• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Tuesday, June 24, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Budaya

Meninjau Kembali Sejarah Drama Gong

I Nyoman Darma Putra by I Nyoman Darma Putra
28 June 2009
in Budaya
0 0
8

sejarah drama gong

Oleh Darma Putra

Dalam dialog budaya tentang sendratari, drama gong, dan gong kebyar di sela-sela Pesta Kesenian Bali (PKB XXXI di Taman Budaya Denpasar, Senin (22/6) lalu, disinggung sepintas mengenai awal munculnya drama gong. Disebutkan bahwa drama gong lahir pada 1966 (pasca-G30S), tokohnya adalah Anak Agung Raka Payadnya. Sejak tahun itu drama gong dianggap berkembang dan berbiak ke seluruh Bali.

Pendapat itu terus didaur-ulang sejak dulu, baik oleh sarjana Bali maupun luar negeri. Padahal, ada bukti lain yang menunjukkan bahwa cikal bakal drama gong sudah ada setidaknya sejak akhir 1959, ditandai dengan munculnya drama “Mayadenawa” yang diiringi gamelan dan pemainnya berbusana Bali. Namanya drama atau drama klasik, tetapi bentuknya tidak ubahnya bentuk awal drama gong.

Sudah sejak lama masa awal drama gong dianggap bermula pasca-pemberontakan G30S. Putu Setia, misalnya, dalam buku “Menggugat Bali” (1986) mengatakan bahwa drama gong muncul setelah seni pertunjukan janger menguap pasca-pemberontakan G30S/PKI 1965. Dia tak hanya menyebutkan Raka Payadnya sebagai “tokoh” drama gong, tetapi juga menganggap Abianbase, Gianyar, desanya Raka Payadnya, sebagai tempat lahirnya drama gong.

Sepuluh tahun kemudian, 1996, sarjana Amerika Fredrik de Boer dalam makalahnya “Two Modern Balinese Theatre Genres: Sendratari and Drama Gong” menyebutkan bahwa Raka Payadnya menciptakan drama gong pertama tahun 1966, mengangkat kisah “I Swasta Setahun di Bedahulu”, novel Panji Tisna. Dialognya disebutkan menggunakan bahasa Bali.

Keterangan Payadnya sendiri dalam wawancara tahun 1999 (Bali Post, 4 September 1999), merevisi beberapa informasi tersebut. Menurut Payadnya, drama yang digarap pertama adalah “Jayaprana”, dipentaskan pada 24 Februari 1966 di halaman sebuah pura di desanya, sedangkan “I Swasta Setahun di Bedahulu” dimainkan lima atau enam tahun kemudiannya. Bahasa yang digunakan bukan sepenuhnya bahasa Bali, tetapi bahasa Indonesia (80%) dan bahasa Bali (20%). Dengan demikian, apa yang diciptakan Payadnya ini tidak bisa sepenuhnya disebutkan drama gong karena bahasanya dominan bahasa nasional.

Sejak “Mayadenawa”
Cikal bakal drama gong sebetulnya sudah ada sejak akhir 1950-an, berupa bentuk campuran (hibriditas) dari teater Barat, sandiwara, stambul, dan janger. Pentas diiringi gamelan Bali, dialog dalam bahasa campuran bahasa Indonesia dan Bali, dan pemain menggunakan pakaian Bali.

Salah satu contoh adalah drama “Mayadenawa” yang menurut laporan surat kabar pernah dipentaskan tahun 1959. Mayadenawa adalah kisah raksasa yang melarang rakyatnya untuk menyembah Tuhan, mengajak rakyat atheis, menyuruh agar pura-pura dihancurkan. Tuhan marah dan mengutus dewa ke bumi untuk membunuh Mayadenawa, dalam perang itu menanglah dharma melawan adharma. Lakon ini sering dikaitkan dengan mitos tentang Galungan.

“Mayadenawa” merupakan cerita klasik, dan Nengah Kayun adalah orang yang menggubahnya menjadi naskah drama untuk dipentaskan sebagai drama. Oleh karena seni pertunjukan ini merupakan campuran antara tradisional dan modern, maka dia disebut dengan istilah “drama klasik” atau “drama” saja. Nama drama gong belum muncul walau dalam pementasan drama “Mayadenawa” diiringi gamelan gong.

Dalam rentang waktu tujuh tahun, 1959-1966, “Mayadenawa” berpentas sampai sepuluh kali di Bali dan Lombok. Kelompok drama yang dibentuk oleh Parisada Hindu Dharma ini mengadakan pementasan drama “Mayadenawa” ke Lombok dua kali. Pertama pada 1962 untuk memeriahkan hari raya Galungan dan kedua pada 1963 dalam rangka mengumpulkan dana atas undangan Palang Merah Indonesia (PMI).

Setelah 1966, drama “Mayadenawa” terus dipentaskan dan menurut laporan koran pementasan mereka selalu “sukses besar”. Drama lain yang juga populer sebelum 1965 adalah “Bertemu di Ujung Keris” karya Tjokorda Rai Sudharta, waktu itu menjadi Kepala Jawatan Agama. Drama ini mengisahkan pertemuan kembali dua remaja bercinta setelah sempat terpisah saat gunung meletus. Inspirasinya, menurut Tjok Sudharta, adalah letusan Gunung Agung 1963.

Tahun 1964, selama perayaan Galungan dan Kuningan, “Mayadenawa” dan “Bertemu di Ujung Keris” dipentaskan oleh kelompok seniman Genderang Budaya Swastika di beberapa desa di Klungkung (Suara Indonesia, 11 Mei 1964), untuk menghibur masyarakat dari rasa duka akibat bencana alam. Pemain dan penabuh diperkuat oleh mahasiswa IHD dan Kokar.

