Tiga setengah jam tanpa rehat, semua peserta tetap semangat.
Sekitar 275 peserta khidmat mengikuti seminar branding dalam pariwisata Bali yang dilaksanakan Program Studi S-2 Kajian Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Jumat dua hari lalu.
Seminar itu bertema “Branding Individu dan Branding Kolektif dalam Pariwisata Bali”. Hadir pembicara dari praktisi pariwisata dan akademisi serta birokrasi di bidang branding pariwisata.
Seminar dalam rangka perayaan Dies Natalis Unud ke-53, dibuka Pembantu Rektor IIV Prof. Made Suastra. Hadir pada kesempatan itu Prof. Made Budiarsa, Asisten Direktur Pasca-Sarjana Unud, Ida Bagus Ngurah Wijaya dari GIPI/BTB Bali, Dr. Agung Suryawan Sekretaris Program Doktor Pariwisata Unud, Dekan Fakultas Pariwisata Unud Dr. I Made Sendra,M.Si., dan undangan lainnya.
Keempat pembicara yang tampil adalah praktisi pariwisata Made Masih (pemilik Made’s Warung) dan Mr. Joger (pemilik toko kaos/ Pabrik Kata-kata), akademisi Unud Dr. Putu Saroyeni, dan Prof. I Gde Pitana, Deputi Menteri Pariwisata Bidang Pemasaran Luar Negeri. Seminar yang berlangsung penuh pengetahuan dan keriangan itu dipandu Dr. I Nyoman Madiun.
Branding Kolektif
Prof. Pitana mengatakan bahwa sebagai negara besar dengan ribuan pulau dan aneka ragam identitas daerah, membranding Indonesia sebagai destinasi wisata adalah penuh tantangan.
“Kita sudah mempunyai branding Wonderful Indonesia, tantangannya adalah bagaimana menyelaraskan branding individu tiap-tiap destinasi dengan branding kolektif Indonesia dan sebaliknya,” katanya.
Untuk tahun 2016, Kementerian Pariwisata akan menyiapkan anggaran penataan branding untuk 10 destinasi wisata di Indonesia. Daerah-daerah yang merasa bahwa branding-nya perlu direvitalisasi disarankan untuk mengajukan proposal ke Kementerian Pariwisata.
“Sudah ada beberapa daerah yang mengajukan rencana untuk menyegarkan brandingnya, misalnya Kabupaten Banyuwangi dan Kepulauan Riau,” ujar I Gde Pitana yang juga dosen S-2 dan S-3 Pariwisata Unud.
Menurut Gde Pitana, alokasi anggaran yang disediakan terbuka untuk daerah-daerah yang mengajukan proposal.
“Jika Bali merasa perlu untuk memperbaraui dan melakukan rebranding dipersilakan mengajukan proposal kepada Kementerian Pariwisata,” tambahnya.
Dr. Saroyeni menyampaikan bahwa branding pariwisata Bali yaitu “Santi Santi Santi” yang muncul beberapa tahun setelah tragedi bom Bali 2002 dan 2005 sejauh ini belum pernah dievaluasi efektivitasnya.
Dalam seminar itu, branding Bali Santi Santi Santi ini dan branding secara keseluruhan banyak dibahas terutama kaitannya dengan kemampuan dan fungsi riil branding dalam memikat wisatawan untuk berkunjung.
“Branding yang kuat harus dibangun dengan komitmen dan fokus, mengandung esensi nyata dari produk yang ditawarkan,” ujar Saroyeni.
Pengalaman
Dalam seminar itu, dua praktisi pariwisata yaitu Made Masih dan Mr. Joger memaparkan perjuangan dan rahasia mereka membangun branding usaha masing-masing yang kini menjadi ikon dalam pariwisata Bali.
Made Masih yang tidak tamat SD itu mulai membangun warung di Kuta akhir 1960-an, ketika Kuta masih sunyi-senyap. Branding Made’s Warung yang dibangun baru berkembang setelah hampir 20 tahun, yakni tahun 1980-an mulai terkenal. Dari sana Made’s Warung mengembangkan cabangnya (yang lebih besar) di daerah Seminyak.
“Tidak mudah, tapi saya berjuang bersama keluarga dengan komitmen dan konsistensi yang terus menerus,” ujar Made Masih. Sudah populer kini ucapan banyak wisatawan bahwa mereka merasa belum datang ke Bali atau ke Kuta sebelum menikmati makanan di Made’s Warung.
Yang juga penting adalah bahwa kehadiran Made’s Warung di daerah Seminyak tergolong pionir karena ketika mereka memulai membuka warung di sana awal 1990-an, daerah Seminyak belum seramai sekarang. Ibu dua anak itu sebetulnya enggan membuka cabang, namun belakangan hal itu dilakukan di daerah Benoa yang dikelola oleh anak-anaknya sebagai upaya regenerasi.
“Saya ingin pelanggan yang datang ke warung, bukan warung datang ke pelanggan,” ujar Ibu dua anak dengan suami orang Belanda itu.
Prinsipnya ini disampaikan untuk menjelaskan mengapa Ibu Made menolak membangun cabang di tempat lain seperti disarankan teman-temannya.
Menurut Bu Made, banyak temannya mengajak dia untuk membuka warung di berbagai tempat seperti Jakarta dan Singapura, namun dia tidak mau dan bertahan di Bali saja dengan branding ‘warung’, padahal sudah menjadi restoran berkelas internasional.
Pabrik Kata-kata
Pemilik toko penjual baju kaos dengan desain dan kata-kata jenaka, Mr. Joger tampil serius dan jenaka. Dia menuturkan proses memperkenalkan branding “Joger, Pabrik Kata-kata”, dengan segala rintangan internal dan eksternal.
Rintangan internalnya adalah dorongan anaknya agar Joger mengambil keputusan menutup dua dari tiga tokonya. Alasannya, memiliki banyak toko membuatnya tidak ada waktu cukup untuk keluarga. Adapun rintangan eksternal adalah adanya usaha sejenis yang meng-copy atau mengekor desain yang dibuat.
“Dulu saya buat kata-kata ‘Everyday is Sunday in Bali’, lalu ada yang meniru ‘Everyday is Sunday in Yogya’, apakah ini bukan mengekor?” katanya jenaka.
Pengggas seminar, Prof Darma Putra merasa puas karena seminar berlangsung memikat tanpa rehat selama 3,5 jam. Peserta yang hadir memenuhi ruangan, dan mereka bertahan mendengarkan ceramah dan diskusi sampai akhir.
“Banyak pengetahuan baru yang diperoleh peserta tentang branding. Paling tidak mereka mendapat penyegaran tentang apa yang mereka rasa sudah tahu,” kata Ketua Prodi S-2 Kajian Pariwisata.
Dr. Agung Suryawan yang mengikuti seminar dari awal sampai akhir dan sempat mengajukan pertanyaan kritis kepada Joger memuji pelaksanaan seminar. “Materi dari narasumber dan semangat peserta bertahan sampai akhir bukti seminar sukses luar biasa,” ujar mantan Sekretaris Bali Tourism Board (BTB) itu. [b]