Oleh I Nyoman Winata
Topik Senin, 21 April 2008, Talk show “Ngobrol Bareng Mbah Mangun” yang saya asuh bicara tentang masalah disiplin dan karakter yang suka nggampangke. Mbah Mangun bicara bahwa soal disiplin itu sangatlah penting. Jika satu bangsa mau maju dan sejahtera, maka disiplin adalah modal dasar yang harus dimiliki. Seorang yang disiplin akan lebih mengharagai segala sesuatu dengan proporsinya. Bayangkan jika sebuah bangsa manusia-manusia nya adalah orang-orang yang disiplin, dipastikan banyak kemajuan yang bisa diraih.
Kaitannya dengan karakter manusia Indonesia yang suka nggampangke, maka ketiadaan disiplin bermula dari hal ini. Karakter yang suka anggap enteng masalah, menjadikan disiplin sangat sulit ditemui pada sosok manusia Indonesia. Lantas apakah ini semua merupakan karakter asli bangsa Indonesia? Mbah Mangun tidak bisa memberi jawaban pasti. “Saya tidak berani memastikan,” katanya. Terlebih lagi pertanyaan ini dikaitkan dengan latar belakang nenek moyang nusantara yang pernah mengalami masa keemasannya ketika imperium Majapahit berada pada masa puncaknya. Mbah Mangun mengajukan prediksi bahwa karakter bangsa Indonesia sekarang ini adalah akibat dari penjajahan yang berabad-abad oleh bangsa Asing.
Misalnya, kata Mbah Mangun, karakter Priyayi orang jawa. Dulu para priyayi memiliki sikap satrio utomo. Karakter kaum bangsawan/pemimpin memang benar-benar digembleng untuk menjadi sosok yang tangguh. Tetapi Belanda kemudian meninabobokan para priyayi sehingga karakter mereka menjadi lemah. Sayangnya karakter ini kemudian terus melekat dan seolah-olah menjadi bagian utama dari golongan bangsawan/pemimpin. Celakanya para pemimpin di zaman kemerdekaan, menganggap karakter priyayi yang negatif adalah bagian integral dari mentalitas mereka. Jadi kalau sekarang kita melihat karakter pemimpin negeri ini yang seolah-olah bersikap dan bertindak seperti raja, maka itu adalah terjemahan yang salah atas karakter priyayi.
Jika dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju, katakanlah eropa atau amerika, maka sikap disiplin dan lebih tangguh nya tidak lepas dari sejarah panjang yang dialami bangsa tersebut. Mereka adalah orang-orang sekuler, tetapi soal disiplin mungkin jauh lebih baik dari orang Indonesia. “Dulu mereka juga orang-orang yang fundamentalis,” tegas Mbah Mangun. Mereka bahkan berperang atas nama agama, perangnya sampai berabad-abad. Tetap kemudian mereka belajar, bahwa agama tidaklah segala-galanya. Agama dipandang sebagai sesuatu yang harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata sosial kemanusiaan. Disiplin berTuhan nya kemudian diwujudkan dengan disiplin bekerja. Agama dijadikan tuntunan untuk menjadikan diri mereka sosok yang tangguh dan pejuang keras mengejar kesejahteraan hidup.
Sementara di Indonesia, agama berhenti hanya sebatas ritual. Dalam urusan ini orang Indonesia tidak lagi berkarakter suka nggampangke. Mereka sangat serius, saking seriusnya, lalu kekerasan atas nama agamapun sering muncul. Orang Indonesia sembahyangnya luar biasa khusyuk dan tepat waktu. Ritual besarpun tak tanggung-tanggung digelar secara rutin. Dana ratusan juta rupiah dikeluarkan agar ritualnya bisa dianggap utama. Ya, semuanya behenti sampai disitu. Tidak ada terjemahan lebih lanjut, bahwa kerelaan mereka berkorban waktu dan materi agar dapat beribadat tepat waktu dan utama tidak diwujudkan juga dengan kesediaan mengerjaan pekerjaan tepat waktu dan menolong sesama. Displin beribadat tidak menurun pada disiplin kehidupan sehari-hari. Inilah yang juga menjadi akar kelemahan orang Indonesia.
Orang Indonesia itu, tegas Mbah Mangun, hanya khusyuk ber ritual tetapi tidak khusyuk dalam bekerja. Sampai demikian khusyuknya ber ritual, kebenaran pun kemudian merasa dikuasai penuh. Kebenaran hanyalah milik kelompok mereka, yang lain dianggap pantas ditiadakan. Padahal urusan ke Tuhan-nan adalah urusan keyakinan. Mbah Mangun tidak sepakat kalau hal ini diperdebatkan. “Kalaupun mereka dianggap menyimpang dari ajaran Tuhan, biarlah Tuhan yang menghukumnya,” kata Mbah Mangun. Tetapi yang terjadi sekarang di Indonesia, orang sudah ber Tuhan, bertindak tidak melanggar hukum tetapi dianggap sesat dan layak mengalami represi. “kalau mereka mencuri atau korupsi, ya memang harus dihukum,” kata Mbah Mangun. Tetapi apa pernah mereka yang menyebut diri kelompok pembela agama di Indonesia yang nampak begitu garang beteriak atas nama Tuhan menggruduk rumah koruptor? Justru para koruptor di negeri ini disanjung-sanjung dan dijadikan pemimpin.
Agama itu adalah Jalan seseorang untuk mencapai Tuhan nya. Jadi, ia tidak bisa didebat, digugat apalagi dianggap sesat. Orang Indonesia masih mengaburkan antara Agama dan politik. Bahkan mungkin orang Indonesia banyak yang menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Padahal agama seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang menjiwai dan tuntunan. Agama adalah untuk kemanusiaan. Agama bukan untuk dirinya sendiri. Disiplin ber Tuhan akan jauh lebih indah jika bisa diturunkan pada prilaku disiplin menjalani kehidupan nyata.
Priyayi duwe tindak tanduk kang utomo, nora emba cinde emba siladan.. ananging priyayi ing nuswantoro ing jaman kolobendhu iki kadya tai kang diiduni
Yup, memang sepertinya susah banget untuk disiplin, meski dulu (saat aku masih kecil) pernah ada GDN atau Gerakan Disiplin Nasional tapi sepertinya gak ada khasiatnya.
Mungkin suatu saat pemerintah perlu juga mengeluarkan semacam kartu disiplin, dimana siapapun yang telah melanggar kedisiplinan akan ditilang, dan mendapat sangsi, he…Terutama untuk para anggota DPR dan kebanyakan PNS yang suka mangkir.
agama memang bukan untuk diperdebatkan, tapi kenapa terkadang ada pertanyaan dalam naluri kita yang terus mencari hakekat kebenaran..??
Untungnya aku orang yg selalu disiplin dalam berbagai segi kehidupan. Ku bangga bisa bertahan ditengah tsunami krisis kedisplinan, heheh