
Membahas pekerjaan masa depan di Bali dan persaingannya tak terlepas dari pertumbuhan sektor ekonomi saat ini. Terlebih dikaitkan dengan usainya pertemuan G20 di Bali yang diklaim memberikan dampak ekonomi besar. Benarkah?
Pertemuan G20 telah berlalu di Bali. Lalu, apakah dampaknya bagi Bali sebagai tuan rumah dan Indonesia yang memegang presidensi pertemuan negara-negara dengan kekuatan ekonomi dunia ini?
Hal ini dibahas dalam INDEF School of Political Economy (ISPE) dalam diskusi bertajuk “Resesi Global dan Ekonomi Politik G20: Sejauh mana pertemuan ini berdampak?” pada 6-7 Desember 2022 lalu di kampus Unud, Denpasar.
INDEF merangkum, dinamika perekonomian global semakin tidak menentu terlebih karena persoalan politik dan keamanan. Perang Rusia dan Ukraina tidak hanya berdampak pada dua negara yang berperang, melainkan juga turut mendisrupsi rantai pasok global. Aliran pasokan energi dan pasokan pangan terganggu. Di satu sisi, ekspansi fiskal dari banyak negara di tengah pemulihan telah memanaskan perekonomian. Permintaan komoditas bahan baku dan energi kemudian meningkat.
Meningkatnya permintaan di tengah pasokan yang terbatas mengakibatkan peningkatan harga komoditas. Hal ini yang kemudian mendorong terjadinya peningkatan inflasi di berbagai negara. Eskalasi konflik ini juga menjadi faktor yang membuat perlambatan pertumbuhan global tahun ini lebih tajam dari perkiraan sebelumnya. Akibatnya, perekonomian menghadapi tantangan stagflasi. Kondisi ini terjadi saat inflasi sedang tinggi, sementara ekonomi negara cenderung stagnan.
Terkait hal ini, ancaman serius bagi perekonomian dalam negeri adalah pada tekanan konsumsi masyarakat. Proporsi pengeluaran konsumsi masyarakat meningkat namun bukan karena peningkatan daya beli, melainkan karena dampak dari kenaikan harga yang kemudian mendorong porsi pengeluaran turut meningkat. Sedangkan di sisi lain, tabungan masyarakat pun tergerus. Kondisi seperti ini yang ditunjukkan pada survei konsumen oleh Bank Indonesia.
Pada bulan September, porsi konsumsi meningkat menjadi 74,8 dari yang sebelumnya 73,6. Namun di sisi lain, porsi tabungan kemudian tergerus menjadi 15,8 dari yang sebelumnya 16.8. Kedua, adalah ancaman terbatasnya pertumbuhan ekonomi akibat stagnasi negara mitra dagang. Pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang yang mengalami stagnasi tentu dapat menganggu kinerja ekspor Indonesia.
Praktis, hantaman perekonomian domestic sekaligus menyasar 2 komponen kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi dan ekspor. Ancaman awan gelap tahun depan yang menjadi alasan IMF kemudian mervisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia tahun depan. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China terus akan melambat.
Gejolak dan dinamikan perekonomian ini yang semestinya menjadi agenda utama untuk diurai dalam pertemuan G20. Dengan kontribusi 80 persen dari total Produk Domestik Bruto dunia, pertemuan negara-negara dengan ekonomi terbesar ini dapat sekaligus menjadi ruang mencapai kesepakatan dalam mengurai benang kusut aliran rantai pasok dunia.
Berly Martawardaya, Direktur Riset INDEF mengatakan masalah ekonomi karena isolasi kebijakan Covid China yang ekstrem. Kemudian perang Rusia-Ukraina, produsen gandum dunia. Tren pertumbuhan ekonomi dinilai menurun.
Menurut data BPS, dilihat dari umber pertumbuhan Indonesia 2020-2022, ekspor dan pertumbuhan negatif tapi komponen konsumsi tinggi. Harga komoditas naik, nilai ekspor naik.
Sementara di Bali, sektor ertumbuhan tertinggi di Bali adalah industri transportasi dan akomodasi 4,8% dan pertambangan 3,2%. Sektor dengan pekerja besar pertanian sangat rendah 1,6% pertanian dan konstruksi 0,5%. Kesenjangan pun meningkat.
Proyeksi ekonomi IINDEF, pada 2023 sekitar 4,8%, dengan nilai tukar dolar Rp 16 ribu. Tingkat inflasi 5,6%, pengangguran terbuka 5,7%.
G20 tidak murni ekonomi karena top 20 ekonomi tidak semua negara anggotanya, misal Indonesia dan Afrika Selatan. Ini disebut politik representasi. Negara-negara G20 berkontribusi pada populasi dunia 65%, perdagangan 79%, ekonomi 84%, dan karbon emisi 79%.
Pinjaman 20 milyar USD untuk Indonesia dinilai lumayan untuk transisi energi, tapi juga produsen karbon tertinggi, tanggung jawabnya besar untuk lingkungan.
