Kenapa orang Bali di perantauan jadi sasaran?
Dua kerusuhan yang menimpa orang Bali perantauan (migran) dalam kurun waktu empat bulan tentu mengundang perhatian. Ada apa dengan warga perantauan asal Bali?
Kejadian pertama pada akhir Oktober 2012 di Lampung Selatan. Empat belas orang meninggal akibat kerusuhan itu. Rumah-rumah penduduk Bali yang bermukim di Desa Balinuraga dibakar, termasuk rumah ibadah. Tidak terhitung kerugian material akibat kerusuhan yang kabarnya disulut persoalan sangat sepele ini.
Hingga kini, tidak pernah ada kejelasan apa yang sesungguhnya menjadi penyebab kerusuhan. Kita mungkin harus menunggu ada sebuah penelitian mendalam dan serius mengapa terjadi konflik di daerah ini. Yang jelas, kerusuhan ini diselesaikan dengan perdamaian. Namun, perdamaian ini terasa sumir. Pihak penyerang maupun korban sepakat untuk tidak saling menuntut. Selain itu mereka sepakat untuk ‘menjaga keamanan, ketertiban, kerukunan, keharmonisan, kebersamaan, dan perdamaian antarsuku.’
Tentu kemarahan dan kepedihan tidak akan hilang begitu saja. Karenanya tidak ada jaminan konflik serupa tidak akan berulang.
Kerusuhan sama berulang. Kali ini meledak di Sumbawa Besar antara penduduk lokal etnis Semawa dengan penduduk perantauan asal Bali. Kabarnya, toko Dinasti, sebuah toko lumayan besar untuk ukuran daerah setempat, dijarah. Hotel Tambora yang berdampingan dengan Toko Dinasti juga dibakar. Beberapa suratkabar memberitakan rumah-rumah milik orang Bali juga dibakar, toko-toko dijarah, dan rumah ibadah dirusak. Tidak ada korban jiwa dalam kerusuhan ini.
Penyebabnya pun sepele. Ada dua orang menjalin cinta. Yang pria adalah polisi dari Bali. Yang perempuan mahasiswi penduduk lokal. Kebetulan mereka berboncengan dan kecelakaan. Keluarga perempuan curiga bahwa telah terjadi pemerkosaan sebelumnya. Masyarakat pun panas. Mereka mengadili dengan caranya sendiri.
Kerusuhan kali ini membangkitan ingatan akan kerusuhan di tahun 1980. Penyebab kerusuhan ketika itu adalah perkelahian antara pemuda dari etnik Semawa dengan pemuda Bali. Ada pula yang menyebutkan kerusuhan bermula dari banyaknya kawin lari antara pemuda Bali dengan gadis etnik Semara. Ada juga berita bahwa pemicunya adalah ditemukannya bungkusan berisi daging babi di Mesjid. Tentu, mudah untuk mengaitkan daging babi dengan orang Bali.
Tetapi penyelidikan mendalam yang dilakukan kemudian menyatakan bahwa kerusuhan itu karena politik lokal — persaingan untuk menjadi bupati.
Dua kerusuhan yang menimpa orang Bali perantauan dalam kurun waktu empat bulan tentu menimbulkan pertanyaan. Ada apa dengan orang Bali perantauan? Mengapa orang Bali yang menjadi sasaran? Bukankah orang Bali dikenal sebagai peratau yang tidak agresif, yang low-profile? Kenapa mereka disasar?
Kalau pertanyaan ini diajukan kepada saya, terus terang, jawaban saya adalah, “tidak tahu!” Akan tetapi pengalaman saya belajar dan meneliti kekerasan komunal dan kekerasan atas nama agama selama ini mungkin bisa dipakai untuk (paling tidak) membikin dugaan tentang apa yang terjadi.
Pangkalnya
Mari kita mulai dengan diktum: semua kekerasan komunal itu akarnya adalah politik. Itu hal pertama dan terpenting yang saya pelajari. Kekerasan komunal (termasuk di dalamnya kekerasan atas nama agama) sangat terkait dengan politik baik lokal maupun nasional. Umumnya ini adalah hasil pertarungan kekuasaan di kalangan para elit politik.
Di atas, kita sudah melihat bahwa kerusuhan yang menimpa masyarakat Bali perantauan di Sumbawa tahun 1980an adalah akibat dari pertarungan kekuasaan untuk menjadi bupati. Kerusuhan itu terjadi bahkan pada saat puncak kekuasaan Orde Baru di mana sentralisasi begitu ketat. Saat itu, unjuk rasa dan segala macam protes juga dilarang.
Tidak terlalu sulit untuk mengambil kesimpulan bahwa politik di Lampung Selatan saat ini juga penuh dengan masalah. Daerah ini mengadakan Pilkada pada Juni 2010 yang dimenangkan pemuda Rycko Menoza. Ayah sang bupati baru ini adalah Komisaris Jendral Pol. (Pur.) Sjachroedin ZP. Dan orang ini pada saat yang sama menjabat sebagai Gubernur Lampung.
Sementara Sjachroedin ZP sendiri adalah anak dari mantan orang kuat Lampung pada zaman Orde Baru yakni Zainal Abidin Pagaralam yang adalah Gubernur Lampung periode 1966-1973. Jadi Rycko sesungguhnya adalah cucu dari Zainal Abidin Pagaralam. Saudara Rycko lainnya, Handitya Narapati SZP, saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Kab. Pringsewu, juga di Provinsi Lampung. Dinasti Zainal Abidin Pagaralam menguasai perpolitikan di Lampung selama beberapa tahun terakhir ini.
Sebagai bupati Rycko Menoza dikenal kontroversial. Salah satu kebijakan bupati yang juga pernah menjadi aktivis Pemuda Pancasila dan KNPI ini adalah membangun patung kakeknya. Pembangunan patung senilai Rp 1,5 milyar ini memicu kemarahan massa-rakyat karena dana pembangunannya diambil dari APBD. Akhirnya, setelah tiga bulan berdiri, pada 30 April 2012, patung itu dirobohkan massa.
Patung itu diruntuhkan persis seperti penduduk Baghdad meruntuhkan patung Saddam Hussein setelah kota itu jatuh ke tangan pasukan pendudukan Amerika. Warga mengikatkan tali baja di leher patung dan menariknya dengan tali baja.
Tidak itu saja. Lampung Selatan masih dilanda kerusuhan pada bulan-bulan selanjutnya. Pada 2 Juli 2012, massa kembali mendemo Bupati yang dinilai melontarkan ucapan-ucapan menghina tokoh-tokoh adat. Massa melakukan demonstrasi di lapangan Raden Intan Kalianda. Massa diorganisir Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) cabang Lampung Selatan dan Forum Lampung Selatan (Forlas) Bersatu bersama lima tokoh adat dari lima marga di Lampung Selatan.
