Perjalanan ke Bandung akhir bulan lalu membuat saya iri.
Wajah ibu kota Provinsi Jawa Barat ini memang makin cantik. Wali kota baru mereka, Ridwan Kamil, terlihat sekali bekerja setidaknya dari wajah kota, hal paling mudah dilihat mata.
Taman-taman makin bertebaran, termasuk Taman Jomblo sekali pun. Tak hanya untuk turis, taman-taman tersebut memang dibuat agar bisa dinikmati warganya. Trotoar jalan pun makin rapi.
Dua kota lain di Jawa punya pesona yang sama, Surabaya dan Solo. Di kedua kota ini, pohon-pohon perindang makin banyak di pinggir jalan. Bahkan wajahnay serupa hutan kota. Begitu pula dengan trotoar, makin ramah bagi pengguna jalan. Begitu yang saya lihat terutama di jalan-jalan utama.
Melihat ketiganya, saya jadi ingat Denpasar, kota di mana saya tinggal sejak 17 tahun lalu. Rasanya kota ini kok ketinggalan dibandingkan tiga kota tersebut. Padahal, dia punya potensi bagus untuk ditata agar lebih ramah bagi warganya.
Secara umum, wajah Denpasar tetap asyik. Punya banyak pohon di pinggir jalan. Sebagian jalan juga sudah rapi dan teduh meskipun tidak ramah sama sekali bagi pejalan kaki.
Namun, Denpasar punya sesuatu yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Saya teringat ide lama, menjadikan setra sebagai taman kota.
Setra adalah nama lain kuburan bagi warga Bali. Tiap desa di Bali pasti memiliki setra yang fungsi utamanya adalah sebagai tempat penguburan atau pembakaran jenazah.
Dulunya, mungkin – sekali lagi mungkin — setra berada di pinggiran desa. Bukan di tengah pemukiman. Ini bisa dilihat di desa-desa di luar Denpasar di mana pada umumnya setra ini berada di pinggir desa.
Namun, Denpasar berbeda. Setra-setra itu sekarang berada di tengah kota, dikepung rumah-rumah warga. Hampir semuanya. Misalnya di Jl Kenyeri, Jl Imam Bonjol, Jl Waturenggong, dan seterusnya.
Meskipun di tengah pemukiman, setra-setra itu tetap terjaga. Salah satu ciri khas untuk mengenali setra adalah adanya pohon menjulang tinggi sampai belasan meter. Pohon berumur ratusan tahun itu, setidaknya begitu menurut para warga, bernama pohon kepuh.
Di bawah pohon kepuh ini, terdapat tanah lapang. Luasnya beragam. Tapi, setidaknya sampai setengah lapangan sepak bola. Di beberapa tempat lain, bisa sampai seluas lapangan sepak bola.
Tanah lapang inilah yang menurutku bisa ditata ulang. Tak hanya “sekadar” tempat pembakaran atau penguburan tapi juga bisa untuk taman kota.
Saya tidak tahu pasti secara aturan adat atau tradisi. Tapi, sebatas yang saya tahu, adat Bali memungkinkan untuk itu. Pada dasarnya, tradisi atau adat Bali tidak menjadikan orang mati atau kuburan sebagai hal menyeramkan atau ditakuti. Malah sebaliknya, dia harus dihormati.
Ini berlaku pula untuk kekuatan-kekuatan “jahat” di sekitar kita. Bukannya dijauhi, kekuatan-kekuatan tersebut harus diakrabi agar bisa dikendalikan. Ada persembahan-persembahan kecil untuk kekuatan tak kasat mata itu.
Artinya, menurut saya, tak masalah jika setra bisa menjadi tempat bersenang-senang.
Ini serupa pula di kota-kota modern, seperti London, Paris, New York, dan lain-lain. Di kota-kota tersebut, kuburan malah bisa jadi tempat jalan-jalan karena saking kerennya.
Ehem, nganu. Saya belum pernah lihat langsung sih. Cuma googling. Lebih lanjut mungkin bisa lihat 10 Kota dengan kuburan paling keren di dunia ini.
Di Indonesia pun tak jauh berbeda. Di beberapa tradisi lokal, misalnya di Flores, Toraja, atau bahkan Betawi, kuburan mereka yang sudah meninggal ternyata bahkan bisa di depan rumah. Artinya di Bali juga sangat mungkin.
Setra bisa dibuat agar lebih menarik sebagai taman kota.
Caranya dengan menata ulang. Tak hanya tanah lapang kosong dengan pohon tinggi menjulang. Detailnya bisa berupa penambahan paving agar tanah lebih ramah untuk pengunjung, ada tempat duduk permanen, ada bunga-bunga, tempat bermain, dan seterusnya.
Dan, ah, tentu saja dilengkapi dengan wifi gratis. Jadi warga bisa terhubung dengan dunia niskala alias dunia maya. Hehehe..
Setra akan lebih cantik terlihat dengan penataan ulang ini. Mereka juga bisa lebih berfungsi untuk tempat penguburan tapi juga tempat hiburan.
Di antara sekian banyak tata ulang, tentu saja fungsi utama setra tetap harus dijaga. Aturan-aturan yang bersifat adat atau tradisi tetap harus dilaksanakan. Misalnya tidak boleh mengotori setra dengan sampah, sumpah serapah, atau kegiatan lain yang mengotori secara skala (terlihat) maupun niskala (tidak terlihat).
Ini akan jadi masalah dan tantangan tersendiri tapi bukan berarti tidak bisa dijaga. [b]
“Provinsi Bandung”
Nah… trus, kapan kita wisata setra sekali sekali dalam kegiatan BBC ? *ahem
eh idenya bli pande cihuiii lho. ayooo #melali ke setra