![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2018/03/Mengarak-ogoh-ogoh-menjelang-Nyepi-Tahun-Caka-1940-540x360.jpg)
“Kanggiang pak pang keni gen, pang meciri gen me-hari raya. Kene rage Bali jani uyak rahinan”
Seadanya saja pak, agar dapat minum (bir) saja, agar ada ciri berhari-raya (Galungan). Seperti ini kita orang Bali terus-menerus disibukkan hari raya (Galungan, Kuningan, Nyepi)
Dua teruna (anak muda) Bali saya perhatikan masuk ke warung toko 24 jam yang menyediakan jualan bensin kecil di depan tokonya. Keduanya kemudian membuka dua kulkas di toko tersebut dan mengambil satu merek bir untuk dikumpulkan di plastik. Saya hitung ada sepuluh botol bir dingin yang mereka kantongi. Selanjutnya mereka juga memesan 2 karton bir sejenis. Saat hendak memindahkannya ke motor itulah, saya menyapa keduanya. “Ngibur niki gus?” (Apakah bersenang-senang ini?). Sontak keduanya sambil tersenyum ramah menjawab petikan dua kalimat yang saya tuliskan di awal esai ini. Saat itu sore hari pada hari raya Galungan, 28 Februari 2024.
Saya perhatikan hal itu tidak hanya berlangsung sekali. Warung toko 24 jam tersebut mendadak sibuk melayanai para teruna yang “merayakan” Galungan dengan pesta minum bir. Bahkan sekelompok anak muda Bali di pinggir jalan berkelompok membentuk lingkaran mengelilingi botol bir dengan hentakan house music koplo yang menggelegar dan kulit kacang yang berserakan. Sementara berjarak 300 m, sekaa teruna sibuk menyelesaikan pembuatan ogoh-ogoh mereka. Paling tidak itu yang sama amati sekitar rumah.
Tensi aktivitas dan hiruk pikuk banjar-banjar di seputaran Kota Denpasar, dan saya kira juga di seluruh wilayah di Bali, betul-betul meningkat menjelang hari raya Galungan dan Nyepi pada Februari – Maret 2024 yang berlangsung berdekatan. Cita-cita menjadikan banjar sebagai pusat kegiatan budaya bagi komunitasnya seakan betul-betul menyeruak ke permukaan.
Banjar-banjar begitu ramai dengan berbagai aktivitas para yowana (generasi muda) yang bergabung dengan krama (warga) banjar dalam pembuatan ogoh-ogoh. Hari-hari biasanya, banjar biasanya sepi kecuali untuk kegiatan rutin pesangkepan banjar (rapat rutin), atau sesekali dikunjungi para caleg (calon anggota legislatif) untuk mendharma suaka (memohon dukungan) sekaligus menyerahkan bantuan menjelang Pemilu 2024 lalu.
Menonton Kebudayaan Sendiri
Hari-hari biasanya, banjar akan menjadi bangunan megah yang sangat dinikmati untuk “ditonton” oleh krama (warganya). Pengalaman saya suatu waktu melihat proses pemugaran balai banjar yang tepat berada di pinggiran jalan pemukiman warga. Bangunan banjar yang kemudian selesai tampak megah dengan baguan style Bali yang istimewa dengan hiasan lampu-lampu taman mengelilingi bangunan.
Sore hingga sandikala, banyak krama banjar duduk bergerombol sambil bercengkrama menonton banjar mereka yang tampak megah. Kebanggaan dan antusiasme terlihat jelas. Sisi lainnya, banjar dipergunakan fungsional yang dibuat bertingkat dengan jejeran ruko-ruko di bawahnya. Banjar berada di tingkat atas dan ruko-ruko disewakan di bagian bawahnya.
Mempercantik banjar dengan memugarnya agar tampak megah seolah menjadi salah penanda penting berdenyutnya kebudayaan dan kemajuan masyaakat. Hal yang sama berlaku untuk pemugaran pura-pura agar tampak mewah dan mentereng dengan mengakses dana Bansos (Bantuan Sosial) para anggota legislatif.
Salah satu yang menggairahkan suasana banjar, khusus pada momentum Galungan dan ogoh-ogoh Nyepi, adalah generasi muda-nya, para yowana atau organisasi mereka yang disebut dengan Sekaa Teruna Teruna (STT). Kehadiran generasi muda Bali ini sangat penting sebagai penanda tampak bergairahnya kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali tampak hidup dan bertransmisi kepada generasi muda, ditambah usaha adaptasi sekaligus pembaharuan yang terus-menerus terjadi.
Vitalitas inilah yang (seolah-olah) membuat kebudayaan Bali tampak penuh energi dan selalu mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Tentu ini tampak membahagiakan. Tapi sekali lagi, hidupnya kebudayaan Bali yang tampak dalam permukaan begitu dinamis dan kreatif ini, luput memperhatikan semakin terdesaknya kondisi Bali dan manusianya di tengah situasi “benteng terbuka”. Mungkin inilah salah satu penanda untuk menjedakan ketersingkiran tersebut: menonton kebudayaan sendiri.
Kebanggaan terhadap kebudayaan sendiri berpeluang membut kita abai melihat paling tidak dua hal: pertama, karena saking bangganya, kita lupa kritis dan memeriksa siapa, bagaimana, dan mengapa para leluhur dan para penjajah membentuk kebudayaan kita. Bagaimana mereka menseleksi—tentunya dengan berbagai kepentingan dan kuasa—mana yang dianggap kebudayaan Bali yang adiluhung dan “yang menyimpang”.