Mereka berhasil memaksa Bupati untuk meminta maaf kepada tokoh-tokoh adat. Namun setelah itu, Bupati mendapat caci-maki, lemparan batu dan botol. Massa kemudian memblokade jalur jalan Trans-Sumatra dan membakar gedung-gedung pemerintahan.
Situasi sosial dan politik yang panas inilah yang menjadi latar belakang konflik sosial pada bulan November yang melibatkan penduduk lokal dan penduduk Bali perantauan.
Kita belum tahu apa yang melatari kerusuhan terakhir di Sumbawa ini. Akan tetapi kita tahu bahwa politik di Sumbawa juga cukup panas. Banyak isu panas silih berganti bergejolak di pulau ini. Misalnya isu penolakan tambang PT Newmont, kasus-kasus tanah, hingga ke demo-demo mahasiswa. Pada 24 Desember 2011, dalam demonstrasi dan blokade terhadap pelabuhan Sape di Kabupaten Bima, dua orang meninggal dan 20 lainnya luka-luka.
Ada pula rencana untuk menuntut agar pulau Sumbawa menjadi provinsi tersendiri. Mereka ingin lepas dari NTB yang diangap didominasi orang-orang Sasak. Gejolak demi gejolak seperti ini selalu menjadi prolog (pendahuluan) kekerasan komunal. Ibaratnya letusan gunung berapi selalu didahului oleh gempa-gempa pendahuluan.
Namun, sesungguhnya sulit mencari hubungan langsung antara gejolak politik lokal dengan kerusuhan sosial. Seringkali analisis model seperti ini jatuh ke dalam teori konspirasi. Kita hanya bisa melihat tanda-tandanya. Kita juga bisa tahu dengan mudah siapa kira-kira yang diuntungkan dan dirugikan oleh kerusuhan-kerusuhan ini.
Sasaran
Setiap kekerasan komunal pasti memiliki korban. Korban paling besar selalu diderita oleh kelompok sasaran atau target kerusuhan. Namun, masalahnya: masyarakat itu terdiri dari berbagai macam kelompok tetapi hanya kelompok tertentu yang menjadi sasaran. Pertanyaannya kemudian: mengapa?
Untuk menjawabnya, mari kita tengok konstelasi demografis dan bagaimana orang Bali perantauan dalam komposisi demografis di kedua daerah di mana kerusuhan ini meletus.
Menurut Sensus Penduduk tahun 2000 (SP 2000), satu-satunya sensus yang menyajikan data etnik, komunitas Bali perantauan di Lampung jumlahnya sangat kecil. Dalam sensus terbuka, di mana setiap orang mengidentifikasikan etniknya, mereka yang mengaku etnik Bali berjumlah hanya 79.612 orang (atau 0,1 persen) dari 6,646,490 jiwa penduduk Provinsi Lampung.
Saya kira, sepuluh tahun kemudian, jumlah ini tidak berubah. Sekalipun jumlah penduduk bertambah banyak, komposisinya biasanya relatif ajek. Penduduk terbesar lampung adalah etnik Jawa (61 persen dari total penduduk) dan kedua adalah Sunda (8,7 persen). Sementara penduduk ‘asli’ yakni orang Paminggir dan Pepadun berjumlah masing-masing 6,4 persen dan 4,2 persen dari seluruh populasi.
Di Kabupaten Lampung Selatan, konstelasinya tidak jauh berbeda. Menurut SP 2000, jumlah etnik Bali di sana hanya 11.937 jiwa (0,1 persen) dari jumlah total penduduk kabupaten yang 1.132.995 orang itu. Penduduk terbesar di kabupaten itu adalah orang Jawa (59,2 persen), disusul Sunda (13 persen), dan ketiga adalah etnik Peminggir, penduduk asli yang berjumlah 10,3 persen dari total penduduk.
Bagaimana keadaan di Kabupaten Sumbawa? Konstelasinya tidak jauh berbeda. Menurut SP 2000, jumlah etnik Bali disana hanya berjumlah 11.971 orang (2,7 persen) dari seluruh penduduk kabupaten yang saat itu berjumlah 444.116 jiwa. Penduduk terbesar di kabupaten itu adalah etnik Semawa yang jumlahnya 67 persen dari total penduduk, kedua adalah orang Sasak (13,8 persen), disusul orang Bugis (3,2 persen), dan orang Jawa (3,0 persen).
Setiap kekerasan komunal selalu mengemukakan isu ‘putera daerah (sons of soil) melawan pendatang.’ Namun, dalam banyak hal sulit untuk menentukan siapa putera daerah dan siapa pendatang. Banyak orang dikategorikan pendatang sesungguhnya lahir di dearah itu, tidak bisa berbicara bahasa etnik aslinya, dan mungkin mengikuti kebudayaan setempat. Namun, mereka tetap berada dalam kategori pendatang.
Di Lampung Selatan dan di Sumbawa, isu pendatang itu juga mengemuka. Namun lagi-lagi persoalannya adalah: mengapa hanya pendatang tertentu? Mengapa bukan pendatang yang lain? Mengapa pendatang Bali dan bukan Jawa, Sunda, Bugis atau yang lain? Mengapa kerusuhan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah antara tahun 1997-2001 yang menjadi sasaran adalah orang Madura? Mengapa orang etnik Tionghoa banyak menjadi sasaran kerusuhan dan kekerasan selama masa Orde Baru dan tidak lagi setelah masa reformasi?
Lagi-lagi di sini mekanisme politik bekerja. Sasaran kerusuhan selalu ditentukan dengan kalkulasi cermat. Umumnya yang menjadi sasaran adalah etnik minoritas, yang terlebih dahulu sudah memiliki bingkai prasangka (prejudices). Etnik minoritas ini mungkin memiliki keunggulan ekonomi dibandingkan rata-rata penduduk. Peranan mereka pada umumnya sebagai mata rantai terkecil dari pasar jual beli: sebagai pengecer, sebagai agen transportasi, sebagai pengumpul produksi yang akan dijual kepada agen, dan sebagainya. Mereka menjadi penghubung terendah dalam struktur ekonomi. Ini yang menyebabkan mereka berhubungan langsung dengan rakyat setempat tetapi tidak pernah menjadi bagian daripadanya.
Dari sisi golongan minoritas ekonomi ini juga ada kepentingan untuk memelihara jaringan pasar hanya di dalam lingkup kelompok etnik mereka sendiri. Ini karena persoalan kepercayaan (trust) yang pada akhirnya juga menyangkut akses terhadap kredit dan modal (capital). Orang Bali yang menjadi pedagang hasil bumi di Lampung, misalnya, berhubungan satu sama lain dengan orang Bali karena mereka bisa saling meminjamkan duit dan ada kepercayaan bahwa pinjaman ini akan dikembalikan.
Ini adalah hal yang sangat logis. Di mana-mana ekonomi pasar bekerja atas dasar kepercayaan (trust). Bank memberikan pinjaman karena percaya bahwa nasabahnya akan mampu mengembalikan. Hanya saja, jika bank melakukannya dengan ‘analisis risiko,’ dalam kegiatan ekonomi yang lebih sederhana ini dilakukan dengan hubungan kekeluargaan dan kelompok etniknya.
