Teks Anik Leana, Foto Anton Muhajir
Hari sudah menjelang malam. Made Reki, 65 tahun, masih “memainkan” sabit dan cangkul di sawah sebelah rumahnya.
Lahan di daerah Kebon Kori Mangku, Denpasar Timur seluas 12 are itu membuatnya tak jauh dari pekerjaan bertani. Geliat kakek dua cucu itu agak lamban, sejalan dengan usianya yang tak lagi muda.
Menjadi petani sudah menjadi pilihan Made Reki. Bukan karena dari kecil memang bercita-cita menjadi petani, tapi pendidikan yang tak sampai tamat Sekolah Dasar membuatnya tak bisa memilih pekerjaan lainnya. “Saya tak punya ketrampilan lain, hanya bisa bertani”, ungkapnya dalam Bahasa Bali. Dia membersihkan rumput-rumput di sekitar tanaman padi.
“Kalau saya pintar, saya tidak jadi petani, saya akan bekerja di bidang yang lebih baik. Jadi petani repot dan dekil,” tambahnya.
Begitulah sosok Made Reki memandang pekerjaannya kini. Pekerjaan yang telah menghidupinya bersama istri dan empat anak.
Pandangan negatif tentang pertanian mendorongnya untuk mendidik keempat anak-anaknya tak mengikuti langkahnya menjadi petani. “Anak saya empat, satu orang laki-laki, semuanya tak ada yang menjadi petani, malah yang laki-laki kerja di hotel,” ungkapnya sumringah.
Ada rasa bangga tersirat ketika anaknya tak menjadi petani. Bagi Made Reki, menjadi petani bukanlah pekerjaan yang menarik.
Pekerjaan menjadi petani kini didominasi kelompok umur yang tak lagi muda. Sebaran tenaga kerja pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa sebagian besar berada pada kisaran umur 25-44 tahun (46 persen), kelompok umur di atas 45 tahun (38 persen), dan kelompok umur kurang dari 25 tahun (16 persen).
Mengamati komposisi umur tersebut, dikhawatirkan di masa depan akan terjadi kekurangan tenaga kerja pertanian. Sektor pertanian menunjukan trend aging agriculture, kondisi di mana tenaga kerja di bidang pertanian adalah tenaga kerja berusia lanjut. Sampai saat ini didominasi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah. Jumlahnya mencapai 81 persen dari tenaga kerja pertanian.
Kondisi ini kedepan tentu mengkhawatirkan mengingat profesi menjadi petani memegang peran penting dalam penyediaan sumber pangan.
Pentingnya sektor pertanian seperti ungkapan Henry Kissinger, “Control oil and you can control the nations, control food and you control the people”.
Hal tersebut menjelaskan bahwa makanan berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. Pertanian sebagai salah satu bidang penghasil sumber pangan memiliki peran serupa. Tak hanya dari sisi penyedia bahan pangan, namun juga memiliki peran dari sisi ekonomi, kesehatan, lingkungan, bahkan politis.
Di Bali sendiri, sektor pertanian memegang peran cukup penting dalam bidang pariwisata. Lahan pertanian dan budaya bertani Bali menjadi salah satu objek yang menarik bagi wisatawan di Bali.
Sayang tak banyak generasi muda tertarik menggeluti bidang pertanian. Hal ini seperti hasil survei terhadap pelajar SMA Negeri di Denpasar. Survei dilaksanakan pada 27-29 April 2010 dengan sampel 10 persen dari populasi pelajar SMA Negeri kelas XI di wilayah Denpasar.
Hasil polling menunjukkan bahwa mayoritas pelajar tertarik menjadi dokter (29,15 persen). Tak satu pun yang tertarik menekuni bidang pertanian ataupun bergelut di bidang lingkungan. Data profesi yang diminati pelajar SMA Negeri di Denpasar adalah sebagai berikut: Dokter (29,15 persen), Pengusaha (12,96), Pegawai Negeri Sipil (8,5), Perawat (8,5), Guru (8,10), Apoteker (4,8), Bidan (3,64), Musisi (3,64), Akuntan (2,41), dan lainnya (18,30).
Kasus serupa juga terjadi di Universitas Udayana Bali. Universitas terbesar di Bali juga mengalami kekurangan mahasiswa pertanian. Jumlah mahasiswa baru yang mendaftar di Fakultas Pertanian Universitas Udayana masih jauh dari daya tampung. Tahun 2009, lebih dari 50 persen kursi untuk mahasiswa baru tak berpenghuni karena kekurangan mahasiswa.
Rendahnya minat generasi muda yang menekuni bidang pertanian juga sedikit menghawatirkan Made Reki. Lelaki kurus jangkung ini, tak tahu kelak siapa yang akan mengurus sawahnya mengingat anak-anaknya tak ada yang bisa bertani. “Nanti lahan ini dicarikan orang lain untuk memelihara, atau dijual juga bisa,” ujarnya.
Akhirnya menjual lahan pun menjadi salah satu pilihan. Harga tanah yang kini mencapai Rp 150 juta per are cukup menggoda Made Reki. Alih fungsi lahan menjadi daerah pemukiman pun semakin terbuka lebar, terlebih kawasan disekitar lahan tersebut mulai gencar dimanfaatkan untuk pemukiman.
Jika sudah demikian, memajukan pertanian Bali pun tinggal angan-angan. [b]