Penulis esai, novel, dan cerpen senior Bali Gede Aryantha Soethama hadir dalam Klub Menulis BaleBengong pada 17 Maret 2023. Kali ini temanya adalah Curah Gagasan Duang (D)Asa Pulau Dewata: Membayangkan Bali 20 Tahun Lagi.
Aryantha membagi pengalaman kreatifnya membuat sejumlah karya yang bercerita tentang manusia Bali. Peserta yang menyimak kebanyakan anak muda yang pertama kali bertemu dengannya. Sebagian mengenal nama dan judul karyanya, dan penasaran untuk bertemu.
Aryantha menceritakan beda fiksi dengan berita. Pertama, ia menekankan bangunan cerita. Ini bisa didapatkan dari observasi dan interaksi. “Penting juga membaca dahulu, menulis kemudian,” ingatnya.
Esai bisa dihasilkan dari oborolan ngeyel dengan tukang bakso, konflik mungkin tidak ada hanya suasana. Menurutnya lebih mudah membuat esai dibanding cerpen yang lebih kompleks.
Salah satu peserta adalah Wayan Arnawa, pensiunan guru matematika, peserta paling tua. Ia bertanya tentang karya yang paling membuatnya penasaran, salah satu esainya di Menitip Mayat di Bali. Ia juga sudah membuat esai Dari Bule jadi Bali yang memperkirakan kondisi kini, banyak WNA tinggal di Bali.
Bahkan terakhir, beberapa akun satir tentang bule makin banyak dibuat untuk menyindir beberapa WNA yang bekerja menyalahi izin tinggal, naik motor ugal-ugalan tanpa helm, dan lainnya. Malam kian larut, obrolan 3 jam pun harus diakhir.
Kami juga mengkonfirmasi berita tentang penolakannya mendapat penghargaan sebagai sastrawan dari pemerintah baru-baru ini. Ia beralasan, harusnya ukurannya adalah karya bukan usia sastrawan. Jika hanya dilihat dari senioritas atau usia, maka anak muda tidak punya kesempatan mendapat penghargaan. Ia seolah ingin bersaing secara adil, dilihat dari karyanya.
Padahal Aryantha, selain senior juga masih aktif membuat karya. Ia sangat layak mendapat penghargaan utama karena konsistensinya mengembangkan sastra dan menyemangati anak muda. Ia mempersilakan anak muda ke rumahnya, sekaligus melihat percetakan yang dibuat dari hadiah Khatulistiwa Literary Award. “Nanti saya kasi buku,” janjinya. Aryantha tak obral janji, karena saat Klub Menulis, ia juga memberikan 3 buku ke peserta.
Wikipedia menyebut, Gde Aryantha Soethama lahir di Bali, 15 Juli 1955. Mengawali debutnya sebagai penulis sejak usia muda. Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar, ia lalu menjabat sebagai pemimpin redaksi mingguan Karya Bhakti (1981-1987) dan redaktur harian Nusa Tenggara (1989-1990). Ia kerap mempublikasikan karya-karyanya di berbagai media massa antara lain Sinar Harapan, majalah Sarinah, Bali Post, Selecta, Midi, Gadis, Putri, dan Hai. Pada tahun 1979 sampai dengan 1981, setiap dua pekan, dia menulis skenario penyuluhan peternakan dan memerankannya untuk stasiun TVRI Denpasar. Kini ia aktif menulis esai budaya serta cerita pendek sembari mengurus percetakannya – Prasasti dan penerbitan yang bertajuk Buku Arti.
Karya-karyanya adalah:
• Wawancara Jurnalistik (karya jurnalistik)
• Koran Kampus (karya jurnalistik)
• Menjadi Wartawan Desa (karya jurnalistik)
• Tak Jadi Mati (kumpulan cerpen, 1984)
• Langit Dibelah Dua (naskah drama, 1984)
• Daerah Baru (kumpulan cerpen, 1985)
• Koran Kampus (1986)
• Suzan/ Wanita Amerika Dibunuh di Ubud (novel)
• Pilihanku Guru/Senja di Candi Dasa (novel)
• Bali is Bali (kumpulan esai, 2003)
• Basa Basi Bali (kumpulan esai, 2002)
• Bali Tikam Bali (kumpulan esai, 2004)
• Bolak Balik Bali (kumpulan esai)
• Mandi Api (kumpulan cerpen, 2006) – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Vern Cock dengan judul Ordeal by Fire
• Dari Bule Jadi Bali (Kumpulan esai, 2010)
• Pelajaran Mengarang (kumpulan cerpen pilihan Kompas)
• Lampor (kumpulan cerpen pilihan Kompas)
• Jangan Mati di Bali (Kumpulan esai, 2011)
• Menitip Mayat di Bali (kumpulan esai, 2016)