Selain itu, golongan yang menjadi sasaran selalu golongan paling rentan dalam konteks politik lokal. Etnik Madura digambarkan sebagai etnik yang agresif, yang mau melakukan apa saja untuk bisa berhasil, dan gemar akan kekerasan. Banyak orang agresif dan melakukan apa saja serta gemar akan kekerasan tetapi tidak menjadi sasaran kerusuhan. Karena apa? Karena mereka bukan sasaran dan tidak pernah didefinisikan sebagai sasaran.
Di Lampung juga saya dengar ada prasangka-prasangka terhadap orang Bali perantuan. Orang Bali sukses menguasai jalur transportasi dan ekonomi hasil bumi. Mereka benar-benar menjadi mata rantai terendah dalam ekonomi pasar. Akibatnya, mereka pun bersentuhan dengan rakyat biasa yang menghasilkan produksi bahan mentah dan tergantung pada jasa mereka untuk mentransportasikannya ke pasar yang lebih besar.
Sementara, di sisi yang lain, orang Bali perantauan di Lampung tidak memiliki saluran untuk ikut berpartisipasi dalam politik lokal (sama seperti orang Madura di Kalimantan sebelum kerusuhan). Akses mereka ke dalam politik bisa jadi ditutup oleh elite lokal atau karena mereka sendiri tidak berminat.
Ketiadaan akses politik ini mempermudah mereka untuk menjadi sasaran bilamana ada kefrustasian di tingkat bawah.
Dalam hal ini, orang Bali perantauan mengalami nasib persis dengan etnik Tionghoa pada masa Orde Baru. Etnik Tionghoa kerap menjadi sasaran kerusuhan sosial. Namun, kerusuhan anti-Tionghoa itu menjadi sangat jarang pada masa reformasi. Kini kita melihat kalangan etnik Tionghoa sangat aktif terlibat dalam politik. Ini yang membikin golongan Tionghoa sulit untuk menjadi sasaran dan kambing hitam dari kesulitan sosial. Masyarakat menyalahkan semua politisi, partai politik, atau bahkan negara atas kesulitan ekonomi atau keresahan sosial.
Kini kita lebih sering mendengar ‘negara atau pemerintah yang gagal’ ketimbang lemparan kesalahan pada etnik Tionghoa.
Dalam kerusuhan di Sumbawa tahun 1980, ada analisis bahwa kerusuhan akibat kecemburuan sosial dari etnik Semawa karena orang Bali menduduki jabatan-jabatan penting di birokrasi pemerintahan dan BUMN. Orang-orang Bali ini di-drop dari pemerintah pusat. Menurut saya, analisis macam ini tidak tepat. Karena mungkin banyak juga orang-orang dari suku lain menjadi dominan dalam pemerintahan tetapi tidak ada masalah. Misalnya, mengapa jika jabatan itu dipegang oleh orang Jawa, tidak akan pernah ada masalah?
Analisis kecemburuan sama sekali mengabaikan faktor-faktor politik yang kuat bekerja dalam setiap kerusuhan. Seperti saya sebutkan di atas, target atau sasaran kerusuhan dirumuskan dengan kalkulasi cermat. Umumnya ditujukan kepada etnik minoritas yang tidak memiliki perlindungan politik.
Akibatnya, dalam banyak kasus kita melihat bahwa korban kerusuhan masih selalu menanggung beban paling berat. Mereka tidak pernah mendapatkan keadilan atas jiwa yang hilang, tidak ada ganti rugi apapun atas barang milik mereka yang rusak atau dibakar, mereka harus menandatangani ‘perdamaian’ di mana mereka seringkali tidak diikutsertakan dalam perumusannya. Sistem hukum tidak mampu menjangkau para perusuh, yang menjarah, merusak, membakar, dan bahkan membunuh karena orang-orang ini terlindungi secara politik.
Sisi politik ini juga membikin kita paham mengapa aparat keamanan yang bersenjata lengkap sering kali berdiam diri dan membiarkan terjadinya kerusuhan. Aparat keamanan tidak kebal dari situasi sosial dan politik sekelilingnya. Polisi atau tentara tahu persis bahwa mereka berhadapan dengan sebuah kekuatan politik.
Partisipasi
Saya sudah menunjukkan bahwa kerusuhan sosial dan kekerasan komunal terjadi karena faktor politik. Dalam banyak hal elite-elite politik lokal baik yang berkuasa dan memerintah atau yang sedang mencari kekuasaan dan di luar pemerintahan turut terlibat. Pada akhirnya, kerusuhan dan kekerasan komunal hanya akan mengabdi kepentingan dari elite politik.
Ini terlihat tidak saja dalam berbagai kerusuhan dan kekerasan komunal di banyak negara tetapi juga di Indonesia. Mereka yang mampu menggerakkan massa-rakyat dengan segera menjadi ‘tokoh masyarakat’ yang ditakuti. Sistem politik demokrasi elektoral, seperti di India dan Indonesia, mengakui tokoh-tokoh masyarakat ini karena sangat berperanan dalam memobilisasi suara. Tapi dalam iklim otoriter pun sesungguhnya ‘tokoh masyarakat’ ini diperlukan. Para diktator dan penguasa-penguasa otoriter membutuhkan mereka untuk mengontrol massa-rakyat.
Kemudian muncul persoalan lain: Jika kerusuhan sosial atau kekerasan komunal menguntungkan para elite politik suatu kelompok komunal tertentu, mengapa massa-rakyat mau mengikuti mereka? Mengapa massa-rakyat kadang mau mengorbankan diri untuk ‘kepentingan kelompok’-nya padahal itu mungkin tidak menguntungkan dia?
Di sini para elit juga berperan untuk membingkai (framing) keberadaan massa-rakyat sebagai kelompok etnik. Ada beberapa cara yang mereka lakukan. Pertama adalah dengan memompa kebanggaan sebagai kelompok (pride factor). Kebanggaan sebagai sebuah kelompok etnik. Mungkin juga dilengkapi dengan kisah sejarah jaman keemaasan, kebanggaan terhadap bahasa dan sastra, kebanggaan terhadap warisan budaya, dan sebagainya. Setelah reformasi Indonesia, kebanggaan ini semakin mencolok karena kebangkitan kaum aristokrasi. Raja-raja dinobatkan, gelar-gelar kembali dipasang, upacara kerajaan dihidupkan kembali, dewan-dewan adat dibentuk. Bahkan, seperti di Bali, tiba-tiba ada Raja muncul sekalipun dia tidak memiliki rakyat dan wilayah. Hingga di sini, pemompaan kebanggaan kelompok sebenarnya adalah sesuatu yang normal dan sah-sah saja.
