“Ada begitu banyak inovasi makanan seiring meningkatnya penggunaan media sosial pun media pemasaran. Sehingga masyarakat punya tren impulsif. Apa yang ada di media sosial secara impulsif kita beli dan fenomena seperti ini tidak akan berhenti,” tegas dr. Rini Siallagan, Sp.GK.
Sore itu saya menemui Rini di salah satu tempat praktiknya, rumah sakit di Jalan Pulau Serangan, Denpasar. Di sofa ruang tunggu lantai empat eksekutif rumah sakit tersebut, kami duduk dan berbincang seputar tren kuliner yang begitu digandrungi masyarakat.
Contoh terkini dan sepertinya sudah diketahui banyak orang adalah menjamurnya outlet penjual es krim brand China di berbagai wilayah Indonesia. Outlet ini menyajikan berbagai pilihan es krim dan minuman dengan rasa manis bin terjangkau. Tak butuh waktu lama bagi perusahaan ini untuk merengkuh perhatian pasar. Saat awal kemunculannya di Bali, orang-orang bahkan rela antre untuk menikmatinya. Kini, antrean mengular itu tak tampak lagi sebab outletnya dapat dijumpai di banyak lokasi.
Tren semacam ini memang bukan yang pertama. Jika tarik ingatan ke belakang, hari-hari kita sempat diwarnai oleh maraknya es kepal, donat bomboloni, dan kedai-kedai kopi susu yang hingga kini pun masih diminati. Seperti yang dinyatakan dokter spesialis gizi klinik ini, fenomena serupa akan terus terjadi dan berulang. “Apalagi makanan instan. Karena pertama, biasanya makanan instan itu rasanya kuat. Kedua, harganya terjangkau,” imbuh Rini.
Rini yang kala itu mengenakan dress berwarna abu-abu menerangkan lebih lanjut bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua sinyal, haus dan lapar. Kalau kita punya sinyal lapar, harusnya makan jadi solusi. Begitu pula jika kita haus, minum adalah jalan keluarnya. Namun, manusia modern seperti sekarang telah terpapar oleh beberapa material seperti kafein, gula, dan material lainnya yang dapat menimbulkan adiksi atau ketergantungan.
Oleh karenanya, WHO membatasi konsumsi gula hanya enam sendok makan per hari. Ini pun hanya berlaku bagi orang sehat. Akan berbeda kemudian jika seseorang sudah punya penyakit diabetes dan penyakit kronis menahun, serta usia-usia lanjut. Sayangnya, sebagian besar masyarakat modern, kurang mau mendalami informasi tentang hal-hal mendasar tersebut. Selain itu, kita sering kali keliru menganggap gula hanya terbatas pada gula pasir. Padahal gula yang dimaksud adalah glukosa, yang bahkan dalam semangkok bayam pun kandungan itu ada.
“Kalau cappuccino, itu hanya sekitar 100-150 kalori, tergantung seberapa banyak susu yang dipakai. Coba kamu bayangkan dengan konsumsi minuman instan tinggi gula seperti boba dan sejenisnya, itu bisa sampai 450 kkal, setara dengan makan siang aku,” papar Rini.
Hari ini mungkin kita masih bisa menikmati dan menoleransi kandungan gula dari makanan atau minuman yang kita konsumsi. Namun, apa jadinya jika pola konsumsi kita terhadap gula ini berlebih? Tentu bukan tanpa efek samping. Berbagai potensi gangguan kesehatan mengintai di baliknya. Misal, kelebihan berat badan hingga berpotensi pula meningkatkan risiko anak-anak muda terkena penyakit menahun (gejalanya baru muncul setelah bertahun-tahun). Penyakit ini mungkin dulunya kita anggap hanya terjadi pada orang tua. Namun, realitanya tidak demikian.
Menurut Rini, hal seperti ini harus dilihat secara holistik. Tidak bisa hanya dari satu unsur saja. Melihat gula, tidak cukup dari kalori saja. Masih ada unsur lainnya, seperti karbohidrat. Jika ditelisik lebih lanjut, karbohidrat pun dibagi menjadi dua, karbohidrat kompleks dan sederhana. Karbohidrat kompleks butuh waktu lebih lama untuk dicerna, sehingga kandungan gulanya cenderung lebih rendah. Karbohidrat jenis ini banyak terdapat pada makanan tinggi serat seperti buah dan sayur. Sedangkan karbohidrat sederhana, adalah kebalikannya. Tak butuh waktu lama untuk mencernanya. Ketika masuk ke tubuh, kandungan gulanya akan cepat diterima. Misalnya, makanan dan minuman instan.
“Orang yang sering makan karbohidrat sederhana atau simple, pankreasnya akan berusaha berkompensasi, beradaptasi terhadap tingginya asupan gula. Lama-lama respon pankreas akan rusak, yang itulah disebut diabetes. Pankreas kelelahan merespon asupan gula yang sering tinggi,” tutur Rini sambil mengunyah kacang atom yang ia ambil dari genggamannya.
