Bentara Budaya Bali menghadirkan pameran dua perupa art brut, Dwi Putro dan Ni Nyoman Tanjung.
Eksibisi yang digelar dalam tajuk “Artist From Elsewhere: Two Art Brut Artist from Indonesia” ini akan dibuka pada Jumat besok dan berlangsung hingga 27 Desember 2014.
Lokasi pameran di Bentara Budaya Bali (BBB) di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A Ketewel, Gianyar.
Pameran kali ini mencoba mempertemukan sekaligus mempertautkan fenomena dua seniman otodidak, Dwi Putro atau yang lebih dikenal dengan Pak Wi, serta Ni Nyoman Tanjung. Keduanya, melalui fenomena bawah sadar, dianggap kuasa melahirkan karya-karya seni orisinil mempribadi sekaligus kontemporer.
Karya-karya Ni Nyoman Tanjung dan Pak Wi mengejutkan masyarakat seni rupa Indonesia. Mereka berdua, di tengah segala keterbatasannya, sanggup secara terus menerus menghasilkan lukisan-lukisan dan juga karya-karya tiga dimensi.
Terasa pula dalam karya-karya mereka menyimpan kedalaman emosional dan psikologis tertentu. Layaknya seniman umumnya yang telah tersohor atau memiliki capaian terpujikan.
Kurator pameran ini adalah George Breguet, Made Budhiana dan Jean Couteau.
Selain menghadirkan karya-karya dua dimensi Dwi Putro dan Ni Tanjung, ada pula pemutaran video dokumenter mengenai kedua perupa ini, sekaligus dialog yang memperbincangkan posisi seniman outsider dalam kancah seni rupa Indonesia dan dunia.
Memeriahkan pameran outsider art ini akan tampil pula Orkes Keroncong Remaja Dewata – Wirama Sisin Carik, menghadirkan tembang-tembang lokal, lagu-lagu berbahasa Bali yang tidak hanya akrab dalam keseharian, namun juga bermuatan pesan akan keelokan alam budaya pulau ini yang tersohor hingga ke mancanegara.
Orkes keroncong ini dipimpin oleh Krisna Putra, terdiri dari Ktut Piano (bass), Ketut Kerok (melodi), Putu Dika (cuk), Guntur Aditya (Cak), Komang Setiyaji (cello), Puja (biola) dan Bli Jo (flute). Pentas keroncong kali ini juga menjadi bagian dari jelang tutup tahun 2014 di BBB.
Adapun diskusi seni rupa akan berlangsung pada Minggu (21/12) di BBB. Diskusi menghadirkan pembicara para kurator pameran ini dan Nawa Tunggal (jurnalis yang juga adik Dwi Putro).
Dialog akan menelaah perihal keberadaan seniman-seniman terpinggirkan atau outsider art, yang mencipta dan berkarya di ambang batas ketaksadaran. Dalam dunia senirupa, dikenal dengan istilah art brut, yang dalam kesejarahannya juga mewarnai kehidupan seni secara keseluruhan.
Bahkan, telah berdiri museum art brut di Lausanne, Swiss, yang mengoleksi karya-karya mereka yang dipandang mengalami gangguan psikis atau skizofrenia, termasuk juga karya-karya Ni Tanjung, yang belum lama ini dipamerkan besar-besaran di sana.
Menurut Putu Aryastawa, penanggunjawab pameran BBB, diskusi kali ini juga didasari oleh peristiwa pada Agustus 2014, yakni pameran fotografi internasional di BBB mengenai fenomena orang-orang terpasung.
Melalui kacamata 13 fotografer lintas negara tersebut dihadirkan beragam ekspresi penderita gangguan mental, suasana lingkungan terpasung, peralatan pasungan, kondisi tubuh terpasung, penanganan medis, hingga kesembuhan, yang tujuan utama yaitu sebagai sebentuk seni penyadaran.
Lebih lanjut, pada diskusi art brut ini akan dibahas pula perihal posisi para seniman yang terpinggirkan tersebut dalam dunia seni rupa Indonesia bahkan dunia, termasuk perkembangan seni rupa art brut internasional. Selain itu, muncul pula pertanyaan; sungguhkan seni-seni yang dianggap art brut atau yang sepenuhnya mencerminkan orisinalitas senimannya hanya dapat dilahirkan melalui fenomena gangguan mental atau alam bawah sadar?
