Apakah Anda akan mengizinkan semua orang bisa masuk ke rumah Anda?
Ataukah Anda lebih selektif? Mungkin Anda lebih tertutup, tidak mengizinkan siapapun masuk? Itu adalah hak Anda dalam mengambil keputusan. Tetapi tentunya Anda punya alasan tertentu.
Sebagaimana memilih teman, pastilah Anda mempunyai alasan-alasan juga mengapa harus menjalin hubungan. Begitu pula kenapa Anda mengizinkan maupun menolaknya.
Kata orang, sebagian besar orang Timur lebih cenderung menjalin relasi yang dilandasi oleh azas ekonomi, sedangkan orang Barat lebih dilandasi oleh azas ideologi. Seperti pendapat umum juga mengatakan bahwa orang Timur terlalu main perasaan daripada orang Barat yang banyak main pikiran.
Tinggal bagaimana kita menilainya, adakah masing-masing mempunyai azas manfaat? Seperti simbiosis parasitisme ataukah simbiosis mutualisme?
Ada beberapa alasan mengapa seseorang memilih teman si A atau si B. Mungkin karena enak diajak ngobrol, mempunyai hobi dan pandangan sama, senasib, sepenanggungan atau sependeritaan, memiliki keunikan atau keahlian, tampan atau cantik, baik dan dermawan, terkenal, atau bisa juga karena tingkatan ekonomi yang lebih maju.
Sangatlah manusiawi jika seseorang dianggap materialis dalam pemilihan teman. Tetapi kalaulah ujung-ujungnya mengakibatkan kerugian di salah satu pihak, maka hal ini sangatlah tidak wajar. Banyak kasus teman saling ‘makan’ teman, bahkan saudara ‘makan’ saudara. Ini dikarenakan salah satunya terlalu profit oriented (duit melulu yang dipikirin): no money, no relation.
Begitu pula dengan negara. Jika sebuah negara tidak tepat memilih negara sahabat atau mitra kerjanya, kemungkinan besar bisa berakibat fatal. Sehingga rakyatlah yang kena getahnya.
Dari sekian banyak ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah pastilah ada penyebabnya. Kita tidak perlu bingung mencari sumber masalahnya. Hal ini erat kaitannya dengan visi-misi suatu bangsa. Tentunya setiap negara mempunyai target dalam pembangunan. Untuk mencapai target tersebut diperlukan sebuah alat berupa world vision (pandangan dunia). Inilah yang membedakan antara politikus dengan pedagang.
Ideologi adalah produk dari politik, hasil pemikiran ilmuwan yang menyelami dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Sedangkan barang dan jasa adalah produk industri dan perniagaan. Seandainya dunia ini dipenuhi oleh pejabat yang layaknya pedagang, broker, makelar tanah, calo, apalagi preman, maka tunggulah kehancurannya!
Tetapi setidaknya menjual isme (faham) akan jauh lebih baik daripada menjual harga diri.
Jadi, apa sebenarnya target NKRI ini? Adakah selama ini –yang duduk di pemerintahan- memahami benar visi dan misi negara, bila pada akhirnya rakyat hanya diajak menunggu kestabilan harga BBM dan kurs dollar? Jangan-jangan mereka pun tidak mengerti arti kata dari visi-misi tersebut!
Tidaklah mengherankan bila sebagian orang mencap Indonesia sebagai salah satu negara neo-liberalism.
Perhatikanlah aktivitas-aktivitas yang harus melewati prosedur perizinan atau hal-hal yang wajib menyertakan surat izin, apa alasan instansi-instansi terkait meloloskan suatu permohonan izin? Kita berharap tidak ada transaksi jual beli dalam hal perizinan. Karena apapun itu -yang menyangkut terlaksananya suatu pembangunan- dari urusan tata kota, kegiatan industri perdagangan, proyek, investasi sampai pelacuran berada di tangannya.
Bayangkan jika semua kegiatan dan proyek diizinkan asalkan ada uang! Dampaknya: yang tidak perlu didahulukan, sedangkan yang lebih penting dibelakangkan. Wajarlah banyak kawasan publik dan lingkungan hidup menjadi semerawut. Tentu kita tidak mau jika rumah kita berantakan dan kecolongan akibat ulah teman dan ‘saudagar’ yang selama ini kita percayai, bukan?
Mau mengelola, memiliki, atau menguasai?
Keinginan untuk memiliki sesuatu adalah salah satu sifat alamiah manusia. Contoh kecil dapat kita saksikan pada anak-anak yang telah mengetahui benda-benda, seperti mainan misalnya. Anak-anak mulai mempunyai kecenderungan untuk memilikinya dengan cara merengek sambil menunjukkan jari ke arah benda yang dimaksud. Bisa juga dia mengambil dengan paksa mainan yang sedang dipegang anak-anak lain.
Sebagaimana kebiasaan yang tampak pada masyarakat konsumtif di Indonesia, sifat ingin memiliki tersebut boleh dianggap wajar-wajar saja apabila sebatas pada kebutuhan primer atau sekunder yang seperlunya. Dengan kata lain membeli sesuatu sesuai dengan apa yang dibutuhkan sambil menunda keinganan-keinginan semu.
Tinggal bagaimana orang bisa mempertimbangkan mana yang prioritas dan mana yang tidak.
