Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali atau yang disebut PKB di bekas Galian C, Desa Gunaksa, Kabupaten Klungkung kini menjadi perhatian yang cukup serius oleh pemerintah dan masyarakat. Pembangunan PKB Klungkung ini merupakan cita-cita Wayan Koster sebagai Gubernur Bali dalam mewujudkan visinya yang memprioritaskan pembangunan kebudayaan dengan unsur adat istiadat, seni, tradisi dan budaya dengan kearifan lokalnya.
Mega proyek yang memerlukan dana sebesar 2,5 triliunan ini mulai digarap dari bulan Januari 2022. Hingga saat ini pembangunan masih terfokus pada pematangan lahan yang keseluruhannya memerlukan material sebanyak 7,9 juta meter kubik. Proses pematangan lahan ini berupa pengurukan material seperti tanah dan bebatuan sebagai dasar pembuatan gedung beserta bangunan lainnya.
Berdasarkan pernyataan Kepala Dinas PUPR bahwa pembangunan pusat kebudayaan ini masih kekurangan 3 juta meter kubik material penunjangnya. Akhir-akhir ini masyarakat Klungkung terutama di Kecamatan Dawan mulai diresahkan oleh pengerukan bukit berkedok penataan lahan. Sudah banyak bukit yang tampak bopeng dan tak elok dipandang. Bukit sebagai salah satu pemandangan alam kini telah mampu dijamah oleh manusia tak bertanggung jawab.
Pemilik lahan pada ruas-ruas bukit menjual hasil aktivitas pengerukan tersebut untuk pembangunan PKB Klungkung yang masih defisit material dasar. Para pemilik lahan berkepentingan untuk menata lahan sebagai antisipasi bencana alam di tanah milik pribadinya. Akan tetapi masih banyak ditemui aktivitas yang tanpa izin. Kerja sama antara pengeruk dan pemilik lahan ini akan mendapatkan keuntungan yang nantinya akan dibagi satu sama lain.
Walaupun tanah tersebut milik pribadi tetapi secara hukum telah diatur bahwa segala aktivitas di atas tanah pribadi juga harus mengedepankan keselamatan bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Maka dari itu, dalam laporan penemuan ini dibuat untuk memaparkan segala informasi serta survei lapangan yang telah kami tempuh terkait pengerukan bukit di Kabupaten Klungkung.
Pengerukan Bukit di Gunaksa
Pengerukan Bukit Klungkung yang terjadi berbulan-bulan lamanya telah menjadikan keresahan baru masyarakat setempat yang desanya terkena titik pengerukan. Kami dalam hal ini Kementerian Kebijakan Daerah BEM PM Universitas Udayana langsung melakukan survei lapangan dengan bertujuan mendapatkan informasi data faktual di beberapa titik lokasi pengerukan.
Berdasarkan informasi dan hasil pemantauan di lapangan, pengerukan bukit terjadi di sejumlah lokasi di wilayah Kecamatan Dawan. Seperti di Desa Paksebali, Gunaksa, Pesinggahan, Pikat dan lainnya. Pada Jumat, 27 Mei 2022 kami mengadakan pertemuan dengan Kasatpol PP Kabupaten Klungkung, I Putu Suarta di kantornya.
Berdasarkan pertemuan tersebut kami mengetahui bahwa masih banyak aktivitas pengerukan tanpa izin atau berjalan secara ilegal. Begitu pula pernyataan Perbekel Desa Pesinggahan yang kami temui di kantornya, bahwa aktivitas tersebut terjadi antara pemilik lahan dan perusahaan pengeruk yang nantinya akan mendapatkan keuntungan satu sama lain dari penjualan material untuk PKB Klungkung. Perbekel Desa Pesinggahan juga mengatakan bahwa pihak desa tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan atau menutup aktivitas pengerukan berkedok penataan lahan tersebut. Pada pertemuan kami dengan Perbekel Desa Pesinggahan tersebut, beliau memperlihatkan sebuah surat perjanjian antara pengeruk (pengembang) dan pemilik lahan dengan pihak desa.