Penggunaan Istilah
Raka Payadnya sendiri pernah menjadi penabuh dalam sebuah pementasan drama “Mayadenawa”. Kalau kemudian dia membuat drama “Jayaprana”, jelaslah inspirasinya dari drama “Mayadenawa” yang waktu itu disebut sebagai drama klasik. Dalam wawancaranya di Bali Post tahun 1999 yang berjudul “AA Raka Payadnya: Bikin Drama Klasik, Populer Drama Gong”, Payadnya jelas menggunakan istilah “drama klasik”, istilah yang semula digunakan untuk menyebutkan drama “Mayadenawa”.

Ciri-ciri drama digarap Payadnya dan istilah “drama klasik” yang hendak dibuatnya bisa dijadikan alasan bahwa apa yang dibuat itu adalah tiruan atau kelanjutan dari drama “Mayadenawa” dan “Bertemu di Ujung Keris”.

Dengan demikian, tepatlah untuk mengatakan bahwa drama yang kemudian dikenal sebagai drama gong tidak bermula tahun 1966, pasca-G30S, tetapi sudah muncul paling tidak akhir 1959, pelopornya bukan Raka Payadnya, tetapi Tjok Rai Sudharta, Nengah Kayun dan kawan-kawan. Raka Payadnya memang kemudian menjadi pemain drama gong terkenal, tetapi peran pelopor lebih tepat diberikan untuk para seniornya yang menggarap “Mayadenawa” dan “Bertemu di Ujung Keris””. [b]

Tulisan ini dimuat di http://balipost.co.id/mediadetail.php?module=kategoriminggu&kid=15&id=Budaya

Tags: BaliBudaya
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
I Nyoman Darma Putra

I Nyoman Darma Putra

Lahir, besar, dan tinggal di Padangsambian, Denpasar. I need 1000 dollars now. Pernah tinggal di Brisbane, Australia (1998-2002; 2007-2009). Saat ini Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya sekaligus Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana.

Related Posts

Budaya Ngayah Makin Langah

Budaya Ngayah Makin Langah

13 June 2025

Bali Hampir Habis, Semenjana dan Tergantikan

4 January 2025
Over Development Bali di UWRF 2024

Over Development Bali di UWRF 2024

23 October 2024
Yang Lalu Jangan Biarkan Berlalu, Tuturkan di Indonesia Bertutur

Yang Lalu Jangan Biarkan Berlalu, Tuturkan di Indonesia Bertutur

13 August 2024
Lebih dari Sekadar Wastra, Ragam Ekspresi di Roman Muka

Lebih dari Sekadar Wastra, Ragam Ekspresi di Roman Muka

22 July 2024
Menelaah Pembungkaman PWF 2024 dari Berbagai Perspektif Hukum

Menelaah Pembungkaman PWF 2024 dari Berbagai Perspektif Hukum

7 June 2024
Next Post
PKB belum Melahirkan Kritikus Seni

PKB belum Melahirkan Kritikus Seni

Comments 8

  1. haryoga says:
    16 years ago

    wah baru tau nih cerita awalnya drama gong. mudah2an drama gong tetap eksis di jagat bali ini. mari lestarikan budaya bali.

    Reply
  2. lodegen says:
    16 years ago

    ae, mara rungu. hahaha. tengkyu sir darma

    Reply
  3. wira says:
    16 years ago

    beberapa tahun yang lalu, saat drama gong sedang nge-top, jamannya petruk dan dolar, saya adalah penggemar yang tak pernah melewatkan pentas drama gong di PKB.. hehehe

    *teringat kejadian hampir kena pentungan polisi karena nekat panjat tembok arda candra..

    Reply
  4. rah eka says:
    16 years ago

    seandainya artikel ini sy daptkan diawal thn 1999 mngkin isi dri skripsi akn mnjadi lbh lengkap,sayng terlambat.tp nice kok,smoga drama gong bs bangkit lg dgn format yg lbh baru,hal ini hnya bs trjadi klo seniman2 drama gong yg msh ad skrng mau membuka diri dn menghilangkan idialisme mrk..kasian kaum muda yg msh ingn mengtahui lbh jauh ttg sejarah budaya kesenian tradisi mereka yg bs dikatakn “punah” ini.

    Reply
  5. bagyojose says:
    15 years ago

    emmm…kayaknya menarik nih drama gong..

    Reply
  6. Alpahrd says:
    15 years ago

    Kalau nonton drama gong, saya jadi ingat masa kecil, nonton di TV hitam putih.

    Reply
  7. ayumassari says:
    11 years ago

    Ow.. begitu sejarahne ? becik..becik..becik, mari kita lestarikan

    Reply
  8. wisata bromo says:
    11 years ago

    Dikancah dunia Indonesia terkenal akan budaya dan wisata nya terutama di Bali

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Sampah tak Terpilah, Subsidi Pupuk Organik bikin Jengah

Bali dan Aroma Asap Pembakaran Sampah

24 June 2025
Nikmat Suasana Ngopi di Teba Tengah Kota

Nikmat Suasana Ngopi di Teba Tengah Kota

23 June 2025
Feral Stripes – “Silicon Opera” Distopia dalam Tujuh Babak

Feral Stripes – “Silicon Opera” Distopia dalam Tujuh Babak

22 June 2025
Aksi Bali Mengkritisi Kebijakan Bias Gender dan Tolak RUU TNI

Gerakan Kesadaran Neurodiversitas untuk Keberagaman dan Melawan Stigma

21 June 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia