Lama-lama gerah juga dengan fitnah dari para hantu ini.
Melalui media sosial, terutama Facebook dan Twitter, mereka terus menyebar tudingan bahwa para penolak reklamasi Teluk Benoa hanyalah orang-orang bayaran, cari popularitas, dan lain-lain.
Fitnah itu disebar masif oleh akun-akun hantu. Begitu pula hari-hari ini.
Soal akun-akun hantu yang bergentayangan ini dan apa motivasi mereka, saya sudah pernah menulisnya di BaleBengong. Sederhananya, mereka akun-akun dengan identitas dan informasi tak jelas pula.
Sebagai hantu, mereka bisa menyebarluaskan fitnah itu sesukanya ke mana-mana. Tidak ada konsekuensi apapun bagi mereka. Toh, akun-akun mereka hanya nama samaran.
Bukankah pengecut memang selalu bersembunyi di balik identitas palsu?
Secara ringkas, ada empat isu utama yang digunakan para akun hantu untuk memfitnah. Pertama, isu tolak reklamasi telah menjadi bancakan para LSM. Kedua, penolak reklamasi dibayar untuk kepentingan asing. Ketiga, para penolak reklamasi dimanfaatkan oleh lawan politik Gubernur. Terakhir, para penolak reklamasi hanya mencari popularitas.
Mungkin ada beberapa topik lain. Tapi, pada dasarnya ya berputar-putar di situ saja.
Tudingan itu hanya sekadar fitnah karena mereka, para hantu, tak bisa membuktikan apapun yang mereka katakan. Hanya tuding sana tuding sini. Tanpa bukti.
Sebaliknya, tudingan mereka jauh dari fakta sebenarnya. Setidaknya sebatas yang saya tahu sebagai salah satu yang ikut menolak rencana reklamasi Teluk Benoa sejak sekitar tiga tahun silam.
Setuju! Intinya kelompok para pencari makan dan popularitas belaka. Rusak masa depan Bali jika kelompok ini diikuti. pic.twitter.com/t798bnY2fK
— ((((REVITALISASI)))) (@dangnamusei) August 20, 2015
Pertama, isu penolakan reklamasi hanya bancakan LSM.
Tidak jelas, LSM mana yang mereka tuding. Banyak sekali LSM yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) ini. Sekadar nama ada Walhi Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Mitra Bali, Yayasan Manikaya Kauci, Yayasan Wisnu, Sloka Institute, IDEP, dan lain-lain. LSM-LSM yang ikut menolak ini bekerja di banyak isu. Tak hanya lingkungan.
Bisa dibilang, LSM-LSM ini termasuk perintis gerakan tolak reklamasi di Bali bersama musisi dan kelompok kritis lain. Sebagian besar LSM itu masih aktif terlibat. Ada yang hanya sesekali. Saya sendiri termasuk yang hanya sesekali.
Jika kami bancakan, tentu kami semua sudah punya banyak uang. Padahal, yang ada sih malah sebaliknya. Kami harus meluangkan waktu, menyumbang dana, dan menyisihkan tenaga untuk turut serta menolak rencana reklamasi.
Kerja yang lumayan melelahkan. Saya sendiri tidak sanggup untuk terus menerus aktif di sana. Makanya, salut dan malu sama teman-teman yang masih aktif terlibat penuh di sana.
Pamrih? Tidak sama sekali. Kami melakukannya dengan sukarela. Semata karena kami yakin bahwa apa yang kami lakukan sesuatu yang benar. Kami sudah terbiasa dengan tudingan macam-macam semacam bancakan itu.
Hal lain yang jadi catatan, para LSM ini hanyalah penggerak di awal. Ketika gerakan penolakan sudah berjalan, kian banyak kelompok lain masuk dalam barisan. Warga adat, nelayan, musisi, kelompok kreatif, pemuda banjar, dan seterusnya.
Saat ini, kelompok-kelompok di luar LSM inilah yang justru saya lihat lebih aktif daripada kami-kami yang bekerja di LSM. Mereka konsisten dan lebih solid dalam barisan ForBali.
Kedua, dibayar untuk kepentingan asing.
