Teks I Nyoman Winata, Foto Ilustrasi Anton Muhajir
Tekanan ekonomi memang membawa efek yang tidak kecil. Apalagi jika penyikapan atas tekanan ekonomi tersebut tidak dilandasi oleh jiwa-jiwa yang diterangi kejernihan berfikir dan ketahanan mental yang memadai. Bahkan tekanan yang hebat bisa membuat manusia menjadi frustasi, stres lalu menjadi gila.
Pada tekanan ekonomi yang bersifat individu, frustasi dan stress bisa berwujud pelampiasan dengan kekerasan fisik terhadap orang lain. Namun jika tekanan ekonomi menyerang sebuah masyarakat atau komunitas, maka wujudnya bisa berujud keputusan-keputusan kelompok yang diluar nalar hati nurani dan jauh dari logika berpikir normal.
Manusia Bali semakin hari semakin menampakkan gejala frustasi yang semakin menjadi-jadi. Tekanan ekonomi yang lahir dari tuntutan pemenuhan keinginan (want), membuat banyak manusia Bali benar-benar frustasi. Saya tekankan di sini mengenai pemenuhan keinginan (want) untuk membedakannya dengan kebutuhan (need).
Membeli HP tercanggih bagi seseorang (individu) golongan masyarakat biasa (bukan pengusaha) adalah contoh pemenuhan keinginan, bukan kebutuhan. Lalu, bagi warga Banjar atau Desa Pekraman, menggelar upacara keagamaan dalam skala besar di luar kemampuannya untuk membiayai misalnya, adalah bentuk dari pemenuhan keinginan, bukan kebutuhan. Demikian juga dengan membangun balai banjar mewah, maka itu tidak lebih hanya untuk pemenuhan keinginan saja, sama sekali bukan kebutuhan.
Keinginan bisa saja ditunda dulu alias tidak usah dipaksakan jika memang warga Banjar bersangkutan tidak mampu membiayai. Sayangnya orang Bali kadang sering suka memaksakan diri untuk memenuhi keinginannya.
Kembali kepada soal frustasi manusia Bali. Kalau bicara frustasi di tingkat individu, mungkin sudah berlangsung sejak lama. Tetapi belakangan muncul gejala frustasi kelompok dalam tingkat banjar atau desa pekraman. Cirinya adalah lahirnya keputusan di tingkat Desa Pekraman yang sangat jauh dari logika berpikir normal.
Contohnya, seperti apa yang diberitakan Bali Post Kamis (17/6) tentang Keputusan paruman (rapat) Desa Pekraman Tibubiu Kerambitan Tabanan yang akan memberi sanksi kesepekang (dikucilkan) kepada warganya yang melaporkan aktivitas penambangan pasir di Pantai Pasut kepada wartawan.
Penambangan pasir ini sendiri merupakan bentuk pelanggaran aturan dan jelas-jelas bisa membawa dampak kerusakan lingkungan. Bupati Tabanan dan pihak kepolisian telah mengeluarkan larangan atas aktivitas warga menambang pasir tersebut. Sanksi kesepekang merupakan sanksi yang paling ditakuti oleh orang Bali dan biasanya diberikan kepada mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggran.
Tetapi memberi sanksi kesepekang kepada mereka yang mencoba melakukan penyelamatan lingkungan demi masa depan anak cucu di masa datang, sungguh di luar nalar manusia normal (sehat secara jiwa).
Selama ini penambangan pasir dilakukan warga setempat untuk memenuhi berbagai macam pembiayaan pembangunan desa. Berdasarkan paruman Desa Pekraman Tibubiu, pengambilan 20 persen kekayaan alam diperbolehkan. Penambangan pasir pun telah dilakukan cukup lama dan berlangsung aman-aman saja.
