I Gusti Ayu Kadek Murniasih meninggal sepuluh tahun silam.
Kepergian Murni karena kanker rahim tersebut menjadi salah satu kehilangan bagi dunia seni rupa di Bali. Dia salah satu dari sedikit perupa perempuan di antara dominasi perupa laki-laki di wacana seni rupa Bali.
Murni adalah juga figur yang konsisten menyuarakan perlawanan terhadap patriarki, terutama kekerasan seksual terhadap perempuan.
Melalui karya-karya seninya, perupa perempuan kelahiran Jembrana, 4 Juli 1966 itu kerap menggambarkan organ-organ seksual laki-laki maupun perempuan dalam bentuk surealisme dengan warna-warna cerah.
Dalam lukisan berjudul Bikin Pleasure misalnya, Murni menampilkan bagian bawah tubuh perempuan tanpa busana dengan sabit di selangkangannya. Semacam penggambaran rasa nikmat yang diperoleh dari sakitnya sabit.
Pada karya lainnya, Bendera Kemenangan, Murni menganbarkan penis dengan balon dan bendera merah putih di atasnya. Seperti menyatakan betapa bagi banyak laki-laki, alat vitalnya adalah media untuk merayakan kemenangan dan dominasi.
Karya-karya Murni berangkat dari trauma dan kisah hidupnya. Ketika masih kecil, dia diperkosa ayah kandungnya sendiri. Perjalanan hidupnya juga dramatis. Pernah ikut orang tuanya bertransmigrasi ke Sulawesi, menjadi buruh garmen di Makassar, dan kemudian kembali ke Bali.
Kisah perkawinannya juga meninggalkan trauma. Murni bercerai dengan suami pertamanya yang mau kawin lagi setelah pernikahan mereka tidak melahirkan anak.
Berangkat dari trauma masa kecil dan pengalamannya sebagai perempuan, Murni menggunakan kanvas untuk mengkesplroasi fantasi sekusal dan biografinya. Dalam karya-karyanya, Murni melawan kuatnya patriarki tersebut.
Sepuluh tahun berlalu sejak kematian Murni, dunia seni rupa Bali masih saja kuat dengan dominasi laki-laki. Tak banyak pelukis perempuan di Bali, apalagi yang kemudian bisa dikenal seperti Murni. Padahal Bali dikenal sebagai salah satu kiblat seni di Indonesia selain Bandung dan Yogyakarta.
Ketemu Project, sebuah proyek seni rupa di Bali, berusaha menghidupkan kembali semangat Murni melalui karya-karya seniman masa kini. Mereka membuat proyek seni kolaborasi “Merayakan Murni” sejak setahun lalu. Hasil kolaborasi seniman lintas-dimensi dan negara tersebut dipamerkan di Sudakara Art Space, Sanur pada 16 Juli 2016 hingga 18 September 2016 nanti.
Budi Agung Kuswara, pendiri Ketemu Project, mengatakan ide pameran “Merayakan Murni” datang dari tawaran Sudakara Art Space. Mereka ingin membuat pameran karya-karya Murni untuk mengenang setelah sepuluh tahun kematiannya sekaligus merayakan ulang tahun Murni yang ke-50 pada tahun ini.
Namun, pelukis yang lebih akrab disapa Kabul itu bersama pendiri Ketemu Project lain, Samntha Tio, ingin mengajak seniman lebih banyak untuk terlibat dalam proyek tersebut.
Ketemu Project mengundang 15 seninan dari Bali dan negara lain untuk ikut serta merespon karya-karya Murni. Selain dari Indonesia, ada juga pelukis, fotografer, dan seniman pertunjukan (performance artist) dari Thailand, Singapura, Filipina, dan Belanda.
“Kami ingin mengajak lebih banyak seniman untuk memperkaya perspektif terhadap karya-karya Murni maupun isu yang diangkat,” kata Kabul, alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Menurut Kabul, salah satu tujuan pameran “Merayakan Murni” adalah untuk kembali menyuarakan perspektif yang telah dibungkam, dimarginalisasi atau dikeluarkan dari konteks kisah yang lebih luar dalam sejarah seni Indonesia dan budaya Bali.
Citra Sasmita, perupa muda kelahiran 1990 di Tabanan, termasuk salah satu peserta pameran “Merayakan Murni”. Alumni Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja itu memamerkan karya Mea Vulva, Maxima Vulva atau The Womb, The Largest of th Womb.
Karya itu berupa instalasi vulva, organ genital perempuan, yang ditimbang. Ada 100 vulva baik yang sedang ditimbang ataupun ditumpuk di bawah timbangan. Menurut Citra, karya tersebut mewakili sikapnya terhadap perempuan-perempuan yang sibuk menimbang diri untuk tampil cantik di masyarakat.
