Semua akan berubah pasca Corona termasuk kebiasaan.
Kita adalah ras yang lahir dari banyak kemenangan. Manusia. Lahir, menggeliat untuk kemudian berdiri dan mendapatkan pengakuan atas pengusahaan alam melebihi spesies lainnya. Cerita manusia yang panjang telah terukir jelas dalam berbagai situs peradaban masa lampau.
Manusia adalah bintangnya. Dalam pementasan global yang dimulai semenjak 180.000 tahun yang lalu. Selisih yang sangat minor dibandingkan 4,5 miliar tahun usia Ibu Pertiwi.
Selisih yang signifikan tidak berarti mampu membendung kemashyuran hominid dari spesies Homo Sapiens ini. Persebaran antar benua yang berani telah menjadi saksi akan keuletan manusia membangun dinasti hingga masa kini. Kemenangan terus berlanjut dari generasi ke generasi. Hingga detik ini, manusia masih menjadi jawaranya.
Awal tahun 2020 menorehkan cerita yang sedikit berbeda. Cerita tentang manusia di seluruh dunia yang takluk akan sesuatu yang kasat mata. Bukan tentang gamang atau mahluk halus. Lebih kecil dari debu. Lebih mematikan dari peluru.
Imbauan dan ajakan mengunci diri membahana di mana-mana. Karena sesuatu itu bisa menghinggapi manusia sampai menularkannya. Siapa yang takut akan kematian? Ya benar, semua orang takut akan kematian. Sayangnya, sesuatu itu membawa pesan ketakutan yang mutlak. Itupun jika Malaikat Izrail dan Betara Yamadipati tidak alpa dalam perjalanan mengakhiri waktu manusia yang telah dihinggapinya.
Kepada siapa kita akan meminta bantuan? Padahal beberapa waktu lalu ini semua dianggap guyon. Kini jumlah si guyon menjadi serius serta beranak pinak. Mengikuti jejak manusia untuk menyebar dalam perjalanan antar benua. Semua dipaksa untuk mengunci diri agar “si- yang-awalnya-dianggap-guyon” tidak menyebar kemana – mana.
Si Guyon sangat menyukai orang yang bengkung. Yang masih mengganggap si guyon adalah candaan semata. Yang menggangap kecemerlangan manusia masih menyilaukan nan tak terkalahkan. Si Guyon ini senantiasa akan menempel dan berkenalan girang dengan nama Corona.
Corona mewabah dan manusia dipaksa berpisah. Dipaksa menikmati resah. Entah kapan sampai merasa lemah. Jikapun harus bersua, proteksi diri haruslah terjaga. Masker di mana-mana. Dalam kegiatan sehari-hari yang harus dilakukan. Bahkan dalam upacara yang tidak mampu ditunda.
Semua mencoba berjalan dalam titian jalan yang minimal. Dalam pengawasan pemerintah dan penghakiman dunia maya. Siap-siap saja pada SJW dadakan yang melontarkan pembelaan hakiki tatkala anjuran pemerintah dilanggar dan viral. Padahal kita juga tidak ada di sana. Tidak merasakan keresahan yang ada. Hingga yang sakit ditolak bersandar dan yang pulang malah dikejar-kejar.
Pemegang keputusan level atas juga sama bingung. Keputusan paruman berbeda padahal hanya dipisahkan tembok sahaja. Masyarakat meraung-raung saat dipaksa pulang dan membungkus barang jualannya. “Saya di luar mati karena corona. Di rumah mati kelaparan. Saya jualan dipaksa pulang. Cicilan katanya bisa ditunda, mereka bilang ga bisa. Saya ga ada uang. Bayar cicilan pakai apa? Terus bagaimana saya dan keluarga makan?”
