yang lebih penting menyadari eksistensi Tuhan sebagai kekuatan yang maha kuasa meresap ke dalam semua ciptaanya sehingga tindakan manusia terhadap lingkungan haruslah terukur dan berdasar pada pemanfaatan lingkungan secara berkelanjutan (2014:112).
Reklamasi Teluk Benoa yang pada prinsipnya dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dengan demikian dapatlah dikatakan jauh dari prinsip teoekologi yang sangat kental dalam kebudayaan masyarakat Bali di mana keseimbangan antara manusia dengan alam menjadi sentral dalam Tri Hita Karana.
Selama ini banyak ilmuwan melihat dan menganalisis musnahnya peradaban-peradaban besar dunia diakibatkan oleh faktor sosial semacam perang, pembahasan mengenai faktor lain sebagai sebab runtuhnya peradaban dijelaskan dengan sangat apik oleh Jared Diamond pakar geografi berkebangsaan Amerika. Ia menjelaskan bahwa keruntuhan peradaban-peradaban besar dunia diakibatkan oleh faktor ekologis. Proses perusakan lingkungan oleh masyarakat masa lalu dibagi ke dalam beberapa kategori mulai dari penggundulan hutan dan penghancuran habitat, masalah tanah (erosi, penggaraman, dan hilangnya kesuburan tanah), masalah pengelolaan air, hingga populasi manusia (Diamond, 2014:5).
Kondisi saat ini pun tidak jauh berbeda, bahkan lebih kompleks dari apa yang digambarkan Diamond sebagai penyebab punahnya berbagai peradaban agung di masa silam. Ini terbukti dari mengemukanya wacana hingga memicu pertemuan bertaraf internasional tentang pemanasan global yang mulai mengancam bumi beserta isinya. Diamond menyebut kondisi ini dengan ekosida—bunuh diri ekologis. Apakah kita akan menjadi bagian dari kepunahan itu karena sebab yang sama?
Krisis Demokrasi
Di Indonesia, pemilu adalah peristiwa sakral. Pemilu adalah ajang pesta demokrasi, perwujudan kedaulatan rakyat, sarana mewujudkan demokrasi, dan momen suksesi kepemimpinan. Harapan besar rakyat pada pemimpin baru melalui pemilu pada tingkat legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan, keamanan, kedamaian dan mempercayakan mereka sebagai wakil untuk memperjuangkan banyak hal.
Harapan publik pada figur pemimpin yang lahir melalui pemilu di Indonesia sebagaimana diharapakan konstituennya baru menjadi kenyataan tatkala mereka bekerja dengan efektif sebagaimana janji kampanye politiknya (Eko, 2004: 32).
Namun sering kali demokrasi yang terjadi di Indonesia terjebak pada formalitas pergantian pemimpin lima tahunan atau anggapan seolah demokrasi hanyalah pemilu. Artinya, demokrasi sebagai keseharian tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pasca pemilu, pemimpin atau wakil rakyat hasil pemilu yang dipilih melalui dapilnya (daerah pemilihan) masing-masing tidak lagi mencerminkan aspirasi konstituennya. Tidak jarang ditemui pasca terpilih mereka tidak lagi mendengar atau menyalurkan aspirasi atau paling tidak datang, turun dan rembug dengan pemilihnya untuk mewujudkan keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian, yang terjadi adalah demokrasi tidak lagi mengejewantah dalam keseharian sehingga harapan demokrasi sebagai kanal untuk merubah keadaan menjadi lebih baik pada akhirnya pupus. Tak terbantahkan demokrasi pun mengalami krisis.
Benang kusut krisis demokrasi elektoral (pemilihan umum) di Indonesia menurut Sutoro Eko (2004: 35) bisa diurai dari beberapa hal.
Pertama, kesenjangan wacana demokrasi antara kekuatan masyarakat sipil dengan pemegang kekuasaan. Kedua, jebakan demokrasi formal-prosedural, di Indonesia peraturan formal adalah instruksi ketat yang harus dilaksanakan, birokrasi di Indonesia memiliki kebiasaan tidak boleh melakukan kesalahan prosedur dalam artian tidak perlu melakukan sesuatu jika tidak diintruksikan dalam peraturan. Sebagai contoh, pemerintah merasa tidak perlu melakukan konsultasi publik atau membuka partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan, sebab hal tersebut tidak diwajibkan dalam peraturan.
Ketiga, jebakan demokrasi elektoral, demokrasi bisa saja berlangsung secara demokratis, tetapi ia hanya berhenti pada demokrasi formal. Setelah itu, demokrasi sebagai keseharian terutama dalam proses pengambilan keputusan jauh dari partisipasi publik.
Keempat, jebakan memahami kedaulatan rakyat, rakyat yang berdaulat adalah rakyat yang sadar akan hak politiknya, kemandirian, martabat, eksistensi rakyat ketika berhubungan dengan penguasa. Atas nama kedaulatan rakyat selalu menjadi dagangan politik kampanye, suara yang masih bisa dibeli dengan selembar rupiah tidak bisa kita sebut sebagai kedaulatan rakyat. Artinya tidak ada kemandirian politik di dalamnya.
Kelima; demokrasi tanpa demokrat, artinya pejabat lebih suka memberi sambutan atau bertemu rakyatnya dengan protokoler yang berlapis-lapis ketimbang berdialog secara terbuka dan informal dengan rakyat atau konstituennya.
Dalam kasus reklamasi Teluk Benoa, masyarakat Bali terutama masyarakat yang berada di sekitaran Teluk Benoa atau masyarakat yang terdampak langsung tidak pernah mengusulkan kebutuhan daratan baru yang bisa diciptakan melalui reklamasi atau dengan kata lain reklamasi tidak diinisiasi oleh konstituen (rakyat). Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan perlu atau tidaknya reklamasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Munculnya wacana reklamasi Teluk Benoa yang tidak diinisisasi oleh masyarakat pada akhirnya melahirkan pro dan kontra berkepanjangan sekaligus menyiratkan terjadinya krisis demokrasi elektoral karena pembangunan tidak mewakili kebutuhan masyarakat.
Pasca Soekarno-Hatta, Indonesia mengalami krisis kepemimpinan dengan orientasi jangka panjang sebagai negarawan. Hal yang terjadi justru menjamurnya politisi karbitan dengan orientasi pragmatis. Partai politik sebagai tempat kaderisasi lahirnya negarawan justru menjadi kerdil, tidak berfungsi dan tidak berakar pada masyarakat. Kondisi ini oleh Daniel Dhakiade disebut dengan “patahan-patahan sejarah” (Eko, 2004: 36, 47). [b]