Dalam surat perjanjian tersebut kami menemukan beberapa pelanggaran yang menurut kami berpotensi melanggar perjanjian yang sudah ditetapkan pihak pengembang dengan masyarakat pemilik lahan. Berikut merupakan beberapa isi perjanjian Pengembang dengan pemilik lahan:
1. Aktivitas tersebut harus mendapatkan ijin AMDAL ataupun UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup);
2. Harus dilakukan penataan lahan setelah pengerukan;
3. Truk yang membawa material hasil kerukan tidak boleh konvoi;
4. Truk tidak boleh melaju dengan kecepatan tinggi;
5. Truk harus ditutupi terpal ketika membawa bahan material agar tidak menyebabkan polusi udara;
6. Ketika aktivitas pengerukan telah selesai, maka pihak pengeruk wajib memperbaiki jalan yang rusak akibat proyek tersebut;
7. Bila hal tersebut (poin nomor 6) tidak dilakukan, maka alat-alat berat yang digunakan dalam aktivitas pengerukan bukit akan disita.
Dari beberapa perjanjian yang ditetapkan diatas kami menemukan bahwa:
1. Tidak adanya kepastian bahwa kapan pengerukan dihentikan, maka akibatnya tidak dapat dipastikan kapan penataan dapat terjadi;
2. Truk yang mengangkut material pengerukan tidak menggunakan terpal diatasnya, akibatnya banyaknya material yang jatuh ke jalanan membuat jalan berdebu atau dipenuhi oleh material yang diangkut;
3. Truk mengangkut material dengan laju tinggi, akibatnya jalanan yang rusak tidak adanya perbaikan oleh pihak pengembang, dan banyaknya warga setempat yang menjadi korban jatuh disana, hal ini dibuktikan dari keterangan warga setempat dan dijawab langsung oleh Bupati melalui media sosial untuk diatensikan kepada Dinas PUPR;
4. Tidak adanya sistem terasering yang dilakukan di titik pengerukan, yang kemungkinan berakibat pada bencana alam tanah longsor dikemudian hari;
5. Beberapa titik lokasi pengerukan bukit tidak mempunyai izin, seperti di di Dusun Buayang dan Babung, Maka dari itu Satpol PP Kabupaten Klungkung langsung dengan sigap menghentikan kegiatan pengerukan tersebut;
6. Kepala DInas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Kabupaten Klungkung, I Ketut Suadnyana mengungkapkan stafnya telah turun keenam lokasi diduga pengerukan yang ada di Kecamatan Dawan. Dan menurutnya, kegiatan tersebut merupakan penataan lahan bukan pengerukan. Meski begitu, aktivitas tersebut juga harus berizin. “Kalau penataannya sampai 5 ribu kubik, harus mengurus UKL UPL. Namun bila di atas itu, harus mengurus AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan). Hanya saja dari pengecekan keenam lokasi penataan tersebut, tidak satu pun telah berizin. Sehingga pihaknya telah mengimbau pemilik lahan untuk mengurus izin;
7. Pengerukan ini jauh dari kata penataan seperti apa yang dijanjikan oleh pihak pengembang.
Selain itu, kami juga mendengar banyak keluhan warga sekitar yang menolak bahkan tidak nyaman atas aktivitas pengerukan tersebut. Pasalnya sudah banyak jalan yang rusak parah akibat truk-truk yang membawa material dengan beban berat dan berlalu lalang dengan kecepatan tinggi setiap harinya. Jalan yang semula layak dilewati warga sekitar, kini banyak merenggut luka. Banyak warga yang mengaku bahwa jalan-jalan tersebut berbahaya sehingga sudah banyak warga yang jatuh saat melintas. Selain jalan yang kian merusak, kondisi pedesaan terutama di titik pengerukan diselimuti oleh debu yang beterbangan dengan bebas di udara. Hal ini tentu mengganggu aktivitas warga sekitar dan menimbulkan ketidaknyamanan.
Pengerukan dengan cara yang salah dapat menjadi ancaman besar pula bagi warga yang tinggal di sekitaran bukit. Ancaman tanah longsor menjadi tuntutan besar warga sekitar, ditambah lagi jika musim penghujan tiba maka longsor tak bisa dikendalikan lagi.