Terlihat satpol PP juga bimbang. Rekaman video kurang dari dua menit itu meluas dan melenggang bebas di dunia maya. Netizen terpecah kongsi di media sosial. Ada yang menyalahkan. Ada yang merasa kasihan. Ada yang menyalahkan keduanya. Nah lo? Apakah di sini kita hanya mampu menyalahkan?
Solusi terbaik mungkin adalah solusi yang tidak gembar-gembor dibicarakan. Solusi terbaik adalah solusi yang dilaksanakan. Puji Tuhan masih ada juga yang peduli. Bukan peduli dengan cara menyebar pesan mutiara hoax anti corona pada WAG Keluarga. Bukan juga dengan klik tombol like, share dan sukreb. Namun, dengan cara utama. Menyediakan apa yang dibutuhkan. Memberikan kepada yang memerlukan. Tanpa meningkatkan potensi penularan.
Bukannya menjadi edgy kalau tidak bisa membantu nasib rakyat kecil. Namun diakui bahwa mereka yang sudah bekerja keras, tetapi secara nilai ekonomi turun drastis saat wabah adalah yang patut dibantu bagi yang mampu. Masih terngiang di ingatan saat melihat bapak tua penjaga parkir yang berdiri di bawah bayang pohon rindang sembari mengelap keringat dengan kain berwarna kusam. Matanya yang sayu melihat sekeliling berharap ada yang memarkirkan kendaraan agar mampu ia dapatkan sekoin seribu sebagai pemasukan hari itu.
Setengah jam berlalu. Baru ada lima buah motor yang parkir di sana. Ia berjalan lemas ke sepedanya dan mengambil sebotol air yang terisi ¾ volumenya. Seteguk tidak sampai ½ isinya Ia minum. Mungkin dia berhemat. Agar punya bekal air untuk dia pulang kala mengayuh sepedanya. Ia pun terduduk di bayang pohon lainnya. Seperti mencoba menikmati segarnya udara dari balik masker di wajahnya yang kembang kempis. Sambil tetap mengawasi jika ada kendaraan parkir dan tidak segan Ia berlari untuk membantu memarkirkannya.
Dari kejauhan, sepasang anak muda mengendarai motor matic masa kini berjalan pelan menuju kearah bapak tua. Dengan pakaian yang serba menutupi badan dan masker juga sarung tangan, mereka lalu memarkirkan motornya di dekat bapak itu duduk.
Seorang wanita turun dari kursi penumpang dan membawa sebungkusan plastik. Bungkusan itu ia berikan sembari berjongkok di depan bapak tua agar mereka dapat saling berkomunikasi dengan jelas. Bapak tua yang agak kaget menerima bungkusan itu kemudian mengangguk-angguk seperti mengerti apa yang dikatakan sang wanita. Tidak sampai menghabiskan 4 menit dari durasi lagu Rumah kita yang dinyanyikan para selebgram di laman medsos, wanita itu pamit dan kembali naik ke motor rekannya.
Tergantung beberapa plastik dengan isi yang sama di gantungan motor depan. Mereka melenggang dengan pelan dan perlahan menaikkan kecepatan saat melewati bapak tua. Dari kejauhan bapak tua mengeluarkan isi dari plastik dan terlihat bungkus kopi, sebotol air mineral, gula, bungkusan nasi dan mie instan. Bapak tua terlihat ceria dan kembali dengan semangat ke arah sepedanya untuk menggantungkan bungkusan itu. Setidaknya ada yang bisa ia bawa pulang untuk keluarga.
Hati ini terenyuh. Ternyata masih ada orang yang peduli tanpa harus selfie saat memberikan bungkusan pada si bapak tua. Keceriaan bapak tua tak dapat disembunyikan. Ingat karena harus segera kembali, motor pun aku hidupkan agar bisa pulang membawa pesanan bahan makanan titipan orang tua di rumah. Setelah membayar parkir pada bapak tua, motor yang parkir kini tinggal empat buah.
