Seperti biasa, I Made Murditha menyambut hangat tiap kali saya datang di U Rock.
Begitu pula ketika saya ke sana dua hari lalu. Murditha, dengan bahasa tubuh agak membungkuk, menyalami dan menyapa saya. Kami ngobrol sebentar, sekadar basa-basi.
Gara-gara pertemuan itu, saya jadi ingat lagi niat untuk menulis tentang salah satu penyanyi paling populer di Bali tersebut. Tulisan ini pernah jadi bagian dari laporan saya dalam riset bersama Australian National University (ANU) tentang penggunaan ponsel oleh beberapa komunitas di Indonesia.
Oh ya, maaf lupa. Nama Murditha mungkin tidak dikenal. Tapi, nama Nanoe Biroe pasti dikenal banyak orang di Bali. Atau bahkan semua orang tahu nama ini. Setidaknya mereka pernah mendengarnya.
Baduda, kelompok fans Nanoe Biroe, menjadi salah satu narasumber dalam riset akhir tahun lalu itu. Menurut saya, Baduda adalah kelompok fans paling banyak dan kompak untuk fans musisi atau band berbahasa Bali. Hal ini sebagai penanda popularitas Nanoe Biroe.
Sebelum menjadi musisi solo, Nanoe Biroe pernah main di beberapa band. Salah satu dari sekitar 10 band yang pernah membesarkan namanya adalah Biroe. Ini pula yang menjadi nama belakang Nanoe hingga saat ini.
Bersama Biroe Band, Nanoe pernah mewakili Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam Festival Rock di Surabaya. Mereka mendapat juara I. Biroe Band pun pernah album Kompilasi, produksi Loggis Record milik Log Zhelebour.
Tak puas dengan Biroe Band karena vakum, Nanoe kemudian memutuskan bersolo karier sejak 2005. Album pertamanya berjudul Suba Kadung Metulis keluar pada tahun yang sama di bawah label Jayagiri Production. Album berbentuk kaset ini langsung laris manis di pasaran. Dalam waktu dua bulan, album ini sudah terjual 10.000 kopi. Total penjualan hingga saat ini sekitar 48.000 kaset. Tak banyak musisi Bali dengan label lokal yang bisa mencapai angka ini.
Tapi, Nanoe Biroe sendiri termasuk “generasi kedua” dalam khazanah musik rock Bali alternatif. Musisi yang membawa genre baru ini, rock berbahasa Bali, adalah Lolot Band dengan vokalis utama I Made Bawa. Band beraliran rock ini membuat album pertama Gumine Mangkin pada tahun 2003 yang laku hingga 75.000 kopi.
Lolot membuat penikmat musik Bali mengalihkan perhatian dari lagu-lagu pop Bali dekade 1990-an yang identik dengan irama Mandarin mendayu-dayu, seperti Widi Widiana, Panji Kuning, dan semacamnya.
Lolot Band berhasil mengangkat citra lagu berbahasa Bali. Mereka mengemas lirik-lirik berbahasa Bali dalam irama yang lebih mudah diterima anak muda dari perkotaan ataupun pedesaan, rock alternatif. Lagu berbahasa Bali yang selama tiga dekade sejak 1960-an hingga 1990-an identik sebagai musik kelas menengah ke bawah terutama di pedesaan tiba-tiba dinyanyikan anak-anak muda perkotaan.
Mereka mengemas lirik-lirik berbahasa Bali dalam irama yang lebih mudah diterima anak muda dari perkotaan ataupun pedesaan, rock alternatif.
Reinkarnasi
Dalam konteks lebih luas, pada saat itu yang sama di Bali juga sedang berlangsung gerakan bernama Ajeg Bali, upaya untuk melestarikan Bali dari segala sisi. Gerakan Ajeg Bali ini sebenarnya reinkarnasi dari gerakan serupa pada tahun 1920-an yang bernama Baliseering, upaya menjaga Bali agar tetap “asli”.
Gerakan Ajeg Bali yang muncul sejak awal 2000-an diperkenalkan oleh Kelompok Media Bali Post, salah satu media tertua dan konservatif di Bali. Gerakan ini pada saat yang sama juga didukung oleh kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia sehingga semua yang bernilai lokal pun dirayakan.