Selain bencana, dapat kita lihat bahwa terdapat banyak bangunan suci seperti pura yang telah berdiri ratusan tahun lamanya yang juga terancam terkena dampak. Mulai dari kaki bukit, beberapa pura itu meliputi Pura Dalem Setra Tutuan, Pura Bukit Buluh, Pura Bukit Tengah, Pura Bukit Mastapa, Pura Gunung Lingga, dan satu lagi Pura milik keluarga Arya Dauh. Tentu pengerukan ini akan mengancam keberadaan beberapa pura tersebut.
Pengerukan bukit ini merupakan aktivitas berbahaya yang tidak hanya mengancam dan mengganggu warga sekitar, tetapi mengancam keberadaan warisan kawasan suci di bukit-bukit tersebut. Maka sangat perlu dan segera bagi pemerintah setempat menghentikan dan meminta pertanggungjawaban secara tegas terhadap segala kerusakan yang telah ditimbulkan dari aktivitas pengerukan tersebut. Jangan sampai karena mega proyek nasional yang sudah didukung penuh oleh pemerintah provinsi bahkan pusat ini menjadikan semua hal itu legal demi berdirinya sebuah pusat kebudayaan.
Saat kami bertanya mengenai alur koordinasi pelaporan pengerukan ini kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, beliau mengatakan bahwa alurnya dari skup terkecil yaitu masyarakat. Tetapi saat kami memberikan jawaban bahwasanya laporan dari skup terkecil saja tidak ditindaklanjuti, beliau beralasan bahwa perlu dicek data diri si pelapor, apakah pelapor merupakan masyarakat asli setempat. Menurut kami, pernyataan ini sudah tidak relevan lagi dengan pertanyaan yang kami ajukan. Hasil diskusi tersebut terkesan tidak terarah dan terlihat bahwa adanya lempar tangan tanggung jawab dalam kasus ini.
Atas temuan tersebut diatas, kami melayangkan surat audiensi dengan Bupati Klungkung. Adapun hasil audiensi tersebut pada hari Rabu, 10 Agustus 2022 meliputi:
1. Terjadi pengerukan dengan perluasan menjadi 40 titik lokasi.
2. Pemerintah Kabupaten Klungkung sepakat untuk menelusuri berapa jumlah titik galian diantara 40 titik galian yang memang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan Pusat Kebudayaan Bali.
3. Pengerukan menghasilkan dampak buruk pada lingkungan seperti tanah yang berceceran, jalan yang rusak, debu yang berterbangangan karena pengangkutan yang melebihi tonase dan tidak menggunakan terpal penutup.
4. Pengerukan yang menyebabkan ancaman seperti di Pura di Daerah Punduk Dawa Pesinggahan yang menimbulkan ancaman terjadinya longsor sudah dihentikan permanen.
5. Pemerintah Kabupaten Klungkung menyatakan pengerukan yang terjadi di 40 titik lokasi di Klungkung tidak memerlukan izin namun dengan pemantauan terus menerus.
6. Terdapat 14 titik lokasi galian yang sudah dihentikan pelaksanaan pengerukannya.
7. Durasi pengerukan untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan Pusat Kebudayaan Bali dinyatakan berjalan hingga Desember 2022.
8. Perbaikan jalan yang rusak akibat pengangkutan bahan galian akan dilakukan di tahun 2023 dan menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Bali.
Tidak hanya di Dawan, di buat alam hancur, tapi di jalur hijau di utara dari Paksebali/Ksatria, Klungkung. Ada galian C luas sekali di bukit-bukit hijau di sebelah jalan.Truk dan traktor sedang merusak lingkungan hijau dan buat seperti gurun-pasir. Saya bisa menanggis setiap kali saya ambil jalan dari Sidemen ke Klungkung.
Dan semua ini untuk buat ‘pusat kebudayan Bali’? Di mana kebudayan Bali? Misalnya ‘Tri Hita Karana’, kalau untuk berbaiki kondisi buruk dari bekas Galian C Gunaksa, di merusak bukit-bukit, paru-paru hijau dari Bali?
Bencana lingkungan yang sedang jadi di utara dari desa Ksatria betul ada ijin-ijin yang di perlukan????
Saya sedih.
Kenapa