“If my wife wants kids, we have kids. Is my wife doesn’t want kids, then we don’t have kids.”
Di atas adalah pernyataan Chef Juna yang dilontarkannya saat diwawancara dalam podcast Dedy Corbuzier. Pernyataan itu banyak mendapatkan sanjungan di media sosial seiring merebaknya isu kesetaraan gender di Indonesia.
Chef Juna berpendapat kalau keputusannya dalam memiliki anak tergantung kesepakatan bersama dengan sang istri sebagai kesatuan pasangan. Kendati dia berasal dari tempat tinggal yang sarat budaya patriarki tetapi perlakuannya mencerminkan sebaliknya.
Ia membagi otoritasnya kepada sang istri sehingga posisi mereka menjadi setara dan bisa saling menghargai pendapat. Tak sampai di sana, ia pun menunjukkan pandangan sekaligus simpatinya kepada wanita yang mesti mengandung sembilan bulan demi mempunyai anak.
Sejauh ini, sepertinya seorang yang dikenal masyarakat sebagai juri di acara Master Chef ini belum mempunyai anak. Hal itu berawal dari kesepakatan bersama pasangan terdahulunya untuk menunda memiliki anak karena mereka ingin fokus berbulan madu selama dua tahun.
Belum usai berbulan madu dan belum memutuskan memiliki anak, pasangan ini keburu kandas di tengah jalan. Namun, sampai kini diusianya menginjak kepala empat, Chef Juna masih nyaman dengan statusnya.
Chef Juna memiliki kadar ‘kecuekan’ yang tinggi, sehingga dia tidak peduli dengan segala hujatan maupun sanjungan orang lain kepada dirinya. Sampai cueknya lantaran betah melajang, dia pernah dicap seorang gay, di tengah masyarakat yang masih bersikap homofobia. Tapi, tetap saja dia bergeming.
Chef Juna sempat menjalani sebagian masa mudanya sekaligus merintis karier sebagai chef di Amerika Serikat. Dia mungkin mengadopsi perasaan ‘bodo amat’ tingkat dewa itu di sana, dan juga sedikit banyak dipengaruhi dalam cara berpikir dan nilai-nilai yang dianutnya. Misalnya, generasi muda yang berada di negara maju itu sudah santer mengenal isu childfree. Lalu, tipe-tipe orang disana menganut liberalisme yang menjunjung setiap kebebasan individu, asal tidak merugikan orang lain.
Kutipan Chef Juna seperti, “if my wife wants kids…”, mungkin berkaitan dengan hal-hal di atas dan tentu menarik untuk ditelusuri bagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya menilai pernyataan tersebut. Masyarakat mungkin akan menilai janggal pernyataannya.
Ini disebabkan karena ada beberapa anggapan yang telah mapan seperti tujuan menikah adalah melanjutkan keturunan, anak adalah sumber rejeki, dan ketika melanjutkan keturunan itu juga perihal memberi jalan kepada leluhur untuk bereinkarnasi. Itu menjadi alasan mengapa pasangan di Indonesia jarang sekali ada yang bisa menerima pernyataannya, toh sekalipun ada, mereka akan kalah karena tekanan sosial dan akhirat yang besar ketika memutuskan tidak melanjutkan keturunan.
Maka pernyataan dari Chef Juna perlu ditelurusi lebih jauh karena setiap orang memiliki motif dari setiap tindakannya. Namun bagi saya, jawaban Chef Juna belum cukup menjawab motif nya sendiri, jawaban itu serasa di permukaannya saja. Pasti ada alasan yang kuat dibalik itu untuk berlaku sejalan dengan pikiran dan sikapnya.
Mengingat kembali kalau Chef Juna menghabiskan sebagian masa mudanya di Negeri Paman Sam, kali ini saya akan mencoba mengelaborasikan hasil diskusi teman-teman dan dosen cum sosiolog yang sebelumnya sempat dibahas dalam grup kelas, ditambah juga sedikit referensi yang pernah saya temukan mengenai latar belakang orang-orang lain seperti Chef Juna yang ‘malas’ memiliki anak. Setidaknya ada dua alasan kuat yang dapat menjadi motif orang-orang ala Chef Juna.
Pertama, merebaknya isu childfree di Barat. Chef Juna pasti sempat bersinggungan dengan isu itu ketika tinggal di Amerika. Misalnya, di sana tak jarang ditemukan pasangan suami istri yang menikah tapi secara sadar memutuskan tidak punya anak. Pasangan seperti itu bisa tergolong kedalam gerakan childfree, mereka sadar untuk membesarkan anak butuh biaya yang besar sedangkan para calon orangtua juga terus butuh penghidupan.
Dari pada biaya yang terbatas itu untuk membesarkan anak lebih baik difokuskan untuk dirinya sendiri. Apalagi sudah menjadi lumrah kalau mereka memutuskan punya anak lalu ketika mereka beranjak tua cenderung akan ditempatkan di panti jompo oleh anaknya sendiri. Bila dibawa ke dalam konteks masyarakat di Indonesia hal ini bakal dianggap tindakan tak terpuji dan durhaka. Tetapi di dunia Barat tindakan itu rasional—apalagi ketika masa tua mereka bisa lebih terjamin oleh peran negara yang bertanggung jawab dengan kebijakan jaminan sosial yang baik.