Pemulihan pandemi dan invasi Rusia di Ukraina membuat harga komoditas naik. Inflasi naik, bank sentral akan menaikkan bunga, pertumbuhan melambat.
Sudarma, Dosen Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Unud merespon, ada ketidakadilan ekonomi di Bali dengan menurunkan harga di sektor pertanian. “Saat kegagalan panen siapa yang memberi insentif? Bicara pangan tergantung petani, terus pangkas peluang petani siapa yang mu jadi petani? Nilai tukar petani tetap dijaga, berikan insetif, atau subsidi saat gagal panen,” paparnya.
Menurutnya pariwisata selalu jadi anak emas dengan pemberian insentif. Demikian juga infrastruktur melalui bebas bea pajak barang mewah. Walau Bali sejak 2020 pilot project pembangunan rendah karbon, dari simulasi dinamic, menurutnya Bali tidak bisa low carbon 2045 karena tidak punya cadangan kuat EBT. Perlu kebijakan yang tidak parsial.
Berly menambahkan strategi orde baru adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi di perkotaan. Tawaran pekerja murah. Makanan harus murah, seperti beras dan ayam. Mengor ankan petani untuk kepentingan urban. “Ini berbeda dengan Jepang, partai pemenang partai petani. Strateginya harga pertanian mahal. Petani harus disejahterakan. Petani komponen besar pertumbuhan ekonomi. Strategi ini ditiru Korsel. Partai kita tidak ada petani. Tidak ada tekanan petani, hanya suara pengusaha yang didengar.” jelasnya.
Karena itu, pengorganisirnya seperti kampus perlu didorong. Ironisnya, saat harga tani dalam negeri naik, malah impor. Ini masalah lama tapi tidak beres. Misal stok Bulog, supply beras katanya cukup, tapi impor. Akhirnya harga jatuh. “Petani harus didorong bersuara. Belum kuatnya basis data ketersediaan komoditas pangan. Kita ke bioskop, starbuck saja sudah habis lebih dari Rp 100 ribu. Kok pelit sekali beli produk pertanian?” imbuhnya. G20 juga menurutnya tidak berdampak ke ekonomi kecil, bahkan menggunakan suplier dari luar Bali.
Salah satu yang dibahas di G20 adalah transisi energi. Batu bara membuat polusi dan mahal, karena kebijakan salah. Di sisi lain, pengusaha batubara dinilai untung dua kali, dari kontrak tambang dan insentif agar berhenti produksi lebih cepat. Panel surya juga masih bermasalah di cash flow, BEP-nya 8-9 tahun, untuk masa penggunaan 20 tahun. Untung 10 tahun tapi biaya awal tinggi. “Bagaimana membuat cicilan cukup murah, bunga rendah, dan insentif lain. Idealnya, cicilan dibayar dari listrik yang dihasilkan seperti di Eropa. Listrik itu bisa dijual ke PLN,” lanjut Berly.
Fadhil Hasan, ekonom senior INDEF menambahkan soal Komunike G20 tentang pasokan pangan dan pertanian berkelanjutan. Memastikan aksesibilitas, keterjangkauan dan produk pangan. Misalnya tidak memberlakukan larangan ekspor, dan pembatasan pangan dan pupuk. Dirancang konsep corporate sustainability due diligence. Meliputi aspek tenaga kerja dan HAM, memastikan perusahaan eksportir ke Eropa tidak melanggar HAM, dan bebas pekerja anak.
Ada juga carbon border adjustment mechanism, EU ingin memastikan produk yang diekspor sudah mempertimbangkan aspek karbon. Pertanian berkelanjutan ini adalah sistem pengelolaan pertanian yang mempertimbangkan ketiga aspek, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Masalahnya di Indonesia ada kepentingan pengusaha dan pemerintah tidak bisa mengendalikan, malah kebalikan. Misal kasus revisi UU Ibu Kota Negara (IKN), baru disahkan DPR, direvisi lagi atas usulan pemerintah untuk mengakomodasi keinginan investor terkait lahan. “Demi memenuhi kepentingan investor HGU 95 tahun jadi 160. Diubah lagi, bukan HGU tapi kepemilikan. Ini menunjukkan pemerintah mengakomodasi pengusaha yang mengendalikan berbagai kebijakan publik,” katanya.
Sementara itu, peneliti lain Putu Ratih Kumala Dewi memaparkan ancaman ketahanan pangan global dan Indonesia. Indonesia dinilai berdampak karena pemain besar olahan gandum dari Ukraina. Konsumsi gandum lebih besar dibanding beras, karena itu menjadi importir gandum terbesar kedua di dunia. Konsumsi gandum 30,5 kg/tahun sedangkan beras 27 kg, BPS 2019. Didorong oleh pertumbuhan industri olahan kue, mie instan, dan lainnya.
Negara itu juga importir pupuk untuk Indonesia. Ketika perang terus meningkat, usaha berbasis pertanian akan kesulitan. Buktinya, world fertilizer price index melompat sangat tinggi setelah perang dimulai Februari 2022 sebesar 131%.