Pada tingkat tertentu -pemerintah misalnya- sungguhlah tak wajar bila rasa ingin memiliki itu menjadi prioritas dalam program kepemerintahan. Dalam hal ini, kata ‘politik’ tidak lagi berkonotasi ‘mengelola’, tetapi bergeser menjadi ‘menguasai’.
Bagi penguasa, memiliki sesuatu merupakan sebuah kebanggaan di tengah haus akan pujian. Dan memang pekerjaan itu lebih mudah dibandingkan mengelola. Seperti halnya sebagian besar masyarakat yang lebih tertarik membeli sesuatu yang baru daripada memperbaiki yang rusak, ataupun lebih suka menjual dan menggadaikan daripada bekerja sama.
Mengapa kebiasaan memiliki itu masih tetap berlanjut? Padahal sudah banyak lahan yang terbengkalai lalu pada akhirnya tidak berarti. Sampai terjadi juga menimpa beberapa kepemilikan BUMN.
Ada satu hal yang mengherankan, rata-rata pemerintah mempunyai karakter ‘membeli murah dan menjual mahal’. Mungkin ini adalah salah satu strategi kekuasaan. Kalau hal ini ditujukan kepada negara lain sangatlah normal. Tetapi kalau ditujukan pada rakyatnya sendiri, ini boleh dibilang semi-kolonial.
Tanah misalnya, pada kasus tertentu bisa berujung pada pencaplokan. Baik itu dari pihak swasta maupun negeri. Terutama di kawasan yang dianggap tak bertuan, banyak lahan tanah potensial dibiarkan begitu saja. Namun ketika ada orang yang memanfaatkannya, tiba-tiba muncul larangan.
Yang lebih berbahaya adalah ketika aturannya itu ditunggangi oleh kepentingan investor dan kendali asing. Kenyataannya bahwa dewasa ini sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia dieksploitasi secara tidak adil untuk kepentingan negara-negara maju.
Bila kita hitung dari Sabang sampai Merauke, mungkin ada ribuan lahan yang belum tergarap dengan maksimal. Sebagai penyandang negara terluas ke-16 di dunia, NKRI menguasai sekitar 17.504 pulau dengan luas total sekitar 1.919.440 km2. Itu baru sebatas permukaan bumi, belum kandungan di dalamnya serta para penghuninya sebagai modal utama pengelolaan.
Menghayati Momen Penting
Enam puluh tahun silam, tepatnya pada 18 – 24 April 1955 di kota Bandung, dunia dikejutkan oleh sebuah peristiwa besar: Konferensi Asia Afrika. Dari 29 negara peserta yang hadir, sebagian besar adalah negara-negara berkembang yang baru saja melepaskan diri dari penjajahan.
Ini adalah suatu bukti bahwa negara-negara Asia-Afrika menjalin hubungan intim berdasarkan ideologi, menggalang solidaritas dan persekutuan strategis antar negara-negara Asia-Afrika guna memecahkan persoalan nasional maupun internasional.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang tersusun dalam ‘Dasa Sila Bandung’:
- Menghormati hak dasar manusia seperti tercantum dalam Piagam PBB.
- Menghormati kedaulatan dan integritas semua bangsa.
- Menghormati dan menghargai perbedaan ras serta mengakui persamaan semua ras dan bangsa di dunia.
- Tidak campur tangan dan intervensi persoalan dalam negeri negara lain.
- Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri baik sendiri maupun kolektif sesuai Piagam PBB.
- Tidak menggunakan peraturan dari pertahanan kolektif dalam bertindak untuk kepentingan suatu negara.
- Tidak mengancam dan melakukan tindak kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
- Mengatasi dan menyelesaikan segala bentuk perselisihan internasional melalui jalan damai dengan persetujuan PBB.
- Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
- Menghormati hukum dan juga kewajiban internasional.
Semangat Dasa Sila Bandung ini menjadi landasan ideologis bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Perang Puputan Margarana yang heroik pada 20 November 1946, di bawah perwira TRI Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, menjadi salah satu saksi atas kegigihan putra-putra bangsa. Walaupun Pasukan Ciung Wanara tersebut harus rela gugur di medan laga. Namun mereka tidak memerlukan otot kekar, tatto, kacamata dan baju hitam untuk menghalau ambisi dan arogansi Barat yang tidak puas atas kemerdekaan Indonesia.
Adakah kita di tengah zaman hedonis ini masih bisa mengambil pelajaran dari bulir-bulir masa lalu? Sebagai penyelenggara Konferensi Asia Afrika, mestinya bangsa Indonesia merasa malu jika melanggar kesepakatan tersebut, apalagi sampai putus hubungan persahabatan antar negara.
Sekiranya kita bisa mencamkan dengan baik bahwa kebebasan global dalam perdagangan dan industri masal hanya mengalihkan perhatian saja, sebagai upaya untuk menghancurkan peradaban bangsa. Jika tidak, kita berani mengatakan bahwa kemerdekaan yang telah diraih sedang diperebutkan kembali, dan kita sedang dijajah kembali secara tidak langsung melalui tangan-tangan bangsa sendiri.
Ingatlah, dulu bangsa Indonesia pernah benar-benar tertindas di tengah perpecahan suku dan agama! Dan janganlah kenyamanan hidup anda sekarang ini dijadikan alasan untuk berkata “tiada lagi yang harus diperjuangkan”. Karena para penjilat dan pengkhianat bangsa siap menghisap dan akan selalu berupaya menguasai bumi pertiwi. [b]