Nama Parigi Moutong sudah tidak terlalu asing di telinga.
Kabupaten di Sulawesi Tengah ini sudah sering saya dengar sejak tinggal di Bali. Dia jadi pilihan favorit para transmigran Bali di Sulawesi.
Setahu saya, selain Lampung, Parigi Moutong juga terkenal sebagai enklave bagi komunitas Bali di luar tanah leluhurnya.
Karena itu, sebagai tanggung jawab emosional (hehehe), saya pun mampir ke komunitas Bali di Parigi ketika mengunjungi kabupaten ini Mei lalu.
Kebetulan sekali komunitas Bali ini berada di jalur yang saya lewati dari Parigi ke Tinombo. Lokasi tepatnya di Desa Buranga, Kecamatan Ambipapo. Dari Parigi sekitar 2 jam perjalanan. Kalau dari Palu, ibukota Sulawesi Tengah sekitar 3 jam perjalanan.
Begitu masuk Desa Buranga, aura Bali langsung terasa. Sanggah-sanggah kecil di depan rumah warga seperti menyambut siapa saja yang melewati jalan raya Trans Sulawesi yang menghubungkan Palu dengan Gorontalo bahkan Manado ini.
Sanggah-sanggah kecil di depan rumah warga menyambut siapa saja yang melewati jalan raya Trans Sulawesi yang menghubungkan Palu dengan Gorontalo.
Saya berhenti di salah satu warung milik orang Bali. Identitas Bali dengan mudah dikenali dari beberapa simbol di rumahnya, seperti pelangkiran dan sanggah. Keduanya tempat menghaturkan sesaji bagi umat Hindu. Bedanya, pelangkiran ditempel di tembok rumah sedangkan sanggah berupa pura kecil di halaman rumah, depan atau belakang.
Pemilik warung tersebut Jero Sumadi, perempuan Bali yang lahir di Lampung. Dia salah satu warga desa ini. Sebelum pindah ke Buranga, dia tinggal di Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Sejak 1999, setelah suami pertamanya meninggal, dia pun transmigrasi dengan biaya sendiri ke Sulawesi.
Jero berjualan buah di pinggir jalan. Sore itu dia berjualan bersama Gusti Arya, anak keempatnya yang sekarang kelas 3 SMP. Toko buah bernama Krisna itu persis di depan rumahnya. Ada kalender Bali, kalender khusus berisi tanggal-tanggal upacara atau hari penting umat Hindu Bali, di dinding toko.
Di samping kiri toko agak ke belakang, ada sanggah kecil dan sederhana. Tidak mewah seperti umumnya di Bali, terutama Denpasar.
Keberagaman
Sambil melayani pembeli di toko buah, Jero bercerita.
Sebagai transmigran dia harus bekerja keras. Bersama suami baru, Gusti Putu Sadia yang berasal dari Buleleng, Jero mengerjakan lahan baru di Buranga. Kini mereka memiliki enam hektar lahan kebun dan 20 are tanah di desanya.
“Di sini mudah mendapatkan yang kita cari selama bekerja keras. Berbeda dengan di Bali, susah dapat apa-apa meskipun sudah bekerja keras,” katanya.
Saya sepenuhnya setuju dengan omongan Jero. Orang-orang Bali di Buranga adalah contoh sukses para transmigran di Sulawesi. Menariknya, transmigrasi tak hanya memperbaiki hidup mereka tapi juga perspektif mereka, misalnya cara pandang terhadap keberagaman.
Mereka sehari-hari terbiasa hidup dalam lingkungan lebih beragam. Pikiran mereka jadi lebih terbuka terhadap perbedaan.
Jero bisa jadi contoh sebagai orang yang terbuka. Sebagai orang Bali Hindu, dia hidup damai berdampingan dengan tetangga dari agama ataupun etnis lain, misalnya Bugis muslim.
Ketika saya sedang ngobrol dengan dia, sementara dia sambil sibuk melayani pembeli, datang beberapa tetangganya. Mereka menyela dan ikut ngobrol bersama kami. Salah satunya seorang perempuan berjilbab. Dia dan Jero lalu ngobrol dan sesekali tertawa. Akrab sekali.
“Kami tidak menilai orang lain dari etnis atau agamanya tapi bagaimana sikap dan kelakuan mereka sehari-hari,” kata Haji Endeng.
Senang melihat keakraban lintas agama dan etnis seperti di mereka.
Beberapa saat kemudian datang lagi tetangga Jero yang lain, Haji Endeng Ibrahim. Laki-laki Bugis ini ikut ngobrol bersama kami. Keliatan sekali dia akrab dengan Jero lewat cara mereka ngobrol maupun bahasa tubuhnya. Menurut Endeng, perbedaan agama dan etnis bukanlah penghalang bagi warga Buranga untuk membangun kebersamaan.
