Oleh: I Wayan Renaldi Bayu Permana
Pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi yang paling penting bagi banyak negara, termasuk Indonesia, khususnya Bali yang saat ini terus optimis berkontribusi 50 persen terhadap pariwisa Indonesia (Putri, 2024). Namun, perkembangan sektor ini tengah menghadapi dua tantangan utama: over tourism dan sustainable tourism. Over tourism, dengan dampak negatifnya pada lingkungan, budaya, dan ekonomi, memerlukan urgensi perhatian yang serius. Sudut lain, sustainable tourism menawarkan solusi melalui pendekatan yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat.
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) (kutipan hlm. 5) mendefinisikan overtourism sebagai “ jumlah maksimum orang yang boleh mengunjungi destinasi wisata pada waktu yang sama tanpa menyebabkan kerusakan pada lingkungan fisik, ekonomi, atau sosial budaya dan penurunan kualitas kepuasan pengunjung yang tidak dapat diterima ”.
Over tourism terjadi ketika situasi di mana jumlah wisatawan yang mengunjungi suatu destinasi melampaui kapasitas daya dukung. Mengakibatkan kerusakan lingkungan, perubahan sosial yang merugikan penduduk lokal, serta penurunan kualitas pengalaman wisatawan (Seraphin, Sheeran, & Pilato, 2018).
Bali merupakan tujuan wisata sejak lama, pariwisata sudah banyak memberikan kontribusi bagi pembangunan, tetapi pembangunan yang tidak terencana dengan baik, semakin lama menciptakan masalah-masalah yang terjadi. Fenomena over tourism di Bali, terlihat dalam kemacetan, polusi, dan kerusakan lingkungan di kawasan-kawasan populer seperti Kuta, Ubud, dan Nusa Dua (McKinsey & Company & WTTC, 2017) sampai data terbaru kemacetan merembah dari daerah Dalung dan Canggu (Dewi, 2023). Sebaliknya, sustainable tourism adalah pendekatan pariwisata yang bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, mendukung kesejahteraan masyarakat lokal, dan menjaga keberlanjutan jangka panjang baik dari segi ekologi maupun budaya (UNWTO, 2022). Pendekatan ini menekankan pentingnya pengelolaan pariwisata yang berfokus pada Triple Bottom Line: ekonomi, sosial, dan lingkungan (Elkington, 1997). Over tourism juga memperlihatkan degradasi, hilangnya nilai-nilai lokal, di mana destinasi wisata berubah menjadi “komoditas” yang dijual, bukan lagi sebuah entitas budaya yang harus dijaga.
Dari sudut pandang filosofis, over tourism mencerminkan konflik antara kuantitas dan kualitas. Sartre dan Heidegger berpendapat bahwa manusia kerap terjebak dalam pencarian pengalaman dan kepuasan material yang berlebihan, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap esensi kehidupan. Dalam kerangka pariwisata, berarti bahwa pengalaman wisata diubah menjadi komoditas yang dieksploitasi secara berlebihan, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan dan kehilangan nilai-nilai budaya (Sartre, 1943; Heidegger, 1927).
Sebaliknya, sustainable tourism merefleksikan prinsip etika lingkungan dan keberlanjutan eksistensial, yang dapat dihubungkan dengan konsep deep ecology dari Arne Næss. Dalam pandangan ini, manusia dilihat sebagai bagian integral dari ekosistem, di mana mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan tidak merusak alam secara berlebihan (Næss, 1973). Pandangan ini sangat relevan pada pariwisata Bali, di mana pendekatan pariwisata yang harmonis dengan lingkungan dapat membantu melestarikan keindahan alam, kearifan lokal dan budaya lokal.
Sustainable theory menekankan integrasi tiga pilar utama: ekonomi, lingkungan, dan sosial, yang relevan dalam pariwisata berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat lokal (Elkington, 1997). Teori Daya Dukung (Carrying Capacity Theory) menegaskan bahwa ekosistem memiliki batas jumlah wisatawan yang dapat diterima tanpa merusak lingkungan atau keseimbangan sosial (Manning, 2007). Teori Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) (Brundtland Report, 1987) menekankan perlunya pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan masa depan, penting dalam perencanaan pariwisata jangka panjang yang berkelanjutan.