Cara kedua adalah dengan menyebarkan ketakutan dan melakukan demonisasi (penggambaran sebagai pihak yang jahat) kelompok etnik sasaran. Penyebaran ketakutan ini biasanya berlangsung secara sistematis seperti penyebaran isu-isu menyesatkan. Penyebaran ketakutan bertujuan untuk memperkuat kelompok ke dalam. Solidaritas di dalam kelompok pun terbangun dan siap dipergunakan untuk kekerasan.
Biasanya ketakutan ini dibarengi dengan pembentukan milisi-milisi, laskar-laskar, dan pasukan-pasukan yang akan membela kelompok etnis tersebut. Milisi atau laskar-laskar ini kadang tidak terbentuk dengan segera. Ia bisa dibentuk pada saat kerusuhan sebagai bagian mobilisasi ke dalam kelompok etnik.
Hal ketiga yang biasanya menjadi puncak dari meledaknya kekerasan komunal adalah penciptaan kondisi psikologis bahwa kelompok penyerang adalah korban (victimizing factor). Saya melihat ini sebagai faktor penting yang memungkinkan orang bertindak melebihi batas-batas kemanusiaan. Kondisi psikologis bahwa ‘kita adalah korban, kita selalu direndahkan, kita diremehkan, dan sebagainya’ membuat semua tindak kekerasan mendapatkan pembenaran (justification).
Perpaduan antara ketakutan bahwa kelompok lain akan menyerang dan perasaan sebagai korban akan menciptakan kekejaman yang luar biasa. Peristiwa tahun 1965 di Indonesia atau pembantaian etnik Tutsi oleh etnik Hutu di Rwanda pada tahun 1994 menunjukkan bekerjanya dua faktor ini. Juga kekerasan di Kalimantan tahun 1997-2001 di mana orang menunjukkan memakan organ tubuh lawannya, lahir dari pengkondisian secara psikologis bahwa mereka adalah korban dan tindakan brutal itu bisa dijustifikasi. Faktor-faktor ini tampaknya juga terlihat dalam kerusuhan di Lampung Selatan dan di Sumbawa.
Epilog
Tidak banyak disadari bahwa pada akhirnya, kerusuhan sosial atau kekerasan komunal justru menciptakan ikatan ke dalam (kohesi internal) yang jauh lebih kuat pada satu kelompok etnis dibandingkan dengan sebelum kerusuhan. Inilah bagian yang paling disukai oleh para elite politik dari sebuah kelompok etnis. Ikatan ke dalam yang lebih kuat berarti memberikan kekuasaan lebih besar kepada elite tersebut untuk melakukan kontrol ke dalam kelompok etniknya.
Pada akhirnya ini akan memberikan bargaining power dan akses untuk kekuasaan lebih besar. Dengan kata lain, dalam banyak kasus, kekerasan komunal memberikan insentif kepada para politisi untuk mengulanginya. Di India, seperti kata Paul Brass seorang pengamat kekerasan komunal terkemuka, kekerasan ini dilakukan berulang-kali setiap menjelang Pemilu. Brass pun menyebut hal ini sebagai ‘institutionalized riots system’ (sistem kerusuhan yang terlembaga). Dalam sistem ini ada orang-orang yang menjadi ‘riots specialists’ (ahli membikin kerusuhan) yang dipekerjakan oleh para politisi.
Di atas telah kita lihat bahwa kerusuhan sosial atau kekerasan komunal diciptakan. Kita juga telah melihat peranan elite, peranan massa-rakyat dan bagaimana kekerasan sosial berfungsi untuk menciptakan kohesi internal. Asumsi saya adalah kerusuhan sosial tidak pernah dilakukan secara spontan. Kekerasan dilakukan dengan kalkulasi matang, mengukur kekuatan, menentukan target, dan menentukan kapan saat untuk meledakkannya.
Orang Bali perantauan menjadi sasaran bukan karena perasaan cemburu penduduk lokal, atau karena mereka memiliki pengaruh di dalam pemerintahan (hal yang kontradiktif – kalau mereka berpengaruh, tentu mereka punya kekuasaan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap komunitas mereka, bukan?). Sentimen anti-Bali di perantauan terjadi karena mereka merupakan sasaran paling lemah, tidak memiliki perlindungan dalam konstelasi politik lokal setempat.
Terakhir, saya tergoda untuk berefleksi. Adakah kemungkinan kerusuhan sosial atau kekerasan komunal terjadi di Pulau Bali sendiri, di mana orang Bali melakukan kekerasan terhadap kelompok etnik yang dikategorikan sebagai ‘pendatang yang merusak’? Kalau melihat dinamika politik Bali, dan melihat semua persyaratan terjadinya kekerasan komunal, maka kita bisa menyimpulkan bahwa semua bumbu-bumbu terjadinya kerusuhan sosial itu ada di Bali.
Tentu saja, Bali juga penuh dengan para politisi, baik sedang berkuasa atau sedang mencari kekuasaan, yang siap mengeksploitasi semua kondisi masyarakat.
Tetapi, saya kira taruhan (stakes) di Bali untuk meledakkan kerusuhan sosial sangat tinggi. Ekonomi Bali sangat tergantung pada pariwisata yang sangat peka pada gejolak sosial. Itu mungkin bisa menjadi penahan tidak terjadinya kekerasan komunal di Bali. Yang banyak terjadi adalah keroyokan pada level-level komunitas kecil-kecil. Kekerasan sosial yang menyeluruh dengan target etnik tertentu, mungkin bisa dibendung.
Namun, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebagai orang Bali perantauan saya hanya bisa berujar, “Jajik ping !!!!” [b]
Tulisan dalam format lebih pendek juga dimuat di BaliPublika Edisi 6, 28 Januari – 10 Februari 2013.
“Dalam hal ini, orang Bali perantauan mengalami nasib persis dengan etnik Tionghoa pada masa Orde Baru. Etnik Tionghoa kerap menjadi sasaran kerusuhan sosial. Namun, kerusuhan anti-Tionghoa itu menjadi sangat jarang pada masa reformasi. Kini kita melihat kalangan etnik Tionghoa sangat aktif terlibat dalam politik.”
Maaf pemikiran saya mungkin masih cetek Bli Made 😀
Kalau demikian halnya mungkin salah satu solusinya menurut saya adalah etnis Bali harus lebih meningkatkan partisipasi politiknya di kancah nasional. Menurut saya, kita terlalu sering fokus terhadap permasalahan lokal. Padahal dengan diaspora masyarakat Bali yang ada di Indonesia dari ujung barat sampai timur Indonesia, saudara-saudara di luar juga butuh perhatian. Kalau pun ada yang muncul di kancah nasional, jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan mereka pun (mungkin karena tak terekspose media-kecuali Pak Pasek Demokrat) tidak terlihat perannya.
Pasek,Gusti Putu Artha eks KPU lebih terekspose bukan karena sumbangsih mereka di kancah nasional IMHO. Tapi lebih karena posisi mereka di lembaga masing-masing. Berbeda dengan politisi dari saudara-saudara etnis Tiong Hoa.
