Beberapa hari terakhir, Kelompok Media Bali Post gencar memberitakan persoalan insentif untuk bendesa adat desa pakraman (adat).
Hal ini bermula dari pernyataan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Menurut Bali Post, Pastika “menolak adanya insentif bagi bendesa pakraman yang mengemban tugas berat menjaga desa pakraman yang merupakan benteng terakhir penjaga budaya Bali”. Kelompok Media Bali Post, yang masih terlibat dalam “konflik pers” dengan Gubernur Bali, segera menyambar isu ini dan menjadikannya agenda penting dalam liputan-liputannya.
Sebagaimana diberitakan Bali Post, beberapa aktor politik, misalnya anggota DPRD Bali, dan pejabat tingkat kabupaten, pun dengan cepat mengambil kesempatan ini untuk menunjukkan dukungannya terhadap aspirasi bendesa adat.
Terlepas dari siapa yang benar, siapa yang salah, dan apakah ada ucapan yang dipelintir media, kita patut merenungkan beberapa hal yang bersifat lebih esensial daripada manuver-manuver politik. Layakkah jika bendesa adat desa pakraman diberikan insentif? Dan apakah insentif yang ada saat ini telah memadai?
Menurut informasi resmi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali (Bappeda Bali), untuk tahun 2012 Pemprov telah mengganggarkan Rp 210 milyar. Anggran ini untuk 1485 desa pakraman di Bali. Sebagian besar dari anggaran tersebut adalah hibah kepada desa pakraman. Jumlahnya Rp 55 juta per tahun per desa pakraman. Kurang dari Rp 10 milyar diberikan dalam bentuk bantuan sosial (bansos), yaitu bantuan yang diberikan atas proposal dari desa pakraman.
Khusus untuk bendesa adat, hibah diberikan dalam bentuk sepeda motor dan insentif sebesar Rp 250 ribu per bulan. Jumlah ini naik 67 persen dari Rp 150 ribu per bulan pada tahun 2011. Ini belum termasuk bantuan yang dianggarkan pemerintah masing-masing kabupaten. Misalnya, Rp 21 miliar untuk 122 desa adat di Kabupaten Badung.
Tidak ada yang bisa mengatakan dengan persis apakah jumlah insentif di atas layak atau tidak.
Hal yang harus ditanyakan terlebih dahulu adalah seberapa efektif penggunaan dana yang telah digelontorkan? Penilaian tentang efektivitas harus dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu mengenai pertanggungjawaban terhadap penggunaan dana. Untuk apakah dana hibah tersebut digunakan? Apakah untuk pelestarian lingkungan, untuk operasional aparat desa, untuk biaya odalan, atau untuk membiayai usaha desa adat seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD)?
Transparansi seperti ini belum tampak sama sekali dari penggunaan Rp 210 milyar uang rakyat ini. Masyarakat butuh kejelasan mengenai aliran dana ini. Bahkan ada indikasi kebocoran di sini. Menurut Ida Bagus Mantra, bendesa adat Batu Agung Jembrana, dia sekali pun belum pernah mendapatkan insentif Rp 250 ribu yang dijanjikan.
Bentuk pertanggungjawaban lain dari desa pakraman adalah kewajiban mereka untuk mencegah konflik adat yang telah berulang kali terjadi di Bali. Setiap desa pakraman mendapat insentif sama. Persamaan insentif ini terlepas dari besar kecilnya jumlah krama desa, dari tingkat sosial ekonomi krama desa, dan tidak ada sanksi ekonomi sama sekali terhadap desa pakraman yang dirundung konflik adat. Desa pakraman yang terlibat konflik, termasuk melakukan serangan fisik terhadap rumah warganya sendiri, mendapat hibah sama dengan desa pakraman lain yang mampu menjaga keharmonisan warganya. Hal ini tidak masuk akal ditinjau dari sudut pandang mana pun.
“Insentif” merupakan terjemahan dari kata Bahasa Inggris, “incentive”. Menurut kamus, kata ini dijelaskan sebagai “An additional payment (or other remuneration) to employees as a means of increasing output” – atau “tambahan pembayaran kepada karyawan sebagai sarana untuk meningkatkan hasil”. Insentif hanya diberikan jika ada peningkatan hasil. Dan layak-tidaknya bendesa adat diberikan tambahan insentif, harus dilihat dari hasil pekerjaan mereka.
Media yang baik semestinya tidak hanya memberitakan tentang silang pendapat antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan politis. Media seharusnya juga mengupas pelaksanaan pemberian insentif itu sendiri dan manfaatnya bagi warga desa pakraman. Gubernur yang baik pun tidak boleh hanya menolak aspirasi bendesa ada. Dia harus pintar memanfaatkan insentif ini untuk mendapatkan hasil yang setara dengan dana yang diberikan.
Ada beberapa ide yang bisa dipertimbangkan. Pertama, hanya desa pakraman yang bebas konflik adat yang mendapatkan insentif. Kedua, desa pakraman yang memiliki awig-awig tertulis, batas desa yang jelas, sanksi adat yang jelas, status hukum yang jelas atas tanah milik desa, harus mendapatkan insentif lebih banyak daripada desa pakraman yang tidak memiliki semua itu.
Menurut Dosen Hukum Adat Universitas Udayana, seperti dimuat SARAD, tidak semua desa pakraman telah memiliki awig-awig tertulis. Beberapa desa pakraman juga tidak memiliki batas wilayah yang jelas, hingga dapat menimbulkan konflik dengan desa tetangganya. Misalnya saja, awig-awig Desa Pakraman Kuta menyebutkan bahwa batas timur adalah Desa Adat Suwung, batas utara adalah Desa Adat Legian, batas selatan adalah Desa Adat Tuban, dan batas barat adalah laut (hanya batas barat yang jelas).
Ketiga, hanya desa pakraman yang melaporkan secara jelas penggunaan dana insentif yang akan mendapatkan hibah untuk tahun anggaran berikutnya. Keempat, sebagian besar dari insentif untuk desa pakraman diberikan tidak dalam bentuk hibah, tapi dalam bentuk bansos, dalam artian harus ada proposal yang jelas mengenai penggunaan dana.
Sampai pembahasan mengenai insentif bendesa adat berkembang menjadi lebih mendidik dan lebih menyentuh esensi kehidupan masyarakat, mari kita abaikan hiruk-pikuk konflik pers dan politik Kelompok Media Bali Post dan Gubernur Bali. Mari kita manfaatkan saluran media yang ada untuk memperjuangkan desa pakraman yang lebih baik. [b]
kasus ini telah membuat peran pers menjadi kehilangan makna. Bali Post kini menjadi media yg tidak netral karena dlm pemberitaannya selalu menyerang pihak yang terlibat dlm kasusnya. Masyarakat harus cerdas mana berita yg mendidik dan mana berita yg sarat berbau politis.
Penarikan retribusi parkir oleh desa pekraman
dananya dikelola oleh siapa ya?
menta_piperita: saya jg bertanya2 seperti bapak,sejak kapan desa pakraman boleh memunggut karcis parkir??? bukan kah karcis parkir sudah di kelola oleh pemerintah??? dan jika benar desa pakraman boleh memunggut karcis parkir,dana tersebut di kelola oleh siapa?? untuk apa???
Apakah Adi Sudewa sudah bergabung dengan desa pekraman untuk melihat sudut pandang dari dalam?