Bagi anak-anak muda Bali, lagu-lagu berbahasa Bali tersebut, merupakan bagian dari upaya Ajeg Bali. Lagu-lagu rock berbahasa Bali pun menjadi tuan di tanah sendiri dari semula hanya dianggap sebagai pelengkap dari dominasi musik-musik band Jakarta atau Jawa.
Kesuksesan Lolot dengan bendera Bali Rock Alternatif ini kemudian disusul musisi lain dengan aliran sama, rock berbahasa Bali, seperti XXX, Bintang, 4WD, dan termasuk Nanoe Biroe.
Hingga saat ini, Nanoe Biroe sudah mengeluarkan enam album, yaitu Matunangan Ajak Dewa (2007), m3tamorforia (2009), + Positif (2010), Matur 5uksma (2011), dan Timpal Sujati (2012). Dua album pertama di bawah label Jayagiri Production yang juga mengeluarkan album untuk XXX Band.
Namun, jumlah penjualan album Nanoe Biroe dari tahun ke tahun malah menurun. Dalam sebuah wawancara dengan saya, pemilik Jayagiri Production I Gusti Ngurah Murtana yang akrab disapa Rahman mengatakan jumlah penjualan album Nanoe Biroe pada album kedua 25.000 kopi dan album ketiga hanya 10.000 kopi.
Setelah itu, sejak album keempat, Nanoe Biroe keluar dari label Jayagiri Production. Dia membawa bendera labelnya sendiri, Baduda Production.
Turun drastisnya jumlah penjualan itu sendiri bisa jadi karena banyak faktor. Salah satunya sangat mungkin karena kemudahan orang untuk mengopi lagu tanpa harus membeli secara fisik. Mereka cukup mengopi lagu dalam format MP3. Dalam format ini, lagu cukup disalin dalam bentuk digital dan dengan mudah disebarkan melalui internet, telepon seluler, dan komputer.
Namun, kemudahan orang untuk menyalin lagu dan menyebarluaskannya dalam format MP3, bagi Nanoe Biroe, justru menjadi berkah tersendiri.
Nanoe Biroe mengaku, popularitasnya saat itu sangat mungkin didukung kemajuan dunia digital. Musik yang semula hanya dalam bentuk analog lewat kaset kemudian bisa dinikmati dalam bentuk digital, format MP3. Setelah ada format digital, lagunya dengan mudah ditemukan di ponsel dan internet tapi di sisi lain justru membuatnya makin populer.
Kemudahan orang untuk menyalin lagu dan menyebarluaskannya dalam format MP3, bagi Nanoe Biroe, justru menjadi berkah tersendiri.
Popularitasnya justru tak terbatas hanya di Bali tapi juga daerah-daerah lain, seperti Lampung, Lombok, Sulawesi, Jawa, dan daerah lain. Skena musik Bali pada pertengahan 2000-an, seperti menjadi milik Nanoe Biroe. Popularitas Nanoe Biroe seperti menembus batas, tak hanya di daerah urban tapi juga di pinggiran dan pedalaman.
Di seluruh pelosok Bali dengan mudah saya temukan orang berkaos hitam dengan tulisan besar-besar, BADUDA atau gambar Nanoe Biroe dengan tulisan seragam, Presiden Baduda.
Baduda
Baduda, nama fans Nanoe Biroe memang fenomena baru dalam khazanah musik Bali. Sebelumnya tidak ada musisi, band ataupun solo, di Bali yang mengelola fans dengan serius seperti Nanoe Biroe kecuali Superman is Dead dengan Outsider-nya. Padahal musisi nasional sudah memiliki nama untuk masing-masing fans, seperti Dewa 19 dengan Baladewa, Slank dengan Slankers, Iwan Fals dengan OI, Kotak dengan Kerabat Kotak, dan seterusnya.
Kumpulan fans ini selain memiliki nama khusus, juga biasanya dikelola secara khusus oleh manajemen musisi atau band. Di antara sekian banyak fans club, Slankers yang secara kasat mata terlihat menyolok di mana-mana. Dalam tiap konser mereka membawa bendera besar-besar dengan tulisan Slanker. Di daerah-daerah tertentu, mereka juga memiliki tempat-tempat nongkrong dengan tulisan Slanker. Pusat utama kegiatan mereka adalah Potlot, gang di Jakarta yang juga menjadi markas Slank.