Ada pun nutrisi ideal yang diperlukan manusia, rata-rata 50-60% karbohidrat kompleks, 20% protein, 20-30% lemak, sisanya vitamin, serat, dan mineral. Secara spesifik, kebutuhan masing-masing orang akan berbeda tergantung usia, aktivitas, massa otot, dan tinggi badan juga.
Setidaknya ada tiga hal yang direkomendasikan Rini untuk mengimbangi gelombang tren semacam ini. Pertama, dengan meningkatkan kesadaran kolektif akan kesehatan. Jika tidak, itu bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan 10-20 tahun lagi, orang-orang yang seharusnya masih ada di usia produktif, justru menjadi sebaliknya. “Makanan instan, apa pun bentuknya, berapa pun harganya, efek sampingnya akan lebih mahal,” tegas Rini.
Ia juga menganjurkan agar kita lebih teliti ketika berbelanja. Pada kemasan, biasanya tertera informasi nilai gizi masing-masing produk. Nah, sempatkanlah untuk membacanya, agar kita bisa menakar seberapa banyak material gula dan zat lain yang akan kita konsumsi. Lalu, yang tak kalah penting, kita perlu mengenali kebutuhan tubuh. Sebab masing-masing orang memiliki kecenderungan yang berbeda. Sehingga penting untuk melakukan komunikasi dengan tubuh dan mengenali respon-respon tubuh ketika diberikan asupan tertentu. Bagi Rini, sehat itu hidup yang seimbang, baik jasmani dan rohani. Itu tidak hanya diwujudkan dengan makan sehat, tapi juga aktif beraktivitas, tidur, dan minum yang cukup.
Senjang
Anjuran untuk mengonsumsi makanan atau minuman yang menyehatkan, saya pikir sudah diketahui semua orang. Namun, memang belum semua berkesempatan untuk menerapkannya. Di sini kita perlu pertanyakan ulang, apakah absennya konsumsi makanan bergizi di masyarakat ini murni karena mereka tidak memiliki kesadaran akan kesehatan atau ada situasi-situasi tertentu yang menyebabkan itu terjadi?
Rini memandang mungkin juga ada pengaruh dari sistem. Harusnya negara bertanggung jawab dengan membangun sistem kesehatan yang baik. Penting bagi pemerintah untuk menjadikan isu kesehatan ini sebagai isu yang nyata. Bukan hanya dipandang ketika sudah tertimpa sakit. Untuk merealisasikan ini, tentu juga harus didukung dengan aspek lain, misal, sistem pendidikan yang bagus, “Masyarakat kita belum punya kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal yang menurutku lebih mendasar, hak untuk sehat,” ungkapnya.
Di Indonesia, makanan organik dan bergizi hanya dapat dijangkau orang kaya karena harganya mahal. Ini juga berhubungan dengan minimnya lahan untuk mengembangkan model pertanian tersebut. Pembangunan yang digalakkan pemerintah hanya berorientasi pada industri dan pariwisata. Lahan-lahan habis untuk membangun pabrik, villa, dan hotel. Negara tidak benar-benar hadir di ruang-ruang yang mendasar bagi warganya.
Sementara, masih banyak masyarakat kita yang hidup dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Sehingga makanan yang dapat mereka jangkau adalah makanan instan dan murah yang notabene tidak menjamin kesehatan. “Di situ sebetulnya ada ketimpangan kelas. Seharusnya negara hadir untuk merombak masalah pangan ini,” tegas Rini.
Menurut Rini, sebaiknya pemerintah mengambil peran dengan membuat kebijakan terkait pencegahan, bukan pengobatan. “Saat ini, kita sedang ditimpa krisis lahan, lalu krisis iklim. Menurutku, kedua krisis ini berpotensi menimbulkan bencana yaitu krisis pangan. Akan ada era di mana harga makanan sangat mahal dan makanan sehat itu jadi sesuatu yang langka,” tambahnya.
Padahal sebetulnya di Indonesia banyak sekali bahan makanan kaya sumber gizi. Namun sekarang kian terkikis karena seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, canggihnya pemasaran produk-produk instan. Ditimpali pula dengan orientasi pembangunan yang hanya mengatasnamakan industri dan pariwisata. Kecintaan dan pemahaman tentang nilai-nilai gizi makanan asli negeri sendiri sangat penting untuk dipupuk. Misalnya pengetahuan tentang kelor yang memiliki antioksidan tinggi. Ada juga kayu manis yang sejak dulu dijadikan bahan baku membuat jamu. Serta temulawak, yang terbukti dapat mengurangi peradangan dalam tubuh. Masih ada begitu banyak sumber gizi dari negeri sendiri yang murah, bisa ditanam sendiri, bahkan menjadi solusi. Asalkan ada lahan dan komitmen dari pemerintah untuk menggalakkan sistem yang lebih baik dan berpihak pada kebutuhan mendasar warganya.