Merananya subak dipicu tumbuhnya industri pariwisata di Bali.
Bali memiliki beragam organisasi di bidang-bidang tertentu. Keberadaan organisasi sosial di Bali sangat erat dengan asas kebersamaan dan gotong royong. Sebab, sejak manusia Bali dilahirkan hingga dewasa, mereka tidak terlepas dari aktivitas menyangkut sosial kemasyarakatan.
Oleh karena itu, landasan dasar pada pemikiran-pemikiran maupun pola perilaku manusia Bali pada umumnya terorientasi pada semangat menyama braya. Semangat ini selalu berusaha mengutamakan kepentingan bersama. Hal ini terwujud dalam pengambilan kebijakan suatu organisasi tradisional. Kebijakan diambil melalui musyawarah mufakat untuk memecahkan suatu persoalan.
Organisasi-organisasi tersebut tercermin dalam berbgai unit kegitan kemasyarakatan, seperti desa adat, sekeha, dan subak. Masing-masing terfokus pada bidang-bidang tertentu.
Desa adat berperan mengatur sosial religius masyarakat di suatu wilayah tertentu di Bali. Sekeha memiliki berbagai jenis kegiatan, seperti seni tabuh, seni tari, memanen (manyi) ataupun sekadar sekeha demen (sekadar memenuhi rasa kenyamanan dan kesenangan anggotanya pada bidang tertentu. Sekeha demen ini, misalnya sekeha tuak, sekeha nyuluh, dan sebagainya.
Pola kehidupan masyarakat Bali sejak dulu hingga saat ini dikenal sebagai masyarakat agraris. Namun, saat ini pola ini semakin hari semakin pudar. Masyarakat agraris ini juga memiliki organisasi khas dan terkenal di penjuru dunia yaitu subak.
Subak merupakan sebuah organisasi tradisional di sektor pemanfaatan lingkungan berupa pertanian. Kelompok ini mengelola sistem pengairan yang merata dan teratur di Bali. Sebagai warisan dari zaman Bali Kuna, organisai Subak masih banyak dapat kita jumpai di daerah-daerah pertanian di Bali.
Seiring perkembangan zaman, pola kehidupan masyarakat di Bali pun turut mengalami perkembangan sangat pesat. Tuntutan kebutuhan yang semakin banyak dan beragam membuat masyarakat Bali semakin mengutamakan pendekatan-pendekatan ekonomi. Akibatnya, pembangunan kawasan-kawasan komersial tak terelakkan menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non-pertanian.
Perubahan itu semakin parah dipicu tumbuhnya industri pariwisata di Bali. Industri pariwisata selain menjanjikan pekerjaan atau mata pencaharian baru bagi masyarakat Bali juga membutuhkan sarana dan prasarana baik sebagai jawaban atas kontribusi industri pariwisata bagi masyarakat Bali dan pendatang yang mencari penghidupan di Bali. Sarana dan prasarana itu antara lain hotel-hotel dari yang level layak pakai hingga berlabel bintang lima, restoran, toko-toko kesenian dan jasa di bidang pariwisata.
Terlepas dari perspektif pariwisata, kebutuhan lahan untuk permukiman pun terus mengalami peningkatan. Hal ini karena jumlah penduduk di Bali terus mengalami peningkatan, apalagi dengan datangnya para pekerja dari luar daerah Bali. Pembangunan permukiman baru juga menjadi biang kerok alih fungsi lahan pertanian di Bali. Pembangunan infrastruktur pariwisata dan permukiman tersebut tentu membutuhkan lahan yang tidak sedikit, sehingga menggerus daerah pertanian yang menjadi inti pola kehidupan masyarakat Bali.
Ketika pembangunan infrastuktur penunjang pariwisata dan permukiman tersebut dilakukan pada tahap wajar dan sesuai aturan tentu hal itu tak dapat disalahkan. Namun, masih banyak pembangunan dilakukan tanpa mengindahkan peraturan yang telah ditetapkan. Misalnya, pembangunan di kawasan hijau, pembangunan pada tepi sungai ataupun daerah pesisir pantai tanpa memperhitungkan jarak sempadan yang telah ditetapkan.