Sejak media memberitakan aktivitas yang dianggap merusak lingkungan ini, pemerintah dan aparat mengambil tindakan. Larangan pun kemudian dikeluarkan. Bukannya patuh pada aturan hukum yang berlaku, warga Desa Pekraman Tibubiu melakukan “perlawanan” dengan menyiapkan hukuman berat kepada warganya yang membocorkan aktivitas penambangan pasir kepada media/wartawan.
Nampaknya pertarungan antara kebutuhan ekonomi dan soal menjaga lingkungan di Desa Pekraman Tibubiu dimenangkan oleh kebutuhan ekonomi. Hal ini juga menunjukkan bahwa kepentingan jangka pendek mengalahkan kepentingan jangka panjang.
Memang dorongan akan hal-hal instan, mudah dan cepat menggejala begitu hebat pada manusia-manusia Bali modern. Ketika kebutuhan ekonomi masyarakat berjalan jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan produksi masyarakatnya, rasa frustasi kemudian mendera. Dulu mungkin dengan hasil bertani di sawah, hampir sebagian besar kebutuhan Desa Pekraman bisa dipenuhi. Bahkan membangun Balai Banjar, Pura (tempat Ibadah) termasuk biaya menggelar upacara cukup dipenuhi dari iuran warga yang rata-rata hidup dari bertani.
Pertanian yang terpuruk, menghancurkan semangat berproduksi Manusia Bali. Sementara kebutuhan ekonomi yang semakin besar memaksanya mencari jalan keluar yang paling cepat. Biasanya dengan menjual tanah warisan.
Sayangnya, mereka yang jual tanah akibat manajemen keuangan yang kacau hanya jadi orang kaya sesaat (OKS). Saat tanah sudah beralih tangan dan uang hasil jual tanah sudah habis, maka hilangnya penyelesaian masalah yang instan. Saat jalan tercepat tidak ditemukan lagi, rasa frustasi mendera dan berujung pada hilangnya kesadaran nurani dan pandangan pentingnya menjaga masa depan yang lebih baik.
Jangan ditanya tentang banyaknya sanksi kesepekang di desa pekraman atau Banjar yang ada di seantero Bali. Banyak yang dikeluarkan karena urusan yang remeh temeh meski ada juga yang diberikan akibat adanya pelanggaran berat. Bentrok antar dua kelompok warga juga intensitasnya semakin banyak. Pemicunya bisa sangat sederhana yakni masalah batas wilayah Banjar atau Desa Pekraman. Bisa juga karena urusan beda pilihan politik sampai rebutan tanah kuburan.
Realitas lainnya di Bali saat ini menunjukkan gejala frustasi masyarakat yang semakin hari, semakin mengkhawatirkan. Tengok saja bagaimana para sopir taksi mengamuk akibat kebijakan Gubernur yang ngotot mengeluarkan izin baru bagi taksi. Meski telah didasarkan atas kajian bahwa Bali memang masih butuh taksi, toh para sopir taksi yang ada saat ini merasa bahwa kehidupan mereka sedang terancam. Kekerasan pun kemudian terjadi.
Kalau saja para sopir taksi semuanya hidup dalam satu Banjar atau Desa Pekraman, maka sangat mungkin sopir taksi yang dianggap mengancam itu akan di beri hukuman kesepekang juga. Tetapi karena ini masuk ranah jauh dari hukum adat, jalan yang diambil dengan kekerasan.
Manusia Bali ketika frustasi memang lebih suka mengambil jalan keluar dengan menghukum saudarnya sendiri. Ini sama dengan analogi orang Bali yang kalau trance (kerauhan) melakukan ngurek (ngunying) yakni menusukkan keris ke tubuhnya sendiri. Jarang orang Bali mencoba bertahan dari rasa frustasi dengan mencari jalan keluar yang lahir dari kejernihan nurani. Karena mungkin jalan paling mudah dengan mengenakan sanksi kepada saudara kita sendiri.
Sejarah kelam pembantaian manusia Bali di era PKI menjadi bukti nyata. Orang Bali itu, kata Panglima RPKAD saat itu sangat sadis menghabisi saudaranya sendiri.
