
Jalan kaki di Sanur biasanya dilakukan di pesisir pantai. Pedestriannya cukup lebar dan ada jalur khusus pesepeda. Namun, apakah kamu pernah berjalan kaki di sepanjang jalan raya Sanur?
Stravenues dan Capybara Visual bekerja sama dengan Urban Social Forum mengajak kita berkeliling Sanur sambil membaca ulang Sanur melalui perspektif tubuh, waktu, dan keseharian. Hari minggu pagi para peserta berkumpul di Pantai Segara Ayu. Matahari yang bersinar terik membersamai kami pagi itu.
Perjalanan dimulai dengan berjalan di pedestrian pesisir pantai, dari Pantai Segara Ayu menuju Pantai Karang. Ramainya pantai pada pagi itu tidak membuat kami kesulitan berjalan. Hanya saja harus bersabar ketika pejalan kaki di depan berjalan lambat.
Sekali, dua kali, kami mendengar bunyi bel sepeda. Kami pun memilih menepi, memberikan jalan untuk lewat. Meski ramai, pedestrian sepanjang Pantai Segara Ayu hingga Pantai Karang masih bisa dilewati dua orang berjalan berdampingan. Pesepeda pun tak selalu mengganggu perjalanan karena ada jalur terpisah antara pejalan kaki dan pesepeda.
Tiba di Pantai Karang, kami berbelok menuju jalanan Sanur sebagai zona komersial. Di sepanjang jalan kami menemui banyak restoran, hotel, dan vila. Trotoar yang kami lalui sepanjang jalan raya sangat berbeda dengan pedestrian di pesisir pantai. Banyak trotoar yang rusak, berlubang, dan terlalu sempit untuk dilalui dua orang. Bahkan, di beberapa titik ada kendaraan yang menghalangi akses trotoar. Padahal, kami banyak menemui wisatawan yang berjalan kaki.

Ketimpangan akses trotoar terlihat di depan ICON Bali Mall. Luas trotoar di depan ICON Bali Mall setidaknya dapat diisi empat orang berjalan berdampingan. Made Swabawa dari Stravenues sekaligus pemandu pagi itu menjelaskan bahwa rencananya trotoar di sepanjang Jalan Danau Tamblingan akan diperluas. Saat itu pun ada beberapa kendaraan proyek yang tengah bekerja. Beberapa trotoar telah dihancurkan dan diganti dengan yang baru.
Di depan ICON Bali Mall, kami diajak masuk ke gang kecil yang hanya muat untuk dua motor. Gang kecil tersebut menuju jalur pemukiman warga Sanur. Ada ketimpangan lain yang kami amati ketika berjalan kaki. Dinding bangunan vila berdiri tinggi melampaui tinggi manusia, sedangkan tinggi dinding rumah warga sejajar dengan tinggi manusia.

Jalur pemukiman warga tidak seramai zona komersial yang sebelumnya kami lewati. Ada beberapa warung kecil milik warga sekitar. Tidak ada trotoar, tetapi kawasannya cukup teduh karena rimbun pepohonan.
Puas berjalan selama kurang lebih satu jam, kami kembali lagi ke Pantai Segara Ayu. Para peserta duduk melingkar. Di tengah-tengah diletakkan peta kecil kawasan Sanur. Barda dari Capybara Visual meminta peserta menuliskan hal-hal menarik yang ditemui selama jalan kaki.

Salah satu peserta merefleksikan pemukiman warga yang lokasinya jauh dari kawasan pariwisata. Ia bertanya-tanya bagaimana seharusnya ruang antara pemukiman dan pariwisata diatur.
Swabawa menjelaskan bahwa saat ini orang-orang menekankan penggunaan ruang yang di-mix atau dicampur. Contohnya ketika jarak antara supermarket dan pemukiman berdekatan, maka masyarakat tidak perlu lagi menggunakan kendaraan pribadi. “Itu justru lebih mengefisienkan pergerakan. Jadi nggak akan menambah kemacetan. Makanya kenapa pemukiman, area komersial, area wisata kalau misalnya dia berdekatan jaraknya itu bagus,” jelas Swabawa.
Namun, pola tata ruang tersebut belum menjadi isu hangat di kalangan masyarakat Bali. Swabawa menjelaskan pendapatan masyarakat Bali sangat bergantung dari pariwisata, tetapi masyarakat Bali mengabaikan adanya privatisasi pantai. “Sanur pun sudah terjadi privatisasi di area pantai,” ujar Swabawa.
Peserta lain merefleksikan pengalamannya berjalan kaki dengan piramida mobilisasi di Bali. Dalam piramida mobilisasi, pejalan kaki merupakan unsur utama yang harus diprioritaskan. Sementara, kendaraan pribadi ada paling bawah. “Kayaknya kasta tertingginya ya emang yang naik motor, yang naik mobil,” ujarnya menceritakan pengalaman berjalan kaki di Sanur.
Peserta lain ternyata merasakan hal yang sama, terutama terkait transportasi umum di Bali. “Aku sempat nyoba Teman Bus, tapi ternyata stigma masyarakat di sini itu belum terbuka untuk transum. Malah stigmanya itu jelek kayak ih transum ini malah ganggu jalan dan segala macam,” ujar salah satu peserta.
Swabawa pun menyetujui pernyataan peserta tersebut. Masih banyak masyarakat Bali yang merasa transportasi umum malah menambah beban jalan. “Asumsinya adalah mungkin mereka belum merasakan manfaatnya atau bahkan mungkin mereka belum pernah naik sama sekali, tapi langsung mengasumsikan ini bikin macet segala macam,” imbuh Swabawa. Ia menekankan Bali sebagai pusat pariwisata harusnya memiliki akses publik yang layak dan jelas.
Selama perjalanan, salah satu peserta juga menyadari bahwa sepanjang Pantai Sanur tidak terlihat tanda jalur evakuasi bencana. Padahal, sudah seharusnya area pesisir dilengkapi dengan peta evakuasi bencana.
Refleksi perjalanan Sanur pagi itu ditutup dengan tepuk tangan dan foto bersama. Meski hanya dihadiri anak muda dan masyarakat umum, refleksi singkat itu juga perlu didengarkan oleh pihak-pihak berkepentingan.
legianbet legianbet legianbet kampungbet