Suksesnya saudara-saudara Tiong Hoa di kancah nasional dalam bidang politik dapat dilihat dari peran Kwik Kian, Ketua Apindo Sofjan Wanandi, dan masih banyak lagi yang sering terlibat dan terasa sumbangsihnya terhadap kebijakan-kebijakan publik di Indonesia.
Sebenarnya sudah ada beberapa nama yang sering muncul, tapi tak begitu kentara, misalnya Bli Ari dosen Fisipol UGM yang tulisannya beberapa kali dimuat di Kompas.
Semoga ke depannya, para generasi muda Bali tidak lagi menjadi generasi yang apatis terhadap politik nasional dan dapat turut memberi sumbangsih pemikiran terhadap kebijakan publik tak hanya dalam lingkup lokal. Teman-teman sebaya saya, begitu membicarakan politik lokal yang masih terkungkung primordialisme itu saja bisa bersemangat dan komenttar-komentar mereka pun kritis dan dan mendalam. So, saya pikir sebenarnya potensi itu ada, tapi harus dimunculkan. Langkah Universitas Udayana membuka jurusan baru dalam dalam bidang sosial politik sepertinya akan melahirkan generasi-generasi muda Bali yang kritis. Hope so 😀
menurut saya hampir tidak mungkin untuk memunculkan tokoh-tokoh politik suku bali di luar bali, kecuali dalam lingkup nasional. Dan yang dalam lingkup nasional pun sepertinya tidak akan mampu banyak bicara “melindungi” orang bali. Untuk kasus keturunan Tionghoa, tekanan terhadap mereka menjadi bisa berkurang karena peran GUS DUR yang secara konsisten selalu memberikan tekanan dan bicara melalui media bahwa mereka tidak layak diperlakukan berbeda apalagi menjadi sasaran kemarahan.
Untuk kasus orang bali, di perantauan ini kita akan sangat terlihat berbeda khususnya bagi yang beragama Hindu. Dan sudah barang tentu, perbedaan ini akan menjadi komoditas bulan-bulanan dan pangsa pasar melimpah untuk dijadikan bahan cibiran, hinaaan dan lain-lain, dan yang lebih menyakitkan hati mereka apabila orang yang mereka hina dan cibir ternyata mampu secara ekonomi lebih baik dari mereka. dan hanya tinggal masalah waktu maka kita akan menjadi sasaran kecemburuan mereka.
yang berikutnya adalah kecurigaaan yang lebih besar, bahwa tindakan-tindakan terhadap suku bali perantauan tersebut adalah untuk memanas manaskan orang bali yang berada di bali agar terpancing ikut melakukan gerakan serupa. dan apabila Bali ikut terpancing berbuat rusuh maka itu akan dijadikan alasan cukup untuk menjadikan bali sebagai ambon dan poso yang kedua, saya pikir ini skenario besar yang beberapa oknum ingin capai.
maka saudara baliku yang di Bali, jangan terpancing, waspada, jangan saling menjatuhkan sesama orang Bali, bantulah saudara kita yang diperantauan. demikian juga bagi yang diperantauan, mari sama-sama jaga dan majukan Bali.
Bli Made, tulisan ini bagus karena bisa menganalisis bagaimana konflik-konflik komunal, termasuk terhadap orang Bali di perantauan terjadi. Namun, ada satu hal yang menurut saya perlu diperiksa ulang, asumsi bahwa orang Bali secara politik “lemah” di Lampung.
Teman saya jurnalis di Lampung, November lalu menulis bahwa orang-orang Bali di Lampung itu secara politik termasuk berpengaruh. Beberapa warga Lampung dari etnis Bali justru menduduki kursi penting di Lampung.
Saya kutip tulisan Oyos tersebut..
— Tokoh-tokoh Lampung asal Bali yang berhasil ini tak hanya di sektor ekonomi tapi juga politik. Ketut Erawan, misalnya, pernah menjadi Ketua DPRD Lampung Timur. Contoh lain warga Lampung etnis Bali yang sukses di panggung politik adalah I Made Bagiasa yang selain sukses sebagai pengusaha angkutan juga menjadi anggota DPRD Lampung Tengah. Ada pula Ni Made Setiasih, anggota DPD dari Lampung.
Keberhasilan Setiasih sebagai anggota DPD dari Lampung jadi bukti bahwa orang Bali pun bisa mewakili warga Lampung secara politik di tingkat nasional. Jumlah etnis Bali di provinsi berpenduduk sekitar 7,6 juta ini sangat kecil, kurang dari 10 persen. Sebanyak 65 persen lebih penduduk Lampung adalah dari suku Jawa. Etnis Lampung sekitar 20 persen. Adapun 10 persen lainnya adalah suku Bali, Semendo, Komering, Lombok, Minang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Aceh, Bugis, China dan Arab.
Nama Bali lain yang sukses adalah Nyoman Sukesna, pengusaha angkutan dan restoran serta Wayan Dirpha, mantan Komandan Kodim Lampung Barat dan mantan Bupati Lampung Barat. —-
Artinya, secara politik orang-orang Lampung etnis Bali justru berpengaruh. Mereka tidak lemah.
Menurut saya, dalam banyak contoh dan kasus, kerusuhan komunal justru terjadi akibat kecemburuan ekonomi. Warga lokal terlena oleh status sebagai “orang asli” sementara warga etnis nonlokal mau tak mau harus bekerja keras agar survive. Lalu, warga lokal hanya melongo ketika para pendatang sukses. Ini sebenarnya yang saya lihat mulai terjadi di Bali meskipun dalam skala kecil.
Semoga saja ketakutan saya berlebihan biar konflik serupa tak pernah terjadi di Bali.
benar setuju bagaimana kultur orang asli sudah semua orang tau
sekarang dengan adanya kejadian terdahulu menyisakan trauma terhadap suku bali dimana sekarang ini diserang dengan kriminallitas ada laporan masyarakat di daerah wawaykarya sudah meraja lela pembegalan dan perampokan dulu terkenal didaerah orang balli paling aman kunci sepeda motor aja gk pernah dicabut atau dimasukkan dalam rumah demikian sementara situasinya apabila ada pelaku tindak pidana dihakimi atau ditangkap masa takut serangan balik menimpa lagi terus harus bagaimana ?,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
*menyimak
Ikut Gung Wira, menyimak juga karena bukan kapasitas saya untuk berkomentar 😀
mengapa sentimen agama yang belakangan ini merebak “dianggap” seakan tidak ada ya…. yang saya lihat disini juga selain faktor politis ekonomi dan sosial, faktor agama yang berbeda juga menjadi faktor terjadinya konflik terhadap orang bali belakangan ini. di sumbawa sendiri, sentimen terhadap hindu memang sduah lama terjadi dan itu bagaikan fenomena gunung es… coba lihat, selain orang bali, semua pendatang itu sama agamanya kan,…
ketika agama itu berbeda, konflik itu akan mudah sekali terbakar. dan susah sekali dipadamkan, akan menjadi bara dalam sekam. kita lihat saja bagaimana politik pangeran dipanagara dalam melawan belanda… yang lebih menonjolkan perang melawan kafir, perang syahid, dibandingkan perang melawan pendudukan asing……..
saya kira harus ada penanganan tegas terhadap radikalisme di indoensia.. kalau tidak,… ya…. selamat datang paspor israel…
Saya cenderung setuju ne sama bli Anton sih. Kayaknya lebih besar pengaruh kecemburuan sosialnya daripada hanya karena konstelasi politik di Indonesia.