Jika berbicara skala lebih luas, ada juga gerakan kepedulian yang diinisiasi oleh salah satu kampus yang ada di Bali. Gerakannya menyebarkan 1000 masker ke beberapa daerah di Bali. Area Denpasar, Gianyar, Negara, Singaraja dan pasar serta Panti Asuhan dan Satgas Covid. Masker dibuat dengan swadaya kampus mengandalkan kelihaian mahasiswa dan dosen. Penyebaran juga dibagi dengan koordinasi merata bagi semua civitas akademika kampus. Tiga minggu pengerjaan dan tiga hari distribusi berjalan lancar.
Walaupun hanya masker namun bagi penerima yang tepat. Hal ini tentunya sangat membantu kegiatan masyarakat. Seperti yang diutarakan di salah satu daerah di Denpasar yang di mana kelian dinasnya mengklaim kegiatan utama masyarakat adalah sebagai orang yang bersih-bersih laiknya DKP.
“Untuk diketahui, sektor pariwisata banyak yang dirumahkan untuk karyawannya. Tapi untung bagi kami di sini. Warga kami masih bisa bekerja seperti biasa. Mungkin karena kegiatan bersih – bersih harus dilaksanakan kalau tidak bisa kotor semuanya. Baik menyapu di jalan ataupun membawa sampah dalam truk sampah. Dengan masker ini, krame kami akan lebih aman bekerja,” ujar kelian dinas yang juga berbicara dari balik masker.
Sempat terpikir di benak bahwasanya masker ini dibagikan untuk mencegah penularan Corona. Namun, memang penggunaannya juga pasti akan membantu pekerjaan masyarakat di lapangan. Minimal agar tidak menghirup debu jalanan saat bertugas. Pikiran ini kembali menjelajah ingatan sepintas tentang video ibu-ibu tua yang akan digasak satpol PP. Mempertanyakan kepastian kehidupan dan perekonomiannya yang semestinya di back-up oleh negara.
Begitu setidaknya permintaan dari si Ibu Penjual. (Masih) Absennya pemenuhan hak dasar (pangan dan kesehatan) untuk daerah-daerah di Indonesia karena status terbaru tentang permberlakuan Karantina Wilayah ataupun Pembatasan Sosial Berskala Besar masih belum jelas. Suara para elite yang berperan membuat aturan juga terdengar tipis menanggapi pandemi ini. Berbeda gaungnya saat pemilihan lima tahun sekali.
Namun, jangan sedih. Para wakil rakyat juga ada yang menunjukkan dirinya. Dalam bentuk foto wajah. Di tengah baliho yang berdiri serta harapan agar Corona Pralina.
Walaupun karantina wilayah sudah dijalankan oleh beberapa daerah, kebanyakan sudah menerapan pada karantina diri sendiri. Kemanusiaan untuk berbagi untungnya (sekali lagi) masih berlaku. Kali ini dilakukan oleh beberapa banjar dan salah satunya di Banjar yang ada di Kesiman, Denpasar Timur. Setelah melihat belum adanya ketidak pastian pergerakan pemerintah daerah dengan aturan yang diberlakukan pada masyarakatnya, inisiatif krame banjar untuk melakukan pembagian sembako bagi warga akhirnya menjadi solusi. Sangat membantu bagi krame yang memiliki kesulitan ekonomi dan harus berjuang menghidupi keluarganya di tengah pandemi.
Diskusi dan keputusan dilakukan via WAG Banjar dalam kurun waktu seminggu dan keputusannya adalah pembagian paket sembako dilakukan di wilayah banjar pada 12 April 2020 dari jam 9 pagi sampai tengah hari. Mekanisme pembagian juga diatur agar krame yang datang hanya perlu menyiapkan kendaraannya dan krame banjar lain yang sudah siap akan membantu menaikkan sembako ke motor dan mobil yang menepi. Seminim mungkin melakukan kontak. Secepat mungkin dalam bertindak.
