Teks Nyoman Winata, Foto FIFA
“Kapan ya, Bli, negara kita bisa seperti mereka?” tanya istri saya saat kami berdua menonton acara pembukaan Piala Dunia 2010 dri Afrika Selatan. “Dulu kalau ngomong negara Afrika bayangan kita pasti negara-negara terbelakang, karena banyak orang kelaparan,” katanya melanjutkan. Istri saya nampak terkagum-kagum menonton dari layar televisi kemegahan upacara pembukaan Piala Dunia 2010.
Saya tidak bisa menjawab. Seperti biasa, sangat sering saya harus memutar otak menjawab pertanyaan dari istri yang sederhana itu. Pertanyaan yang menohok kepada kesadaran dan mungkin saya perlu merenung dulu untuk mendapatkan jawaban yang pas.
Indonesia di ajang Piala Dunia, memang hanya bisa menjadi penonton. Dulu sebelum Perang Dunia II, katanya pernah ikut ajang piala dunia tetapi dengan nama negara Hindia Belanda. Mungkin karena masih dijajah oleh Belanda waktu itu makanya sepak Bolanya masih lumayan diperhitungkan.
Tetapi yang sulit dibantah, Indonesia adalah negara yang tergila-gila dengan sepak bola. Olahraga paling populer di Indonesia adalah sepak bola. Buktinya yang paling mudah dilihat adalah setiap perhelatan akbar Piala Dunia, demam piala dunia begitu mewabah. Saya jadi teringat di waktu kecil saat piala dunia 1986, saya pernah sampai sakit karena begadang semalam suntuk nonton Piala Dunia dari layar kaca.
Sebagai sebuah negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan banyak yang menggilai sepak bola, harusnya masuk ke ajang Piala dunia tidaklah sulit. Sebuah pertanyaan sederhana dan menggelitik sering terlontar dienak kita semua akibat tidak pernahnya Indonesia masuk Piala Dunia. “Masa mencari sebelas orang yang jago main bola dari dua ratus manusia bangsa ini tidak bisa?”.
Ya… pemain sepak bola hanya sebelas orang dan dari 200 juta jiwa lebih, mencari 11 orang dengan kualitas terbaik bangsa ini harusnya tidak perlu setengah mati mendapatkannya. Apalagi banyak orang Indonesia tergila-hila dengan sepak Bola, bahkan kegilaan yang benar-benar gila.
Saya kadang tidak habis pikir, dengan kegilaan manusia Indonesia akan sepak bola terutama Piala Dunia. Lihat saja bagaimana maraknya event-event nonton bareng, pawai membawa bendera-bendera negara peserta Piala Dunia dilakukan tanpa komando, sampai kepada fakta bahwa tidak sedikit kampung-kampung yang dihias dengan pernak-pernik Piala Dunia.
Konon Indonesia juga adalah salah satu negara yang tidak ikut Piala Dunia tetapi stasiun televisi swasta tidak berbayarnya menyiarkan secara langsung semua pertandingan Piala Dunia. Sementara ada negara yang tim sepakbolanya ikut Piala Dunia saja justru tidak menyiarkan secara bebas semua pertandingan di ajang empat tahunan ini.
Betapa bergembiranya para penggemar sepak bola di Indonesia. Mereka berpesta hampir sebulan penuh. Nonton Bareng digelar dimana-mana dari hotel sampai kampung-kampung. Menghabiskan waktu di malam hari begadang semalam suntuk untuk menyaksikan 22 orang berebut satu bola dan orang-orang itu tidaklah memiliki keterkaitan kebangsaan dengan kita.
Piala Dunia dengan semua pertandingannya telah benar-benar menjadi hiburan penuh “sihir” yang menenggelamkan banyak dari kita pada kesenangan. Hiruk pikuk dan larut dalam prediksi dan debar jantung yang memburu ketika tim kesayangan bertarung.
Saya tidak tahu apakah dari semua dari kita yang menggemari Sepak Bola Piala Dunia ada yang masih berpikir seperti istri saya “Kapan Indonesia bisa ikut Piala Dunia?”. Akankah kemeriahan Piala Dunia dengan semua prestise yang disandang tim sepak bola peserta membuat kita merasa “jengah” untuk kemudian memupuk impian bahwa suatu saat kesebelasan merah putih akan merumput di Piala Dunia?
Saya adalah salah seorang yang pesimis, bahwa kita adalah manusia-manusia yang akan tergugah untuk memiliki tekad kuat bisa ikut piala dunia. Pemikiran pesimis in muncul dari fakta bahwa bukankah untuk menjadi tim yang bisa ikut Piala Dunia perlu kerja keras dan disiplin yang luar biasa? Pada kedua hal prinsip ini, bangsa kita sangat kedodoran. Kita tidak punya budaya pekerja keras, kalaupun ada mungkin sudah lama luntur. Soal disiplin apalagi. Untuk rapat tepat waktu saja misalnya, kita masih sulit.