Ketidakmerataan akses
Provinsi Bali adalah contoh nyata dari destinasi yang sedang menghadapi tantangan over tourism. Pada tahun 2023, Bali menerima lebih dari 6 juta wisatawan internasional, hampir kembali ke angka pra-pandemi pada 2019 (Badan Pusat Statistik Bali, 2023). Penumpukan wisatawan ini terjadi karena terpusatnya titik-titik wisata di daerah selatan. Pengamat beranggapan penumpukan ini terjadi karena banyaknya pembangunan yang tumbuh liar (Pusparisa, 2024) Dampaknya terlihat jelas: kemacetan di daerah-daerah wisata utama, peningkatan volume sampah, serta kerusakan lingkungan (McKinsey & Company & WTTC, 2017). Namun menurut pakar pariwisata Unud, I Putu Anom dilansir dari CNN Indonesia, berpendapat bahwa “Jadi bukan overtourism namanya, ketidakmerataan. Jadi dikira macet itu karena wisatawan, padahal karena fasilitas itu kurang, bandara kami masih kurang, infrastruktur masih kurang. Jumlah penduduk banyak di Bali Selatan, tidak seimbang. Orang urbanisasi ke Bali Selatan,” (Windi, 2024). Walaupun penumpukan sangat sering terjadi di Bali bagian selatan, ini juga harus cepat dibuatkan solusi agar pariwisata Bali tetap ajeg dan berkelanjutan.
Kasus over tourism yang terjadi terjadi juga pada Kota Karlstejn (Republik Ceko) menerima hingga 250.000 wisatawan per tahun, hal tersebut menyebabkan penurunan kualitas yang didapatkan oleh masyarakat lokal maupun turis (Oklevik, 2019). Pada contoh perspektif internasional yang menunjukkan penerapan sustainable tourism, seperti di Bhutan dan Venice, Italia. Bhutan telah memberlakukan kebijakan high-value, low-impact tourism, yang membatasi jumlah wisatawan dan mengenakan tarif yang tinggi untuk menjaga keseimbangan antara pariwisata dan kelestarian lingkungan (Rinzin & Glasbergen, 2007). Sementara itu, Venice menerapkan kebijakan pembatasan kapal pesiar besar dan wisatawan harian untuk mengurangi dampak negatif dari over tourism pada lingkungan dan warisan budayanya (Seraphin et al., 2018).
Rekomendasi
- Pembatasan Penumpukan Wisatawan. Pemerintah Bali sebaiknya memberlakukan kuota wisatawan di kawasan sensitif seperti Kuta, Canggu dan Ubud untuk menjaga daya dukung lingkungan serta mengurangi kemacetan dan polusi.
- Peningkatan Kesadaran Wisatawan. Edukasi wisatawan tentang tanggung jawab terhadap lingkungan dan budaya lokal perlu ditingkatkan melalui program pariwisata berkelanjutan yang disampaikan sebelum kedatangan wisatawan, seperti pengembangan ekowisata pariwisata berbasis alam.
- Kolaborasi dengan Masyarakat Lokal. Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan pariwisata, serta pengembangan ekowisata dan pariwisata berbasis komunitas untuk memberikan manfaat ekonomi langsung dan melestarikan budaya serta lingkungan.
- Infrastruktur Berkelanjutan. Bali harus berinvestasi dalam infrastruktur ramah lingkungan, termasuk pengelolaan limbah, penggunaan energi terbarukan, dan pembangunan yang sesuai dengan kapasitas lingkungan.
- Pemerataan Infakstruktur Pembangunan Pariwisata. Pembangunan infrastruktur di Bali yang tidak hanya pembangunan di sektor pariwisata di selatan (Badung, Denpasar, Gianyar), namun harus merata termasuk daerah utara seperti, Buleleng, Bangli, Negara dll.
- Penerapan Nilai Harmoni Tradisional Bali. Prinsip Tri Hita Karana, Nyegara Gunung, dan Subak harus dijadikan panduan dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan pariwisata, kelestarian alam, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Over tourism dan sustainable tourism adalah dua konsep yang saling bertentangan namun penting untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan pariwisata. Bali, sebagai destinasi wisata terpopuler di dunia, menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan pertumbuhan pariwisata dengan keberlanjutan lingkungan, warisan budaya dan kesejahteraan masyarakat. Dengan penerapan pariwisata keberlanjutan, eko wisatawan, edukasi wisatawan, dan kolaborasi dengan komunitas, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, Bali dapat menjadi contoh sukses dalam menerapkan pariwisata berkelanjutan dan menghindari dampak negatif dari over tourism.