Nanoe Biroe mengaku ide untuk mengelola fans tersebut memang terinspirasi dari Slank yang memiliki kelompok fans bernama Slankers. Nanoe sendiri memang Slankers sejak SMP. Dia mengaku sebagai fans fanatik Slank. Dia pernah memukuli temannya di sekolah karena mengatakan sesuatu yang jelek tentang Slank. “Saya sampai tingkat seperti itu ketika jadi Slankers,” kata Nanoe.
Sebagai Slanker, Nanoe Biroe meniru cara-cara Slank untuk mengelola fans. Dari sisi musikalitas, Nanoe Biroe tak jauh berbeda pula dibandingkan, misalnya XXX. Namun, dalam tiap album, Nanoe Biroe tak hanya menjual lagu tapi “menjual” penampilan. Penampilan Nanoe Biroe mewakili karakter rastafarian sekaligus Slanker. Misalnya dari rambut gimbal dan panjang ala Bob Marley yang juga menjadi panutan Kaka, vokalis Slank. Rambut gimbal panjang ini didukung penggunaan kaos hitam, celana ketat, pewarna mata (eye shadow), sepatu berbeda warna, dan beberapa gelang hitam.
Baduda pun copy paste gaya-gaya Slanker. Mereka suka membawa bendera besar-besar tiap kali ada konser musisi Bali terutama ketika ada Nanoe Biroe tampil. Para Baduda juga memiliki tempat nongkrong di daerah masing-masing, misalnya gardu atau poskamling, dengan tulisan Baduda atau foto Nanoe Biroe.
Meskipun rendah hati, Nanoe Biroe justru mengejar rekor MURI. Ada empat yaitu Rekor cover album terpanjang, rekor menyanyi selama 80 jam, rekor menyanyi di atas Tukad Badung, dan rekor tanda tangan terbanyak 1.900 kaset.
Tempat utama bagi para Baduda untuk kumpul adalah U Rock, toko merchandise milik Nanoe Biroe. Gaya para Baduda pun slengekan serupa Slanker. “Ini cara saya mewariskan sesuatu pada generasi nanti,” kata Nanoe.
Meskipun rendah hati, Nanoe Biroe justru mengejar rekor MURI. Ada empat yaitu Rekor cover album terpanjang, rekor menyanyi selama 80 jam, rekor menyanyi di atas Tukad Badung, dan rekor tanda tangan terbanyak 1.900 kaset.
Toleransi
Ada beberapa alasan kenapa Nanoe Biroe memilih bermusik dalam bahasa Bali. Pertama karena lagu berbahasa Bali merupakan bagian dari Ajeg Bali. Kedua karena Nanoe Biroe memilih jadi ikan besar di kolam kecil daripada ikan kecil di kolam besar. Ketiga karena meskipun berbahasa Bali, lirik-lirik Nanoe Biroe bersifat universal. Lirik-lirik lagu ini semacam buku yang bisa diterapkan di mana pun.
Ajeg Bali dalam pengertian Nanoe Biroe adalah upaya untuk melestarikan Bali. Misalnya dengan berbahasa Bali, menggunakan istilah-istilah Bali, dan menggunakan nilai-nilai lokal. Dengan demikian pesan-pesan dalam lagu tersebut akan terasa lebih dekat dengan pendengarnya.
Wacana tentang pelaksanaan Ajeg Bali sendiri bukan sesuatu yang tertulis dan kaku. Dalam praktiknya, wacana ini diterapkan sesuai pemahaman tiap orang ataupun lembaga masing-masing. Begitu pula bagi Nanoe Biroe. Ajeg Bali bagi dia adalah bentuk pengutamaan etnis Bali namun pada saat yang sama juga memberikan tempat pada kelompok-kelompok lain.
Di salah satu lagu berjudul Toleransi di Bali dalam album Matur 5uksma, misalnya, dia menyanyikan perlunya toleransi dari berbagai etnis di Bali dari Bali, Jawa, Madura, Batak, China, ataupun beragam agama, seperti Hindu, Islam, Budha, Kristen, dan seterusnya.