“Kalau di Jawa, kami harus dorong-dorong agar ada yang mau mengeksekusi orang-orang PKI, tetapi kalau di Bali kami harus menahan-nahan agar keberingasan mereka mengeksekusi orang PKI tidak kebablasan,” demikian kurang lebih pernyataan Komandan RPKAD tentang kebringasan pasukan para militer yang disebut tameng.
Maka, sungguh bahaya kalau Manusia Bali benar-benar sudah frustasi. [b]
Mungkin sudah saatnya Bali melihat kembali secara objektif peran desa pekraman (banjar) yang ada. Jika memang benar secara historis Banjar diharapkan bisa melestarikan kepentingan keagamaan, mengapa tidak kembalikan saja fungsi tersebut? Sedangkan untuk keperluan yang menyangkut kependudukan secara umum, ditarik ke lembaga yang lebih bersifat nasional, yaitu pada tingkat kecamatan.
Saya sendiri sebenarnya adalah seorang keturunan Bali yang lahir dan dibesarkan di Jakarta, dan baru tiga tahun ini tinggal di Bali. Sebelum di Bali, karena tuntutan tugas saya pernah tinggal di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jogjakarta, Salatiga,
Ambon, Lombok, dan Kupang. Saat ini saya sendiri tengah melakukan penelitian awal untuk sebuah desertasi doktoral mengenai hubungan budaya dan kewirausahaan. Tadinya karena diiming-imingi oleh kisah-kisah manis orang tua tentang keluhuran budaya Bali dan semangat kedaerahannya yang kuat, Bali saya jadikan salah satu kasus penelitian, selain Jakarta, Jogjakarta, dan Salatiga. Namun entah kenapa, selama tiga tahun ini saya merasa tidak nyaman dan merasa gelisah secara intelektual tinggal di tanah kelahiran orang tua saya sendiri. Mungkin pengalaman saya ini sesuai dengan apa yang telah ditulis oleh Gede Aryantha Soethama di dalam bukunya “Bali tikam Bali”.
Tulisan anda ini juga secara tepat menggambarkan bagaimana orang Bali menikam saudaranya sendiri. Dan jika boleh saya menambahkan, sepertinya gambaran orang Bali yang suka menghukum saudaranya sendiri itu sudah terjadi bahkan sejak sebelum Belanda secara de Jure memasukkan Bali ke wilayah Hindia Belanda di tahun 1909. Aasal usul Bali sarat diwarnai dengan darah dan perang saudara. Bahkan di dalam sebuah buku yang berjudul “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004”, Professor M. C. Ricklefs dari Monash University mencatat bahwa ekonomi Bali hingga permulaan abad 19 masih sangat bergantung pada ekspor budak dan candu. Tampaknya buat raja-raja di Bali ketika itu, sistem pengairan “ala Subak” yang mendunia itu lebih rumit ketimbang menjual rakyatnya sendiri sebagai budak. Mengejutkan bukan, tidak seperti yang lazimnya ditemukan di dalam buku-buku sejarah “ala Indonesia” pada umumnya. Barulah pada pertengahan abad 19, tepatnya setelah Sir Stamford Raffles melarang perdagangan budak di kawasan Asia Tenggara, raja-raja di Bali berhenti menjual rakyatnya dan mulai mengekspor hasil bumi dan daging babi.
Jadi saya rasa tidak berlebihan jika saya menyetujui sebuah hipotesa yang menyatakan kalau senyum orang Bali hanya untuk para pendatang dan uang mereka. Karena pada kenyataannya, keramahan Bali hanyalah diperuntukan bagi tamu-tamunya yang kini sedang menjarah tanahnya secara halus, jengkal demi jengkal dengan uang mereka. Sedangkan untuk sesama orang Bali, mereka akan tetap seperti apa yang Gede Aryantha Soethama tuliskan, “saling tikam”.