Oleh Pande Baik
Terkadang saya pribadi suka miris saat membaca berita pada sebuah harian lokal yang rutin kami beli dari loper keliling, Radar Bali.
Bukan lantaran beberapa waktu lalu saya diancam akan dituntut dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) gara-gara tulisan saya tentang wartawan pada media ini, tapi lantaran saya merasakan isi dari berita-berita mereka terkait kegiatan, kinerja hingga segala sesuatu berbau Badung, dikecam habis lengkap dengan foto pendukung dan komentar dari masyarakat terkait isi berita tersebut.
Entah karena masih merasa jengkel dan dendam atas tulisan saya yang dihapus untuk amannya, isi dari pemberitaan tersebut walau saya yakin akan keakuratan faktanya, namun menurut saya pribadi, kok hanya melihat dari sudut pandang wartawan atau masyarakat saja. Tidak melihat dari sudut pandang objek penderita dalam hal ini ya tokoh utama yang diceritakan dalam berita tersebut.
Misalkan saja, foto yang diambil oleh Radar Bali kira-kira seminggu lalu, yang menampilkan seorang pegawai tertidur di balebengong Kantor Gubernur di Renon, Denpasar. Sepertinya foto tersebut diambil diam-diam (tanpa seizin yang tertidur -ya iyalah, masa ya iya dong?). Foto itu diisi kutipan singkat dan ternyata ekor berita tersebut tak Cuma selesai di situ saja tapi berlanjut hingga koran esok harinya. Di mana berita hari itu menyatakan Guberrnur Bali Made Mangku Pastika akan menindaklanjuti siapa pegawai tersebut.
Tak ada yang salah memang, dan Radar Bali wajar saja merasa wajib memberitahukan hal itu pada masyarakat atas dasar kebenaran.
Namun seandainya saja sang wartawan atau juru foto yang menangkap gambar tersebut bisa sedikit berusaha menanyakan langsung pada si tertidur, barangkali apa yang ditampilkan pada media cetak bisa jadi jauh lebih berbobot dan bermakna. Wartawan bisa bertanya sambil ngobrol ngalor ngidul sejenak saat si tertidur bangun atau malah memantaunya dalam satu minggu. Apakah si tertidur melakukannya tiap hari dan atas dasar apa.
Maksud saya di sini, bagaimana kalo si tertidur itu ternyata adalah seorang sopir dari seorang pejabat eselon yang berkunjung ke kantor gubernur? Sambil menunggu usai acara daripada ngerumus togel, mendingan ia beristirahat karena siapa tahu sebentar lagi ia masih harus mengantarkan atasannya ke lokasi lain.
Atau barangkali saja ia tertidur lantaran malam sebelumnya harus menjalani kegiatan adat, seperti ’mekemit di Pura’ atau malah berjaga di rumah kematian kerabat/tetangga di rumah. Bukankah lebih baik ia beristirahat sebentar dibanding kabur dan pulang ke rumah. Bagi saya beristirahat atau tidur sih manusiawi saja. Tapi kalau dilakukan pada jam kerja ya memang salah. Tapi siapa tau si tertidur memang punya alasan lain selain karena malas.
Contoh kasus lain, perihal iring-iringan bupati yang kalau melintasi jalan umum pasti membunyikan sirene seakan kondisi daerah ini sedang genting. Bahkan pendapat masyarakat (tidak secara keseluruhan) menyatakan bahwa jelas itu sangat mengganggu dan seperti pada masa kerajaan saja. (Ini jelas menyentil posisi Bupati Badung lantaran secara historis beliau merupakan salah satu keluarga kerajaan di masa lampau, bahkan hingga kini barangkali).
Padahal awal mula berita itu turun kalo tidak salah karena mobil patwal dokatakan sering tertinggal jauh di belakang lantaran cepat dan gesitnya mobil Pak Pejabat dibandingkan dengan motor sang patwal.