U Rock, bagi Nanoe Biroe, juga bagian dari Ajeg Bali karena mengenalkan dan menjual merek-merek lokal. Di toko ini dia menjual berbagai merchandise yang lebih banyak menggunakan teks dan ikon-ikon lokal. Misalnya kaos dengan bahasa Bali, seperti Lacur Sugih Patuh Gen Yen Meju Mengkep, Ajum Ci, dan semacamnya. Ada pula kaos bergambar tokoh wayang ataupun simbol agama Hindu.
Bagi Nanoe Biroe, teks-teks semacam itu adalah bentuk untuk menjaga agar orang Bali tidak melupakan Bali ketika pulau ini diserbu nilai-nilai global.
Tapi, U Rock tetap saja pada dasarnya adalah toko merchandise tentang Nanoe Biroe. Tak cuma kaos bergambar Nanoe Biroe ataupun lirik-liriknya tapi juga tas, dompet, kalung, gelang, dan aksesoris lainnya yang dibuat untuk menjaga citra Nanoe Biroe sebagai selebritis. Toko yang semula berada di Jalan Diponegoro Denpasar ini juga jadi tempat bertemu para baduda dari berbagai tempat. Tak hanya dari Bali bahkan juga dari Lampung. Selain toko, upaya untuk menjaga identitas Baduda ini juga bisa dilihat dari bendera dan kaos. “Baju dan bendera itu sebagai identitas Baduda,” katanya.
Putu Billy Indrawan adalah salah satu Baduda yang kini juga jadi anggota Nyama Gede Baduda, kelompok lain di Baduda. Billy yang kini bekerja sebagai penjaga keamanan di salah satu SD di Pemecutan, Denpasar Barat mengenal Nanoe Biroe sejak dia masih SMP, sekitar tahun 2011 silam. Pada awalnya, Billy mengaku salah satu fans Lolot Band. Namun seiring redupnya band ini, Billy pun pindah haluan. Apalagi dia merasa lagu-lagu Nanoe Biroe terasa lebih lugas dan mengena di hatinya.
Menurut Billy, ada beberapa lagu yang baginya bisa memberikan semangat tak hanya sekadar hiburan. Misalnya lagu tentang usaha dan kerja keras yang selalu memberikan semangat saat dia bekerja ataupun lagu yang menguatkan saat dia patah hati. Setelah itu, Billy pun mulai rajin bertemu dan berkumpul dengan sesama Baduda di U Rock maupun tempat lain saat Nanoe Biroe konser.
Mereka merasa lebih terwakili oleh lagu-lagu berbahasa Bali daripada lagu-lagu berahasa Indonesia atau Inggris. Selain itu, lagu berbahasa Bali juga bagian dari usaha untuk mengajegkan Bali.
Baduda lain, Ni Luh Made Indah Widyasari pun serupa. Dia jatuh cinta pada Nanoe Biroe setelah diajakn teman-temannya pada acara Valentine bersama Nanoe Biroe. Bagi Wiwik, panggilan akrabnya, lagu-lagu Nanoe Biroe menyentuh hati. Salah satu lagu yang dia suka adalah lagu tentang seorang ibu yang mengasuh dan mendidik anaknya.
Lagu-lagu Nanoe Biroe, seperti juga lagu berbahasa Bali lain, bagi mereka terasa lebih dekat. Roh dan rasanya berbeda karena langsung dalam bahasa ibu sehingga terasa lebih kuat. Mereka merasa lebih terwakili oleh lagu-lagu berbahasa Bali daripada lagu-lagu berahasa Indonesia atau Inggris. Selain itu, lagu berbahasa Bali juga bagian dari usaha untuk mengajegkan Bali.
“Kalau bukan kita, siapa lagi yang melestarikan bahasa Bali,” kata Wiwik. [b]
Nanoe Biroe, jika mengeluarkan single berbahasa indonesia dan promo di tv nasional, saya percaya pasti cepat terkenal dan jadi idola baru di indonesia. Ayo Bli…..
Nanoe Biroe, jika mengeluarkan single berbahasa indonesia dan promo di tv nasional, saya percaya pasti cepat terkenal dan jadi idola baru di indonesia. Ayo Bli.
Thank you for the outstanding information you’ve shared on this website. The information you’ve provided has been life-changing, and I’m truly grateful. Keep up the fantastic work!. Thank you for sharing such valuable information and contributing to our growth. Thanks! ID : CMT-5T8FORTRNXYYNSS7J1