Sederhananya, karena tertutup kebanggaan, kita melupakan untuk melihat detail dan menguraikan mengapa kebudayaan Bali ada seperti sekarang ini? Hal mana yang disorot terang-benderang dan sebaliknya yang digelapkan karena merusak tatanan harmoni dan keadiluhungan budaya Bali tersebut.
Soal kedua, dengan memahami detail, tali-temali, dan kritis terhadap kebudayaan sendiri, sebenarnya kita sedang membuka jalan untuk belajar memahami diri kita secara progresif (baca: gerakan sosial). Kebudayaan Bali adalah gerakan sosial itu sendiri. Hanya negara dan aparatusnya serta para elit-nya sajalah yang mencoba untuk “membekukakan” kebudayaan melalui serangkaian peraturan, kebijakan, dan program-program yang tampak memberdayakan tetapi sejatinya menumpulkan ketajaman masyarakat untuk mengimajinasikan kebudayaannya sendiri tanpa perlu diatur-atur oleh negara, kekuasaan dan centeng-centengnya.
Generasi (yang) Apolitis
Jika melihat rentetan sejarah Bali, pasca pertikaian politik 1965-1966 yang menyisakan trauma mendalam, dimana sesama manusia Bali saling bunuh, salah satu yang bisa meredakannya adalah merancang ekspresi-ekspresi kebudayaan yang “apolitis”. Hal ini berarti tidak lagi berbicara politik karena telah memecah-belah orang Bali dan membuat rangkaian dendam terus terpelihara. Jika sebelumnya kebudayaan—dalam hal ini kesenian dan kesusastraan—dianggap begitu “politis” dan dikendalikan oleh partai politik, maka pada reorganisasi kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru pasca Tragedi 1965, justru yang mengendalikan kebudayaan adalah negara dengan berbagai cara dan instrumen yang justru sebenarnya mempolitisasi kebudayaan untuk kepentingan kekuasaan. Dalam kasus Bali, kebudayaan dijadikan sebagai “bahan bakar” untuk menghidupi ideologi pembangunan pariwisata budaya.
Salah satu lokus yang kenyang menerima kooptasi (penaklukan) negara adalah desa adat, dimana krama banjar sekaligus desa adat dan sekaa teruna teruni yang berada di dalamnya. Berbagai program untuk “memberdayakan” desa adat untuk mendukung pembangunan digerakkan oleh institusi negara dan apparat keamanan dari semua lini. Kebanggaan terhadap budaya Bali dipompa terus-menerus sebagai usaha “melupakan” tragedy kekerasan 1965. Satu tujuan lainnya yang jauh lebih terselubung tapi sangat efektif menurut saya adalah membunuh kritisisme. Pada momentum inilah sebenarnya telah disemaikan lahirnya generasi apolitis.
Masyarakat Bali dibuat bahagia dan larut dalam pujian “keramah-tamahan”, kebudayaan yang kuat menangkal pengaruh asing, dan kekuatan adat, budaya dan agama yang selalu disanjung-sanjung. Oleh sebab itulah, pembangunan dan pariwisata menjadikan semua itu sekaligus manusia Bali sendiri sebagai paket tontonan yang (sayangnya) kita kagumi sendiri sebagai wujud pembangunan pariwisata budaya. Orang Bali sungguh Bahagia dengan hal itu dan tidak ada diskusi dan kritik untuk bersandingnya kata pariwisata dan budaya. Apalagi kemudian disematkan kata pelestari kebudayaan yang semakin meyakinkan bahwa tidak perlu ada pertanyaan lagi tentang kebudayaan Bali. Semuanya sudah final.
Pada titik ini sebenarnya (lagi-lagi) kita abai untuk melihat apa yang disingkirkan dalam tontonan kebudayaan tersebut. Saya kembali teringat, dalam salah satu esinya, Santikarma (2000) dengan satir mengungkapkan untuk totalitas menjadikan Bali sebagai daerah pariwisata, semuanya disulap. Kesusahan hidup petani disulap menjadi foto sawah yang hijau dan indah. Pemandangan di tebing jurang, yang sayangnya telah dikuasai oleh investor asing bekerjasama dengan masyarakat setempat, menjadi lokasi selfie (swafoto). Beban kaum perempuan yang kerja keras untuk keluarga suami mereka dengan berdagang, bertani, dan membuat banten (sesajen) untuk ritual, menjadi lukisan gadis cantik yang mempesona. Ekspresi kekerasan dan keliaran menjadi tarian Keris Dance yang menusuk dirinya sendiri.
Bagi saya, kita perlu selalu mempertanyakan dan mencari tahu kebudayaan Bali yang tidak sedang kita pertontonkan, kita perlu menelisik bagian dari kebudayaan Bali yang disumirkan, disingkirikan, bahkan dihilangkan. Sudah pasti ini tidak akan disukai oleh penguasa atau orang-orang yang bekerja untuk kekuasaan. Baginya, yang terlihat adalah yang dipertontonkan dan sudah tentu kebudayaan Bali yang menguntungkan dirinya sendiri.
I Ngurah Suryawan, Dosen FISIP Universitas Warmadewa