“Kami tidak menilai orang lain dari etnis atau agamanya tapi bagaimana sikap dan kelakuan mereka sehari-hari,” kata Haji Endeng.
Kaget
Saya meninggalkan Buranga setelah sekitar 30 menit ngobrol bersama Jero, Arya, dan Haji Endeng. Desa Buranga menyisakan kesan betapa senangnya hidup berdampingan dan saling menghormati perbedaan.
Saya melanjutkan perjalanan ke Tinombo. Sepanjang jalan saya melihat beberapa tempat yang makin jelas mewakli identitas kebalian di Buranga. Hampir setiap rumah berisi sanggah. Ada pula tempat pembuatan sanggah di pinggir jalan.
Simbol paling besar adalah Pura Agung Sari Agung di kanan jalan menuju arah Tinombo. Pura ini, seperti dikatakan Jero sebelumnya, menjadi salah satu tempat bagi warga Buranga etnis Bali untuk berkumpul saat hari raya Hindu.
Dua hari kemudian, dalam perjalanan dari Tinombo ke Palu, saya dan dua teman berhenti di Parigi kembali. Setelah sekitar tiga jam perjalanan dari Yinombo, kami butuh rehat dan minum kopi.
Sambil minum kopi dan menikmati makanan lokal seperti lemper, saya melihat seorang nenek menjual rambutan bersama cucunya. Dia duduk di pinggir jalan. Si cucu perempuan tidur di meja jualan berisi rambutan. Saat saya nyeruput kopi, terdengar bahasa yang sangat familiar di telinga saya, “Kuda sik neh?”. Si nenek berteriak ke penjual lain di dekatnya. Ternyata mereka orang Bali juga.
Saya mendekati si nenek. Berbicara dengannya dalam bahasa Bali kasar ala Denpasar. Betapa menyenangkan, jauh-jauh ke Parigi Moutong yang perlu dua kali penerbangan dari Denpasar – Makassar – Palu, ternyata bisa ngomong bahasa Bali juga. 🙂
Kejutannya, si nenek ini ternyata berasal dari Buranga juga, seperti juga Jero Sumadi.
Ketika baru transmigrasi ke Sulawesi, Men Tari bercerita, dia sebenarnya tinggal di Sulawesi Barat. Namun, karena menurutnya nasib tidak terlalu baik di lahan pertama, mereka pun pindah ke Buranga. Berkumpul dengan sesama orang Bali di sana.
Tiga Generasi
Ternyata nasibnya makin membaik. Selain memiliki lahan pertanian luas di Buranga, dia kini juga menjual buah-buahan. Saat ini, sudah tiga generasi Bali di Buranga. Cucu perempuan merupakan generasi ketiga. Adapun anak Men Tari, yang juga berjualan rambutan di seberang jalan dari Men Tari, juga lahir di sana.
Menurut Men Tari, transmigran Bali umumnya bekerja di sektor pertanian, terutama di lahan sawah. Namun, banyak pula yang berkebun. “Orang Bali terkenal pintar dan ulet bertani,” kata Lewardi, petani yang menemani saya ketika di Tinombo.
“Orang Bali terkenal pintar dan ulet bertani,” kata Lewardi, petani yang menemani saya ketika di Tinombo.
Sehari setelah bertemu Men Tari, saya kembali menemukan hal lain tentang orang Bali di Parigi Moutong. Dasar jodoh kali ya. Kali ini pun tak sengaja bertemu seperti halnya dengan Men Tari.
Pada hari terakhir di Palu, saya liputan ke gudang pembelian hasil pertanian termasuk kakao. Saat memotret orang menimbang kakao tersebut, saya baca nama salah satu pedagang adalah Made Lis. Nama itu tertulis di karung-karung berisi kakao.
Tentu saja saya langsung tanya yang mana orangnya.
Made Lis, pria berumur sekitar 45 tahun berkepala agak plontos, sedang berada di ruang kasir. Ternyata dia juragan kakao di Parigi. Asalnya dari Singaraja. Tempat tinggalnya pun di Buranga. Oalah. Ternyata.
Sayangnya, karena dia sibuk dengan pembeli dan saya juga harus motret, kami tak bisa ngobrol banyak.
Melihat jualannya, saya yakin Made Lis ini juragan kakao besar di Parigi. Dia menambah daftar sukses transmigran Bali di Parigi selain Jero dan Men Tari. [b]
saudara saya di Gorontalo sering cerita di Parigi yang paling rame komunitas balinya, dia selalu cerita begitu setiap ke bali, setiap tahun. dan saya baru sekali ke Gorontalo.. ( ._.)/||