Dalam menentukan keputusan agar bisa menjadi satu suara tentu adalah tantangan tersendiri. Terlebih diskusi via WAG banjar yang ternyata tidak semua penuwe banjar bisa melakukannya dengan fasih. Satu minggu diskusi jarak jauh bermodal teks tidak berarti berjalan mulus dan langsung disetujui.
Belum lagi ketika berdebat pada informasi bias berujung hoax yang diimani hampir Sebagian besar member WAG grup. Meyakinkan. Mengedukasi. Dua hal yang tak tampak tapi berarti banyak ketika menjalankan keputusan bersama.
Ternyata memang benar. Yang mengerikan sebenarnya bukan kehilangan uang ataupun pekerjaan. Tapi ketika sudah tidak ada keyakinan dan kepercayaan dalam diri. Apalagi percaya pada informasi yang belum tentu keabsahannya dan dirundung perasaan cemas berlebih.
Anjuran dan imbauan kini menjadi santapan lazim. #dirumahaja #mask4all #socialdistancing merebak populer di jagat maya. Masker menjadi tren terbaru. Menjaga jarak menjadi cara menyelamatkan saya dan anda. Sembari tidak lupa memohon lebih sering pada yang kuasa. Menjadi peduli di masa ini adalah semudah rebahan di kamar sendiri. Berkegiatan secara pribadi. Kegiatan dengan gadget melambung tinggi.
Ingin berpartisipasi? Cukup sebarkan informasi yang mumpuni tanpa harus mendramatisasi. Menyampaikan dengan landasan hati nurani.
Bapak Presiden juga berkata, “Yang berbahaya dari Corona bukan virusnya. Tapi rasa cemas. Apalagi berita – berita hoax yang tidak bisa dipertanggung jawabkan”. Namun, entah kenapa, jagat maya juga seakan berbenah. Pada yang harusnya disuarakan kepada semua yang perlu untuk memperhatikan. Apa karena semua lebih punya waktu lebih di medsos kini?
Ah, jangan pesimis. Bisa saja karena manusia sudah mulai berani memperlihatkan kepeduliannya. SJW dan Hoakers kini tidak selalu menjadi penguasa portal pertemanan digital. Dibutuhkan lebih banyak manusia yang logis. Karena seyogianya kehidupan manusia memang berkembang secara masuk di akal dalam kurun waktu yang panjang.
Mari Berharap semua akan kembali sehat dan sekaligus memberikan waktu berharga bagi bumi untuk rehat.
Bli Bagus
Dalam diamnya, masing-masing manusia merasa bahwa waktu kini adalah ujian terberat. Mungkin ini yang dipikirkan saat pandemi Flu Spanyol saat tahun 1918 maupun bagi keluarga korban pembantaian di suatu masa entah 65 atau 98. Walaupun begitu, peradaban manusia sepertinya lama akan menemui akhir.
Jika kita mengingat, pada setiap tragedi akan ditemukan makna-makna berharga yang dapat digunakan secara positif untuk menjalankan kehidupan di masa depan. Anggap saja kali ini kita diingatkan untuk lebih peduli walau harus terpisah secara ruang dan waktu. Diingatkan untuk peduli walau hanya sebatas mengingatkan.
Akan lebih baik jika bisa sampai melaksanakan. Diingatkan untuk meluangkan waktu lebih banyak bersama keluarga. Melewatkan kenangan bagi para pekerja keras dan kaum haus kegiatan luar yang tidak punya waktu untuk sekedar menyesap kopi di rumah. Diingatkan untuk lebih banyak berharap dan berdoa. Karena kalau pandemi ini tidak segera berakhir, tabungan yang menyusut akan menjadi ancaman selanjutnya.
Mari kita berusaha lebih kuat lagi. Sembari mengirimkan frekuensi senada pada semesta agar semua membaik kembali. Berharap semua akan kembali sehat dan sekaligus memberikan waktu berharga bagi bumi untuk rehat. [b]