Di lain sisi, mendidik anak adalah persoalan yang ‘maha’ berat ketimbang memenuhi kebutuhan hidup anak yang juga tidak kalah beratnya. Banyak faktor yang mempengaruhi didikan anak misalnya dua faktor penting dari orangtua dan lingkungan sekitar. Barangkali banyak ditemukan ‘anak salah didik’, bukan hanya karena peran orang tua nya tetapi juga nilai-nilai masyarakat yang telah dibentuk dan akhirnya kembali membentuk setiap karakter anggota masyarakat termasuk anak itu sendiri.
Alih-alih anak itu terdidik dengan baik sehingga bisa memperbaiki keadaan keluarganya bahkan masyarakat di tempat dia tinggal, justru kehadiran anak kelak hanya meregenerasi terciptanya agen-agen baru sekaligus memperkokoh nilai-nilai yang telah mapan. Jangan-jangan generasi baru itu hadir hanya untuk mewarisi watak orang-orang yang berkarakter nasionalis tapi sempit.
Antroposentris yang kurang memiliki kesadaran lingkungan, intoleran yang menumbuhkan bibit rasisme. Kemudian nilai feodalisme yang membuat kita tak beranjak ke mana-mana, hingga budaya patriarki yang kelak anak itu bisa menjadi calon pelaku ataupun korban dari pelecehan seksual di masa mendatang. Dan, pada akhirnya yang dikhawatirkan adalah mereka lahir untuk jadi penindas dan/atau kelompok tertindas baru.
Kedua, masa depan sebagai distopia. Mereka yang berpandangan demikian cenderung selalu melihat sesuatu dari sisi negatif sehingga pesimistis menyambut kehidupan mendatang. Mereka sadar kalau bumi sedang mengalami krisis iklim yang kian mengancam kualitas hidup umat manusia dan segala makhluk hidup yang ada di dalamnya. Lalu mereka juga sadar kalau tumbuh-berkembang sang anak kelak akan dipengaruhi oleh berbagai kondisi ekonomi, sosial, dan politik global maupun nasional dalam masyarakat yang selalu berdinamika.
Di Indonesia khususnya, sekiranya individu atau pasangan yang memandang masa depan sebagai sesuatu yang tak menggairahkan. Salah satunya dikarenakan oleh kesadaran bahwa mereka tidak bisa naik tingkat dalam strata ekonomi lantaran jurang pemisah atau kesenjangan ekonomi yang begitu tajam. Kendati sudah ‘Kerja, Kerja, Kerja’ hingga Tipes, mereka yang lahir dari keluarga ekonomi menengah atau miskin akan cenderung terjebak di sana, juga sebaliknya.
Jadi orang yang lahir dari keluarga kaya akan tetap kaya dan yang lahir dari keluarga miskin akan tetap miskin. Sampai ke keturunan-keturunannya lagi, bahkan sampai dimasa reinkarnasi-reinkarnasi selanjutnya.
Belum lagi disahkannya seabrek produk hukum yang dianggap melegitimasi makin terhimpitnya kehidupan orang banyak. Misalnya, hadirnya Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang memuluskan investor tambang salah satunya untuk mengeruk fosil batubara dari perut Ibu Bumi di Kalimantan dan Sumatra. Produk hukum tersebut dianggap sepihak menguntungkan industri ekstraktif nan ekploitatif dari hulu hingga hilir.
Mengorbankan kesehatan masyarakat banyak karena turut menopang beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara yang sudah terbukti mencemari udara, air, dan tanah yang merupakan kebutuhan paling dasar makhluk hidup untuk tumbuh. Lain lagi produk hukum tentang isu pekerja (baca: buruh) yang justru semakin hari bukannya makin terjamin kesejahteraannya. Malahan hak-hak pekerja makin dilucuti seiring dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja ditengah ketidaktransparan karena diselesaikan dengan tempo sesingkat-singkatnya meskipun di tengah polemik dan pandemi.
Di tengah kefrustasian hingga keputusasaan masyarakat dalam situasi pandemi Covid-19 yang belum usai, sayangnya bukan contoh terakhir, namun bisa terlihat secara mata telanjang bagaimana sistem kesehatan masyarakat dan jaminan sosial negara begitu tersengal-sengal bahkan ambruk dalam menghadapi gelombang kedua Covid-19. Ditambah lagi, sejak awal penguasa yang ugal-ugalan tak mengindahkan pendapat ahli kemudian malah melontarkan sederet pernyataan yang seolah meremehkan bahkan cenderung ‘anti-sains’ hingga akhirnya dinilai inkompenten karena wabah tidak terkendali seiring munculnya varian Delta.
Kemudian, sisa-sisa harapan masyarakat Indonesia pasca Reformasi 1998, di mana sepertinya hari demi hari hendak dimasukkan ke liang lahat. Pada tahun 2020, Indeks Demokrasi mengalami penurunan, begitu juga dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang tumben-tumbenan turun setelah UU KPK direvisi, padahal sebelumnya sepuluh tahun terakhir terus mengalami peningkatan signifikan.
Pada akhirnya tanpa menampik hal-hal di atas, nampaknya masa depan akan sungguh begitu suram. Setidaknya begitulah pandangan orang-orang yang memandang dunia yang mengarah pada distopia. Termasuk Chef Juna barangkali juga ‘mengamini’ pemikiran ini. Sehingga menjadi sesuatu kejahatan atau tidak bertanggungjawab ketika melahirkan anak masuk ke dalam dunia di tengah kondisi yang tak akan jauh berbeda dengan hari ini.
Sebagaimana juga seorang bitter realist, Soe Hok Gie, yang mungkin sepemikiran dengan Chef Juna, dalam buku hariannya Gie pernah menulis, “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan… .Rasa-rasanya memang begitu.”