Kita telah jauh larut menjadi manusia-manusia pragmatis yang mudah terjebak pada hal-hal yang bersifat instan. Mungkin banyak dari kita yang merasa sudah sangat nikmat untuk menjadi penonton, dengan hanya menggelar event nonton bareng di cafe-cafe, hotel-hotel sampai ke kampung-kampung. Untuk apa harus capek dan berpikir kapan Indonesia bisa ikut Piala Dunia.
Para pemimpin kita saja tidak banyak yang peduli. Presiden SBY menurut pemberitaan memang sempat melontarkan harapan bahwa Indonesia bisa ikut Piala Dunia. Tetapi menurut saya, SBY tidak serius akan niatnya ini. Buktinya mengganti Ketua PSSI yang jelas-jelas tidak berprestasi dan menjadi narapidana kejahatan korupsi saja, Presiden SBY tidak serius.
Dunia Sepak Bola Indonesia, memang sangat terpuruk dalam. Tidak saja pemainnya miskin prestasi. Tetapi penontonnya juga sukanya tawuran. Bus suporter dari klub lawan diserang oleh suporter lainnya. Menonton klub kesayanganya bertanding, yang dibawa justru senjata tajam. Ini mau nonton bola apa berperang? Ah… saya yang sebelumnya penggemar sepak bola, lambat laun menjadi ikut malas mendengar segala hal yang berkaitan dengan sepak bola Indonesia.
Malas karena benar-benar apa yang dialami dunia sepak bola Indonesia saat ini diluar nalar dan logika karena prilaku para pengurus, pemain dan suporter nya yang sudah tak lagi waras. Pengurus Sepak Bolanya gila kuasa, pemainnya tak punya mental juara dan suporternya juga lebih gila lagi, mau beradu otot bahkan nyawa atas nama sebuah kemenangan klub kesayangannya yang memang sudah jelas tidak berprestasi.
Kalau sudah begini, saya benar-benar sulit memberi jawaban pada istri saya atas pertanyaannya diawal tulisan ini. Sulit menjawab karena bangsa ini sudah benar-benar sakit jiwa. Bagaimana menyadarkan orang yang sudah tidak waras? Bagaimana bicara prestasi dengan mereka yang isi kepalanya hanya kekuasaan dan harta? Bagaimana mau bicara tentang prestise atau kebanggaan, dengan manusia-manusia yang sudah tidak lagi percaya dengan harga diri?.
Tetapi mungkin masih ada harapan bahwa prestasi sepak bola Indonesia akan maju suatu saat nanti. Caranya, para ulama atau pemuka agama di Indonesia membuat fatwa yang dengan berbagai cara agar benar-benar diyakini kebenarannya bahwa kalau sampai Tim Sepak Bola Indonesia bisa ikut Piala Dunia, maka para pemain, ofisial dan pengurusnya dipastikan menjadi penghuni SORGA paling utama.
Bukankah bangsa ini adalah bangsa religius yang begitu merindukan Sorga dan takut masuk neraka? Bahkan untuk mati sekalipun asalkan yakin bisa masuk sorga, banyak yang mau melakukannya. Apalagi hanya dengan bermain bola yang serius, mengurus tim yang serius dan membiayai sebuah tim sepak bola dengan sedikit lebih mahal, pastilah banyak yang mau. Janji bisa hidup di sorga dan nanti ditemani bidadari cantik-cantik adalah impian utama manusia Indonesia saat ini.
Soal harga diri bangsa apalagi prestise Sepak Bola, kalau tanpa jaminan bisa masuk SORGA, maka kan dijawab “emang gue pikirin?, mending kita nonton bareng aja, meski tak ada jaminan bisa masuk Sorga yang pasti bisa ramai-ramai, meriah dan mengasyikan”. Ah… Indonesia, Indonesia…. [b]
Untuk yg pengin tahu jadwal piala dunia versi WIB, versi FIFA, GUIDE FIFA dan scoring system, silahkan ke situs saya. Semoga bisa membantu
..Ha..1000X.. Lecon Satiris yg Cukup Miris.! Srupa Apkh SN.?! Sperti Apkh Rupa dn Raga.?! ¤ Sudahkh Kita Mrenung dgn Fikiran..Logika Karunia TUHAN..Ksempurnaan Manusia di antara smua Makhluk yg tlh di Ciptakn ¤
Ganti ketua PSSI, ganti AD/RT, ganti sistem kompetisi, benahi stadion dan sarana penunjang lain (dana APBD lebih baik dipakai untuk memperbaiki stadion daripada untuk menggaji pemain), biayai wasit lokal untuk ikut kursus wasit FIFA, dan tegas menegakkan aturan.
Demi Tuhan Yang Maha Agung, kalau suatu saat saya sekaya Aburizal Bakrie, saya akan mencalonkan diri menjadi ketua PSSI dan membawa timnas sepakbola Indonesia ke Piala Dunia.
ah suatu saat mungkin ada olahraga baru mixing antara sepakbola dan tawuran…..siapa tahu?