Tapi pernahkah ditelusuri mengapa rombongan Bupati melakukan hal itu? Coba saja direnungkan. Seandainya saja dalam waktu sehari beliau harus menghadiri sejumlah acara yang sudah dijadwalkan sebelumnya berdasarkan undangan dari masyarakat atau pihak tertentu. Itu artinya dalam mobilisasi mencapai lokasi acara, rombongan Bupati harus berusaha sampai tepat waktu. Jarak yang sedemikian jauh harus mampu ditempuh dalam waktu singkat agar jangan sampai baik masyarakat maupun pihak yang mengundang menunggu terlalu lama, bahkan acara berlangsung tanpa kehadiran Pak Bupati.
Bisa dibayangkan kira-kira apa headline koran esok hari apabila Bupati sampai terlambat atau malah tidak dapat hadir di acara-acara tersebut? Bisa-bisa efeknya jauh lebih dashyat.
Tapi sayangnya sekali lagi, media (pasti) menyalahkan sang peran utama atas semua keterlambatan tersebut. Jadi bagi saya apabila rombongan Bupati membunyikan sirene saat melintas jalan umum, ya wajar saja. Wong ia dipilih oleh masyarakat dan harus memenuhi kewajibannya kepada masyarakat. Kalaupun masyarakat sampe menyentil beliau jangan mentang-mentang seperti zaman kerajaan saja, harusnya ditelusuri sedikit, kenapa sampai si narasumber mengatakan hal itu. Apakah ada sentimen pribadi lantaran bukan pendukungnya saat kampanye tempo hari misalnya.
Saya secara pribadi memang gak menyalahkan naiknya berita di media cetak Radar Bali terutama berkaitan dengan kinerja pegawai negeri sipil dan abdi pemerintahan di manapun mereka berada, sangat menusuk isinya. Bahkan bisa dibilang Radar Bali sangat kritis dalam hal ini.
Kenapa? Lantaran saya mengakui kalau citra pegawai negeri sipil (PNS) dan jajarannya itu sendiri sudah sangat buruk di mata masyakat. Kesimpulan ini saya ambil setelah sempat secara iseng mencari keyword ’PNS’ di Mbah Google, dan mendapatkan hasil yang sangat membuat miris hati. Tak satupun isinya yang menyajikan sisi positif dari ’PNS’. Bagaimana bisa?
Yah, itu wajar terjadi karena ada sekian persen oknum yang masih melestarikan budaya negatif dari keseharian mereka. Ini berlanjut hingga saat kewajiban mereka harusnya dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat banyak, malah jadinya melenceng jauh. Tapi mbok ya media bisa juga berpikir jauh lebih arif dari masyarakat dalam menyajikan isi berita mereka.
Memang sih itu tugasnya wartawan, tapi kok saya pribadi merasakan tak jauh beda dengan seorang blogger kayak saya. Yang menuliskan berita asal, semaunya saya sendiri tanpa peduli bagaimana pandangan orang lain pada sesuatu yang saya tulis dalam blog. Didukung pula dengan foto yang diambil diam-diam.
Bukankah media cetak itu seharusnya malah menaikkan tulisan yang jauh lebih berbobot, bermakna dan tentu data yang akurat dan tepat. Tidak hanya sekedar comot sana comot sini, mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan bahan berita lantas mempublikasikannya hanya untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Yah, saya hanya berharap Radar Bali bisa kembali seperti saat mereka tampil pada awal kelahirannya, kritis (beneran kritis) dan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat yang membacanya. Semoga. [b]
pasar..pasar….selera pasar..industrialisme^^
babipost jg…beritanya bintang mlulu…hukz…
mau apa lagi mereka luar dalam memang koran yang kuning luar-dalam emang sudah begitu dari induknya
“we are livi’n in yellow submarine, yellow submarine, yellow submarine…..”
Yellow Submarine
The Beatles.
dengar lagunya dan maklumlah!