Ini saya mendengar cerita dari salah satu teman yang tinggal di Sumbawa (jadi saya kurang tahu kebenarannya). Menurut dia, masyarakat lokal disana kurang memiliki niat untuk maju kalau dibandingkan dengan penduduk pendatang. Mungkin ini benar untuk hampir semua “masyarakat lokal” karena kita sudah didukung oleh kenyamanan yang disediakan oleh orang tua kita (rumah sudah ada, makanan juga sudah tersedia, uang tinggal minta saja).
Kalau meminjam istilahnya dia, “wong pas aku berangkat kerja jam setengah 8 pagi mereka baru bangun dan masih katokan” 🙂
yap benar sekali itu, dan itu juga yang terjadidengan generasi muda bali sekarang.
hmmm..panjang yah, menyimak jg
Marxisme klasik menyebutkan persoalan ekonomi merupakan basis dari keseluruhan struktur dan suprastruktur kehidupan manusia. Jika masyarakat itu diibaratkan sebuah bangunan, maka pondasi dari keseluruhan bangunan yang membentuk struktur baik yang kasat mata maupun tidak kasat mata adalah soal ekonomi. Hampir seluruh struktur cara berpikir dan bertindak manusia dipengaruhi oleh soal ekonomi. Karena itulah marxisme memiliki pandangan bahwa relasi-relasi yang dibangun dalam struktur politik, sosial dan budaya bahkan agama sekalipun ditentukan oleh soal ekonomi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, siapapun yang memiliki kuasa atas kapital, maka ialah yang menjadi kelas penguasa.
Menjadi penguasa tentu saja tidak berarati menjadi mayoritas karena justru pemilik kuasa modal dalam masyarakat manapun hanyalah ada pada beberapa orang (minoritas). Tetapi minoritas berkuasa ini baik secara sengaja maupun tidak sengaja, disadari atau tidak disadari memiliki kecendrungan untuk memunculkan efek rasa yang mengarah pada terjadinya penindasan-penindasan baik secara fisik maupun mental. Wujud relasi dari kelompok minoritas berkuasa (secara ekonomi) dengan kelompok mayoritas yang tidak berkuasa secara ekonomi adalah terjadinya kecemburuan. Karena itulah faktor perbedaan ekonomi menjadi dominan dalam setiap konflik yang berujung pada kekerasan massa karena dorongan emosional rasa cemburu dalam soal ekonomi.
menyimak…..karena saya tau’nya adu otot bukan berkomentar 😀
Semua anak bangsa wajib melihat Dasar Negara dengan Semboyannya
PANCASILA = Bhineka Tunggal Ika
Berbeda tetapi tetap satu,
350juta tahun dijajah belum sadar2 juga isu SARA dipakai utk mengadu domba anak bangsa agar negara ini tdk maju2 dibandingkan negara tetangga, pemimpin negara jg Autopilot berharap smua beres dgn sendirinya, masyarakat berlindung ke hukum tapi hakim tdk tegas.
semua sila sdh dirumuskan oleh Founding fathers NKRI ini..
siapa yg pegang teguh norma2 Pancasila tsb, pasti akan membuat NKRI ini maju..
kita anak Negara RI, terdiri dari berbagai suku bangsa, beragam bahasa, seperti Sumpah Pemuda : 1 Bangsa, 1 Bahasa, 1 Tanah Air Indonesia
mau itu tionghoa, jawa, sunda, dayak, papua, aceh, dll smuanya adalah warga Negara RI , kecuali Timor Timur yg sdh pisah.. “saya korbannya sbagai pendatang disana 🙁 ”
saya lebih melihat, dari sisi sila Kemanusiaan : 2
sila ke 5 : keadilan sosial
pola pikir sederhana ini yaitu 1 darah : darah Indonesia tumpah..
apabaila kerusuhan sosial melanda, pasti ada korban luka, siapa yg merawat Anda (korban) ?? pasti anak Bangsa RI, siapa yg mendonorkan darahnya utk menyelamatkan nyawa Anda (korban/pelaku kerusuhan) ?? pasti Anda tidak tahu kan ?? itulah darah sesama Anak Bangsa RI
yg sudah merelakan darahnya demi membantu saudaranya.. terkadang manusia di RI (republik Indonesia) ini tdk pernah menyadari bila sdh dikasi Tuhan bencana ALam, barulah sadar bahwa kita sesama manusia, sesama bekas penjajahan Hindia Belanda, sudah merdeka, saling membantu, bergotong rooyong, tdk ada egois saya kaya anda miskin, tdk ada suku papua, suku aceh (tsunami), suku sumbawa, dll.
hey sadar kita hidup di Bumi “Ring’s of Fire” dikelilingi cincin2 Gunung api yg setiap saat bencana di depan mata sudah menanti, bila manusia terus bertengkar maka alam pun akan bergejolak dgn bencana yg ada. (Contoh Tsunami Aceh wktu GAM)
mari rapatkan barisan sesama anak Bangsa RI.. percaya kita adalah penerus Bangsa ini, saling membantu sesama,
mendonorkan darah kita, membantu saudara2 kena bencana alam, membuat bangsa ini maju, janganlah iri dan dengki, mari bersama2 membangun RI dgn semangat Gotong Royong bukan dengan individualistik.
karena saat susah, saat bencana alam datang, saaat anda sekarat di Rumah Sakit barulah anda sadar ada tangan2 Sesama Anak Bangsa menolongmu…
mari bercermin diri.. seperti lagunya Ebiet G.Ade.. :
” Anugerah dan bencana adalah kehendakNya, kita mesti tabah menjalani
Anak menjerit-jerit asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih
Ini bukan hukuman hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak berbenah”
Salam Nasionalis
tinggi betul, saya ga paham deh. trus gimana dong, apa yang menyebabkan itu terjadi ya?