Wacana yang dikembangkan para hantu pemfitnah, seolah-olah kami ini agen asing. Tujuannya agar pariwisata Bali tidak berkembang maju layaknya Singapura, Malaysia, Thailand, dan seterusnya.
Jika kami dibayar untuk kepentingan asing, mungkin kami tak perlu repot-repot patungan membiayai gerakan. Pendanaan gerakan tolak reklamasi ini memang dari urunan warga.
Hanya beberapa contoh. Kaos Bali Tolak Reklamasi yang sekarang ngetren itu, bermula dari sumbangan salah satu penggerak awal. Awalnya dikasih gratis. Apakah dia agen asing? Tidak. Dia hanya warga biasa yang memang peduli pada beragam isu, terutama sosial dan lingkungan di Bali.
Kini, penjualan kaos menjadi salah satu sumber dana bagi gerakan. Apa itu salah? Tidak sama sekali. Kami berdikari. Bukan karena dibayar lalu terus menggonggong ke investor dan pemerintah bebal.
Begitu pula dengan baliho-baliho yang disebar oleh berbagai banjar. Siapa yang membiayai? Ya, pemuda-pemudi banjar sendiri.
Tanyalah anak-anak muda di Suwung, Denpasar Selatan yang tetap semangat 45 ketika baliho-baliho mereka dirusak para preman. Mereka tetap berjibaku membangun lagi ketika baliho mereka dirusak.
Tak hanya di Suwung. Hal serupa terjadi pada anak-anak muda di penjuru Bali hingga daerah pedesaan. Tanya saja siapa yang membiayai mereka bikin baliho. Ya, mereka sendiri. Patungan. Dengan kesadaran bahwa masa depan Bali memang tidak untuk dipertaruhkan pada para pemodal.
Ketiga, menolak karena lawan politik Gubernur Bali.
Ini tudingan lama. Tak pernah juga ada buktinya.
Tudingan ini berlebihan. Sebab, pengkritik bukanlah pembenci. Mengkritik pemimpin adalah tugas siapa saja. Jika ada yang mengkritik Gubernur Bali, itu karena memang gubernur adalah pejabat publik. Mereka dibayar untuk kepentingan publik, bukan kepentingan investor.
Bantahan lain, mereka yang kini menentang rencana reklamasi Teluk Benoa pun tak sedikit yang dulu memilih Mangku Pastika. Saya salah satunya. Hanya karena mengkritik kebijakannya, bukanlah berarti membenci orangnya.
Harus dibedakan kritik dengan fitnah.
Fitnah terakhir, menolak reklamasi untuk popularitas.
Tudingan ini santer ditujukan kepada Superman is Dead (SID), salah satu band yang dari awal memang aktif menolak rencana reklamasi.
Mereka yang menuding SID hanya cari popularitas pasti tidak tahu tentang band ini. Banyak hal bisa membantah tudingan tersebut.
Januari 2011 silam saya membuat liputan tentang SID sebagai band dengan jumlah fans terbanyak di Indonesia di Facebook. Waktu itu, mereka band pertama dari Indonesia dengan fans lebih dari 1 juta. Saat ini, page mereka di Facebook disukai sekitar 5,5 juta orang.
Menurut saya memang belum ada band Indonesia bisa menandingi popularitas SID. Bisa dibilang, setelah era Slank, sekarang zamannya SID. Tentu saja plus pro kontranya.
Fakta lain, SID peduli lingkungan juga tidak cuma sekarang. Sejak lama band ini terlibat dalam advokasi lingkungan di Bali. Misalnya penolakan terhadap rencana pembangunan Bali International Park (BIP).
Saya bukan fans SID. Musik-musiknya juga bukan selera saya. Tapi, mereka memang punya pengaruh itu. Sesuatu yang membuat saya angkat topi dan menjura meskipun saya tak selalu cocok dengan gaya mereka.
Jika sudah punya fans begitu banyak, terus ngapain harus cari popularitas lagi? Jika mau aman justru tinggal main band, manggung, jual album. Aman dah itu. Tak akan ada yang memfitnah macam-macam.
Demikianlah. Sekadar urun fakta biar fitnah terhadap mereka yang menolak reklamasi Teluk Benoa tidak makin merajalela.