Itupun jika proses pembangunannya memenuhi aspek-aspek suistainable architecture dan green architecture. Jika tidak, maka akan berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan yang dapat merugikan masyarakat Bali itu sendiri.
Peranan pemerintah sebagai pemegang kebijakan juga masih lemah dalam pelaksanaan aturan-aturan tersebut. Jika alasan dari segi ekonomi lebih diutamakan, ada saja pembenaran. Sebab, segi ekonomi paling mampu memberi jawaban tegas atas berbagai kebutuhan dan keinganan manusia Bali yang semakin jamak.
Tentu pemasukan dari bidang pariwisata lebih menjanjikan daripada bidang agraris, maka tak heran jika pemikiran generasi muda semakin terpengaruh oleh tipikal-tipikal masyarakat modern. Tentu saja generasi muda lebih memilih pekerjaan lebih layak dengan pakaian necis daripada berkototor-kotor di sawah dengan penghasilan tidak menentu.
Pas lagi buntung, jangankan modal kembali, posisi merugi pun sering dialami oleh petani Bali.
Namun, apakah kita akan terbuai gemerlapnya industri pariwisata tersebut dan meninggalkan secara total warisan budaya adiluhung yang membuat nama Bali terangkat di mata dunia? Sadar atau tidak sistem penataan persawahan dengan sistem subak sebagai pondasinya telah menjadi objek menarik bagi wisatawan untuk datang ke Bali. Sungguh ironis jika hasil sebuah sistem organisasi tradisional yang awalnya menjadi daya tarik bagi pariwisata tersebut justru menghancurkan daya tarik itu sendiri. [b]
pada tahun 2011, dua kali saya mengirim tulisan hasil riset ke Bappeda Propinsi Bali, tapi sampai sekarang tidak ada tanggapan sama sekali, satu kalimatpun tidak ada di inbox email dan kotak surat saya.
Tulisan saya tentang dampak pariwisata berkaitan dengan potensi lokal Bali. Memang pariwisata mendapat tempat khusus di Bali, ia adalah anak emas yg selalu menjadi prioritas di segala bidang, berbeda dengan pertanian, perikanan, perkebunan dan berbagai sektor agraris Bali. Padahal, hanya 2 Kabupaten dan 1 Kodya saja yg memiliki aset pariwisata berkembang pesat, lantas daerah lainnya? sudah pasti agraris. karena anak emas inilah kemudian Kabupaten lainnya menjadi kelas dua, karena pemasukan daerah tidak seperti pemilik aset wisata. Kemudian bermunculan isu – isu jalan rusak, saluran irigasi tidak layak pakai, kekeringan, dsb. Karena potensi daerah tidak dioptimalkan, pembangunan infrastruktur sudah tidak merata.
Seandainya saja Pemerintah Propinsi Bali terbuka matanya melihat yg seperti ini, saya yakin Bali bisa menjadi jauh lebih baik.