yang haus disiapkan bagaimana cara mengatasi kalau kita diserang itu yg perlu dipikirkan dan selalulah bermasyarakat dengan suku pendatang kedepankan DHARMA kalau penduduk asli kecuali yg sudah beroikir maju sulit dideketi deket sulit dijauhi sulit serba salah
Bagi saya permasalahan ini di latarbelakangi oleh masalah ekonomi, dimana penduduk asli yang selalu bermalas-malasan merasa sebagai tuan tanah dan masyarakat pendatang yang benar-benar mau merubah kehidupan nya sehingga dia bisa berhasil di perantauan. hal ini lah yg membuat iri masyarakat asli terhadap pendatang. saya pernah tinggal di Bala selama 5 tahun saya muslim yg tinggal dalam keluarga Hindu dan juga masyarakat Hindu, jadi saya bisalihat langsung dimana masyarakat bali begitu terbuka terhadap pendatang dan saling menghargai perbedaan agama.selain itu juga masyarakat bali yg begitu giat dan semangat dalam bekerja sehingga mereka bisa maju.
politik, sosial, ekonomi, serta perbedaan agama menurut saya memang sangat rentan dijadika alat untuk menyebarkan virus kerusuhan yang menyebabkan keresahan oleh segelintir oknum yang membenarkan segalanya hanya untuk keinginan sesaat. Tetapi seharusnya itu bisa kita hindari dengan tetap memegang teguah pada idiologi PANCASILA adalah dasar negara dan bangsa kita. Bukan hanya sekedar tulisan dan kata-kata tak bermakna, tapi harus dijadikan harga mati dalam berbangsa dan bernegara Indonesia.
tau gak kenapa gak di perpanjang? alasannya kepercayaan mayoritas jadi penguasa. minoritas selalu disalahkan meskipun benar. Karma pala akan selalu ada buat mereka. Bencana besar akan melanda mereka mereka yg semena2 merusak pura bali. Itu sudah pelecehan dan penodaan agama namanya dengan merusak tempat ibadah. Kenapa pemerintah jarit mulut? coba tempat ibadah mereka yg dirusak apa yg terjadi? hahhh…..
Sekarang lihat pemimpin bali apakah bersuara gak menyangkut kejadian tersebut? apakah kalian masih percaya omongan besar mulut mereka saat berkampanye? ngajegang balikah mereka dengan menjual pelindung bali selatan kepada investor? Sampai sekarang saya tidak akan pernah ikut memilih yg yang namanya pemimpin bali….karena saya tahu, kalo sudah politik ujung2nya duit…..
tulisan bli made sangat menarik…konflik sosial yang didasari oleh sara memang sangat gampang tersulut, hal ini disebabkan oleh kohesi internal yg memang sudah ada sebelumnya tanpa diotak atik-pun oleh para politikus, jadi menurut saya para politikus tanpa bekerja keraspun akan gampang menyulut konflik tsb. Jangan jauh-jauh deh….liat aja kelompok2 sosial tertentu yg ada di bali sering konflik satu sama lain penyebabnya ya klise saja, ujung2nya duit, kekuasaan, dan bahkan masalah wanita.
konflik antar suku ras dan agama memang mudah disulut karena masyarakatnya tidak mengerti isi dari Pancasila,,,terutama daerah yang masih miskin dan ekonominya sangat rendah,,,,,,,
Artikel yang menarik. Untuk Kasus Sumbawa, cukup mengena.
Untuk Kasus Lampung, thesis bahwa Orang Lampung keturunan Bali itu lemah, sehingga cenderung menjadi sasaran, kurang kuat. Alasan kecemburuan sosial cukup gamblang terlihat, di samping belum cukup dalam dan dewasanya interaksi antar-kelompok sosial. Mekanisme penyelesaian konflik tidak melembaga, bahkan mungkin tidak pernah dianggap perlu untuk dilembagakan.
Pola asuh Orang Bali umumnya diwarnai semangat inklusif. Meski demikian, sebagian generasi muda sering tergoda bersikap pamer, dan eksklusif. Tindakan demikian bisa menjadi pemicu manifestnya potensi konflik.
Fenomena “BAREKA”, suatu signage/stiker di bemper armada angkutan umum milik orang Bali di Lampung, adalah unik. Calon penumpang/konsumen merasa aman menumpang armada mereka, karena sikap tegas para awaknya (sopir dan kondektur) terhadap para kriminal. Padahal para awak armada adalah Orang Lampung asli, perantauan dari Jawa atau etnik Batak. Penumpang etnik Bali sering mendapat komplimen, alias tidak bayar. “Bareka” (dari kata “Bali Rekan Kami”) tidak lagi berkonotasi pasikian (persatuan) bercorak etnik untuk menjaga keselamatan dan keamanan di jalanan dan belantara, melainkan melembaga sebagai suatu sistem yang supra-etnik, dan terpelihara karena kesamaan kepentingan dalam menjalankan bisnis secara lancar, aman, dan akhirnya juga sukses sebab mampu memberi jaminan keamanan, sesuatu yang diperlukan konsumen. Apakah pasikian model “Bareka” ini kontra-produktif?
Akhirnya adalah peran negara. Negara yang dibangun dengan tumpahnya darah para pahlawan ini terlalu lama absen dari proses nation and character building. Negara yang berkompromi dengan anarkhisme, sangat tepat disebut negara gagal. Kalau aparat negara tegas dan adil, tindakan anarkhis bisa dicegah, dikurangi, dan pelakunya diadili sepantasnya.
@Arya Suharja, BAREKA? terdengar manis memang, tetapi itu tidak lebih hanya sekedar slogan kosong tanpa makna seperti hal nya pancasila dan bhinneka tunggal ika, yg bagi sebagian orang tidak ada maknanya dibanding ajaran mulia dari arab
Solusinya sdisederhanakan menjadi 2 opsi sbb:
1. Biarkan sj kerusuhan demi kerusuhan terjadi terus, krn sdh hukum alam
2. Bali hrs memisahkan diri dari NKRI yg tdk melindungi kaum minoritas
Benar saya dukung, bila NKRI tidak melindungi kita, lebih baik bali merdeka aja???
saya setuju dengan pendapat bli Wayan Lole dengan bli Made Arsan.
Israel dengan negeri tandus begitu saja bisa survive kenapa Bali dengan lahan yg subur tidak? Toh saudara Bali sekarang sudah semakin mengglobal dan menjadi bagian dari masyarakat dunia. Bisa diliat dari bukti kunjungan ke Bali dari tahun ke tahun. Buat saya, masyarakat Bali juga punya martabat yg tidak selayaknya mendapatkan aksi anarkis (plus fitnah fitnah) layaknya diperlakukan bagaikan rampok dan bandit kriminal seperti yg dialami oleh saudara kita di lampung dan sumbawa.
sungguh, pedih dan mendidih hati saya tiap kali mengingat kasus ini
Saya etnis bali,lahir di sumbawa…dan tinggal di Tangerang Banten,saya akan selalu mendukung dan memantau perdamaian dan keadilan di Indonesia dan dunia dan SAYA TIDAK PERNAH TAKUT MATIII..Catatt.
bila bali merdeka dan punya tentara sendiri, tentu kejadian kejadian macam lampung dan sumbawa tidak akan kita biarkan. Ya gak? 🙂
itu namanya karma gan, saya pernah tinggal di bali penduduk lokalnnya ngak welcome tu sulit berteman,dll
walau ngak semua.
hey Frank…. ini bukan karma! ternyata anda tidak bisa belajar dan mengerti ttg budaya lokal! anda sekarang tinggal di mana? balik ke kampung halaman? sebaiknya Anda tetap tinggal di kampung halaman ya! karena tidak ada gunanya buat orang lain! Bukan penduduk lokal yang harus berhenti beraktifitas hanya untuk menyambut anda. anda (seperti sebagian besar perantau) harus berusaha untuk menemptkan diri. jelas anda akan sulit berteman…… karena anda mengharap semua menghormati anda? Anda tidak mengerti akan karma… so duduk, diam and look after your self!