Istilah art brut dicetuskan pertama kali oleh Jean Dubuffet, seniman Perancis yang mengumpullkan karya-karya seorang pasien rumah sakit jiwa bernama Adolf Wolfli (1864- 1930). Konsep Art Brut mengacu pada karya-karya seni dari dunia ‘luar’, melampaui alam bawah sadar, di mana ‘insting, nafsu, marginalitas, dan kekuatan purba dan delirium’ berpotensi dalam kreativitas seni, dan dianggap setara dengan art nhgre atau African Art. Pada tahun 1972, seorang kritikus seni dari Inggris, Rogers Cardinal, kemudian menyebutnya sebagai outsider art.
Sekilas tentang seniman
Seniman bernama lengkap Dwi Putro Mulyo (51), lebih dikenal dengan Pak Wi, di kota Yogyakarta, 10 Oktober 1963. Sejak umur sembilan tahun, kesehatannya mulai menampakkan kelainan ketika fungsi pendengarannya melemah, dan beberapa kali tidak naik kelas. Saat berusia 12 tahun ia disekolahkan di SLB (Sekolah Luar Biasa) di Yogyakarta dan saat berusia 18 tahun jatuh cinta pada seorang gadis yang mengakibatkan kesehatan mentalnya mulai labil.
Dalam pandangan masyarakat umum, Pak Wi dinilai mengalami disorder atau gangguan psikis. Keluarganya berinisiatif untuk mencari jalan keluar dengan mendorongnya melakukan proses cipta, termasuk mengekspresikan kecintaannya pada dunia wayang dalam karya dua dimensinya.
Hingga kini, Pak Wi telah melukis ribuan figur imajiner atau tokoh wayang, serta pernah memperoleh penghargaan Rekor MURI melukis di kanvas sepanjang 88 meter. Lukisan-lukisan Pak Wi pernah pula dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta pada 11-13 Oktober 2013.
Ni Nyoman Tanjung (94), asal Banjar Besang, Desa Ababi, Karangasem Bali. Ni Tanjung sehari-hari hidup dengan dunianya yang tersendiri, antara sadar dan tak sadar, telah menciptakan sebuah karya seni rupa yang luar biasa. Ia diperkirakan lahir sekitar tahun 1920-an, dan mendapat pengalaman traumatis semasa pendudukan Jepang di Bali (1942-1945), dipaksa meninggalkan kampung halaman untuk kerja paksa.
Pada tahun 2012 Ni Tanjung bersama dengan 9 seniman terpilih lainnya menerima Anugerah Budaya dari Bentara Budaya. Para maestro tersebut antara lain: Anak Agung Ngurah Oka (Seniman Keramik Klasik – Bali), Pang Tjin Nio (Sinden Gambang Kromong – Jakarta), Rastika (Pelukis Kaca – Cirebon), Sitras Anjilin (Seniman Wayang Orang – Merapi Magelang), Sulasno (Tukang Becak dan Pelukis Kaca – Yogyakarta), Mardi Gedek (Dalang Wayang Klithik – Bojonegoro Jawa Timur), Dirdjo Tambur (Pemain Ketoprak Senior – Yogyakarta), Hendrikus Pali (Penggiat Tenun dan Seni Tari – Kambera, Sumba Timur NTT), dan Zulkaidah Harahap (Ketua Opera Tradisional – Batak Sumatra Utara).
Ni Tanjung mulai berkarya dengan mengumpulkan bebatuan dari sungai terdekat, membuatnya menjadi gundukan-gundukan kecil, melukis ragam wajah di permukaannya. Intensitas berkaryanya meliputi pula sosok-sosok wayang dari kertas-kertas yang menampilkan wajah-wajah unik, serta hadir dengan ekspresi kekinian atau kontemporer.
Bentuk-bentuk rupa yang begitu individual dan unik ini menjadi kekuatan dan ciri tersendiri dari buah ciptanya. Tidak heran, dikuratori oleh Lucienne Peiry, karya-karyanya pada 2014 dipamerkan dan dikoleksi pula di Museum Collection d’Art Brut, in Lausanne Switzerland, serta disandingkan di berbagai ajang internasional bersama perupa-perupa art brut lainnya seperti Gustav Mesmer, Giovanni Bosco, Antonio Roseno de Lima, Monsieur Kashinath dan Ezekile Messou. [b]