salam,
Putu
(Nb : Tulisan yg saya kirim th.2011 itu hasil riset dari Direktorat Jenderal Pajak dan Departemen Keuangan Negara Republik Indonesia. Tulisan itu juga saya ajukan untuk proposal riset untuk mengambil Urban Design and Regional Development di negeri seberang, yg ternyata di mata pejabat kita hanya sebatas penghuni tempat sampah)
Basis produksi masyarakat Bali telah berubah. Itulah kesan saya. Berubah dari sektor agraris tradisional ke sektor jasa pariwisata yg moderen dan kapitalistik. Celakanya, sektor jasa (industri pariwisata) terus melaju dgn basis produksi kemodernannya, sedangkan sektor agraris semakin menyusut, involutif, terdesak dan ditinggalkan oleh generasi muda petani. Proses subsidi silang juga tidak terjadi di dalamnya. Akibatnya, sektor agraris tidak mampu memodernkan diri menjadi industri hijau (pertanian yg maju/organik), dan tetap tradisional. Padahal, aspek ini belakangan semakin menjadi pundi-pundi emas bersamaan dgn semakin besarnya minat wisatawan khusus terhadap objek-objek Ecotourism. Wajah Ubud, Desa Taro, Desa Jatiluwih, dll, barangkali bisa menjadi salah satu contoh, bahwa sektor pertanian jga mampu menjadi sumber produksi yg hebat, serta dapat bersanding dgn laju industri pariwisata. Persoalanya kemudian adalah, keberanian Wong Bali sendiri dlm menggunakan kekuatanya utk melakukan perubahan ke arah itu. Karena tanah Bali, pariwisata yang Bali, dan masa depan Yang Bali, adalah milik Wong Bali sendiri. Ini semua telah diingatkan oleh para pendahulu mereka dengan cerdas melalui sistem subak, dan srtategi pengelolaan ekologi pertanian berbasis budaya lokal. Kapan Wong Bali modern sekarang ini mampu menembus harapan cerdas para pendahulu mereka itu ? ….,
trims diskusinya…
nampaknya slogan dan fakta dlpangan agk slit brtemu… pariwisata budaya yg mnjadi andalan sdh shrsnya dijadikn acuan.. supya pulau yg ktnya sorga yg trakhir ini tdak hlang.. dan tanda kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan sudah sngat drasa dmn2 d bali…mungkn msyrakt bali agk takut juga kalau bali tanpa pariwisata, tp tak tega pula mlihat smuanya dperkosa demi pariwisata.. hhm
slmat galungn k kuningan
Bukan hanya itu , “Hindu” yang merupakan roh dari pariwisata budaya pun tidak bisa di nampikkan. Semuanya bersumber dari sana, sayang blkangan ini ketika simbol Hindu diadopsi oleh pendatang non Hindu, mengaburkan kesakralannya, baik bentuk, lambang dan simbol trsbut. Lumrah!
sayangnya sebagain dari kita ada respon-tidak-sama saja, sama-sama diam untuk tidak berbuat banyak untuk menyikapinya dengan action. terlalu berserah dan pasrah.
Klu gitu, kapan mulai action 🙂
kira2 action apa saja yg bisa kita lkukan sgera ia tnpa OOD tntang isi tulisan diatas? smbol ap yg dmksud, diadopsi olh pndatang dn lumrah? thx komentny, agus w.
Yadnya nak bali umumnya hanya sebatas ngoopin, ngayah,dll biar nanti mati “sing kalin banjar”, tp lupa dgn hal yg lebih mendasar khususnya lingkungan (sedikit quote dr ari astina, sid). *Orta di pempatan “jaman jani adat ing mempan ajak pipis, oknum2 di desa be gisi jak tamu (investor)”, hal ini menunjukan semakin lemahnya adat. Maka dari itu peran pemerintah sebagai pembuat regulasi dan “penegak” sangat penting, guna menekan alih fungsi lahan pertanian akibat pariwisata.
Sekedar info, kasus alih fungsi dan kepemilikan tanah pernah terjadi di Amerika Serikat, ketika orang luar Amerika mendominasi kepemilikan tanah di Washington. Merespon fenomena tersebut pemerintah Washington DC mengeluarkan peraturan. Peraturan tsb isinya: setiap warga yg menjual tanah, 75% nilai transaksi masuk ke negara. peraturan tersebut terbukti ampuh di Wahington *( mohon koreksi jika salah, info dari dosen).
Mungkin peraturan tersebut dapat dijadikan referensi, dan dikaji terlebih dahulu sebelum diadopsi kedepannya oleh Bali. Tp yg terpenting kesadaran masyarakat Bali, pocol liu ada peraturan yening masyarakat ne sing sadar.
Jangan sebut lagi negara kita sebagai negara agraris ….. jika semakin pro industri …. (bukan berarti saya anti industri)
Jangan mengeluh jika harga pangan naik …. karena kita memang sudah tidak punya media untuk memproduksinya …
Masyarakat Indonesia masih memiliki kesempatan untuk memilih … apakah kita konsisten dan berkomitmen menjadi negara agraris dengan mengarahkan sektor industri ke arah pertanian dan lingkungan….. atau menjadi negara industri dengan konsekuensi pangan yang kita butuhkan dibeli dari negara lain?