@Rama : bner bgt tu
oRANG LUAR BALI ITU SUKA IRI DENGAN KEBANGKITAN HINDU…
@frank, coba lebih spesifik didaerah bali mana yg anda maksud kan?
….. saya kelahiran dan besar di sumbawa….. orang tua saya dari Bali. saya menyaksikan kejadian Sumbawa pada tahun 1980. …. dan sekarang saya menyaksikan kembali hal yg sama dari kejauhan. Rumah, toko dan hotel nyame Bali habis. Persis seperti tahun ’80. Apapun alasannya….. ini adalah salah! Pertanyaan saya….. kemana nyame nyame Bali….. adi sing ngomong? kok sing ade suara…… pemerintah Bali…. kok sing ngebelain nyame di tempat rantau? Nyame2 di Bali…. apakah kalian mengerti bahwa kami yg di rantau kerja keras untuk tetap menjunjung nama baik Bali? kok kalain tidak ada support terhadap kami yang di rantau? apa tindakan kalian di Bali? apakah dengan menuntut Bali merdeka akan menyelesaikan masalah? ooeee…. bangun jeg bantuin nyame di rantau!
@rama, kenkenang carane membantu bila lingkungan disana sendiri yg berbuat anarkis begitu?
@rama, salah satu bukti bahwa bali tidak bisa dipermainkan dan diperlakukan orang seenaknya dengan cara menunjukkan kedaulatan kita. Bila perlu ditempuh dengan memerdekakan diri, kenapa mesti takut untuk merdeka? lebih baik merdeka, hidup bermartabat daripada diperlakukan layaknya bandit kriminal.
wah saya turut prihatin kang , seharusnya orang-orang di negeri ini janganlah memandang sebuah etnis dengan sebelah mata…! dalam artian begini : Etnis itu kan adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai bahasa , budaya , dan kultur yang sama , dari definisi ini kita tahu etnis bukanlah seorang Individu , dan kita juga tahu masing-masing individu itu mempunyai karakter yang berbeda-beda . Nah oleh sebab itu jangan sampai kita menilai kelompok etnis layaknya mengenal seorang Individu tertentu.
Sekian dan thanks udah ngeshare yah !
Pokoknya pasrah tawakal ada Tuhan akan menilai semua prilaku manusia dan akan dipertanggungjawabkan kemudian ambil manfaatnya dg ada tragedi ini kita kontrol diri gitu Bahwa dunia ini temporer semua akan berakhir semua yg kita dapat akan sirna dan pasti lho dan memeras tdk kebanggaan abadi pokoknyeora etla bora the irage uyut ajak nyme gelah keetho thogen
saudara yg tinggal dari Pulau Bali yg tinggal di lampung saya mau beri info dan saran:
1. orang jawa juga dimusuhi di lampung dengan sebutan merebut tanah lampung dan sering bentrok dengan kera- kera lampung (info)
2. saran saya bergabunglah dengan masyarakat dari jawa (tengah dan timur) dengan mengadakan pertemuan budaya atau acara budaya sehingga kekuatannya kuat. atau bisa berilah tempat bagi orang jawa untuk bisa bekerja atau berkolaborasi budaya di tempat anda.
salam revolusi alam
wong cilik
Sepertinya kecemburuan sosial memang dominan dalam kasus kerusuhan di Lampung dan Sumbawa, namun tidak tertutup kemungkinan bisa juga itu ditunggangi untuk kepentingan politik lokal masing-masing daerah. Politik memang sering menghalalkan segala cara, dan selalu mencari celah untuk mencari popularitas. Minoritas (apalagi yang berbeda keyakinan/agama) lah yang sering dikorbankan. Biasanya minoritas pendatang memang banyak berhasil karena harus survive, kalau tidak justru dianggap sampah oleh masyarakat asli setempat, karena tidak ada kontribusinya. Tapi kalau berhasil, justru dicemburui. Memang agak serba salah.
Saya seorang keturunan Tionghoa yang pernah tinggal di Jakarta dan Medan, dan memang pernah merasakan apa yang dianalisa dengan tajam di atas oleh Pak Made Supriatma (saya angkat topi untuk Pak Made untuk tulisannya).
Inilah bukti-bukti pendidikan politik dan ekonomi rakyat kita masih kurang. Banyak yang belum mengerti SARA itu sering dijadikan alat politik dan bahwa: mau di kampung sendiri atau di perantauan, semua orang sama, dari etnis apapun bisa berhasil kalau mau berusaha.
hemmm ….miris saya mendengarnya,sebenarnya ini masalah kecemburuan sosial bukan perang agama,namun beginilah watak masyarakat indonesia saat ini yang mendahulukan emosi diatas akal sehat dan intelegensi yang dimiliki…..sehingga mudah untuk di hitamkan atau di perah oleh kehancuran…padahal kita satu negara satu atap langit dan satu alas bumi,tolonglah kesampingkan emosi kita,dalami agama sesuai yang kita anut agar hati kita tenang dan damai tanpa harus meledakkan hal2 yang menghancurkan tali saudara,apapun agamamu,sukumu,etnismu,warna kulitmu…satu negara adalah satu saudara.
Ehhmmmm, bagaimana dgn kekerasan antar banjar di bali? Kan sering pecah juga… Ga pernah di bahas tuhh
seandainya qt tau tujuan diciptakan atau dilahirkan maka tidak ada perpecahan…..dimuka bumi ini, saya sebagai orang asli sumbawa sangat menyayangkan kerusuhan ini, kami memnta maaf yg sebesar-besarny pada teman2 bali, , kami hNya bisa melinndungi teman2 bali d daerah tempt tinggal kami, ini faktor wakjt bgtu cepat terjadi….peace indonesiaku
Di Bali, perekonomian sudah dikuasai pendatang….nyatanya sampai skrg tidak pernah ada kerusuhan tuh….
Karena orang Bali sebagian besar HINDU dan HINDU mengajarkan TAT TWAM ASI (kamu adalah aku). Jadi omongan provokator akan menguap di Bali.
Bagiamana dengan peran media ????
Teori konflik komunal bisa diatasi Dan dipatahkan pakai teori teologis (perintah Tuhan kepada manusia)