“Standar kecantikan perempuan saat ini ditentukan oleh ukuran-ukuran yang dibuat masyarakat, seperti tubuh langsing, kulit putih, dan seterusnya. Akibatnya banyak perempuan ingin tampil seperti itu demi memenuhi standar masyarakat,” kata Citra.
Citra, yang bekerja sebagai ilustrator di salah satu media lokal di Bali, memberikan penjelasan mengenai 100 vulva yang dia pamerkan. Seratus mewakili usia neneknya di Pupuan, Tabanan, tempat kelahiran dan tinggal keluarga besarnya. Usia 100 tahun bagi perempuan di Bali bisa menjadi isu tersendiri.
“Nenek saya dituduh bisa ngleak hanya karena dia masih hidup di usia 100 tahun,” dia menambahkan. Menurut Citra, tuduhan negatif semacam itu merupakan bentuk penghakiman terhadap perempuan di Bali yang tidak pernah terjadi pada laki-laki. Ngleak adalah kemampuan untuk menjadi manusia yang mempraktikkan ilmu hitam dalam kepercayaan masyarakat Bali.
Tak hanya menghadapi stigma ketika menjadi tua, menurut Citra, perempuan di Bali juga rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, seperti pengalamannya mendampingi ibu-ibu rumah tangga di Kintamani, Bangli. “Salah satu penyebabnya karena faktor ekonomi,” ujarnya.
Melalui karya Mea Vulva, Maxima Vulva, Citra ingin menunjukkan betapa praktik kekerasan verbal dan non-verbal terhadap perempuan masih terjadi di Bali.
Dualisme
Namun, tak semua perupa dalam “Merayakan Murni” menghadirkan kritik simbolik terhadap patriarki di Bali maupun masyarakat lainnya. Wawi Navarozza, visual artist perempuan dari Filipina, memilih menyajikan sisi lain dari Murni dan Bali. Sebagai visual artist, Wawi menyatakan dua hal yang menghubungkan dia dan Murni adalah seni rupa dan perempuan.
Pengalaman Murni sebagai buruh pabrik tekstil ketika di Sulawesi menginspirasi Wawi untuk menyajikan warna-warna cerah dalam foto-fotonya tentang perempuan ataupun Bali. “Biasanya karya saya cenderung monokrom. Namun, untuk mengingat Murni sebagai pekerja tekstil, saya memilih warna-warna cerah,” ujarnya.
Salah satu karya Wawi adalah self potrait berukuran sekitar 1,5 x 1 meter di mana dia berpakaian penuh warna cerah dikelilingi bunga-bunga, baik plastik maupun asli. Di dalam foto itu, dia duduk dengan kruk di bawah lengan kiri untuk menyangga tangan. Foto karya Wawi menunjukkan rasa sakit di antara meriahnya warna-warna bunga.
Menurut alumni Cummincation Arts Universitas De La Salle Manila itu, karya foto itu terinspirasi dari pengalaman pribadi selama mengikuti residensi di Bali. Dia kena demam berdarah, hal yang mengingatkan dia tentang dualisme di Bali. Bahwa di balik pesonanya, Bali juga memiliki sisi yang membahayakan, ancaman demam berdarah.
“Mengapresiasi Murni tidaklah hanya tentang seksualitas tapi juga apa yang ada di sekitarnya, termasuk Bali,” ujar Wawi.
Karya-karya Wawi menunjukkan keragaman tafsir terhadap karya Murni. Tak sebatas pada isu-isu kekerasan seksual tapi juga Bali. Format karya juga beragam. Tak hanya dua dua dimensi dalam bentuk lukisan dan fotografi tapi juga video, pahatan unik, seni pertunjukan, dan instalasi.
“Fokus kami memang bukan hanya pada Murni sebagai seniman Bali tapi juga pada subjek dan tema karyanya yang melintasi jarak geografis dan budaya. Ini diperkaya dengan seleksi seniman residen dari asal da latar belakang artistik beragam,” kata kurator pameran Savitri Sastrawan.
Ila, artis pertunjukan dari Singapura, merespon karya-karya Murni melalui tarian yang dia buat selama mengikuti residensi. Dia mengaku terinspirasi dari lukisan Murni berjudul Increasing Pleasure yang menggambarkan kenikmatan dalam rasa sakit. Ila kemudian melengkapinya menjadi Increasing Pleasure, Reclaim of Shame.
Karena itu, Ila pun tidak malu untuk mengakui bahwa dia pun “memaksa” tubuhnya untuk belajar tari Bali, hal yang dia pelajari dari YouTube. Dia tidak malu untuk kemudian mempertunjukan kemampuan menarinya yang baru dia pelajari tersebut pada publik di dalam ruang gelap dengan lampu-lampu disko sebagai bagian dari seni pertunjukannya.
“Malu, sebagai rasa malu ataupun kemaluan (alat vital), harus kita dekonstruksi dan kita rayakan,” katanya. [b]
Comments 2