Kita melali lagi! Dalam trend anak muda yang positif muncul istilah melali sambil melajah, yang artinya jalan-jalan sembari mempelajari sesuatu hal yang baru. Intinya perjalanan ke Desa Tegallalang kali ini membawa banyak pengalaman. Desa Tegallalang dikunjungi teman-teman dari University of Georgia yang jauh-jauh datang dari USA untuk melali sambil melajah ke Bali.
Mereka datang dengan berbagai jurusan yang mereka tekuni, ada antropolog, juga bidang seni dan lainnya. Sebelum ke Tegallalang mereka sempat mengunjungi daerah-daerah yang gak kalah mernariknya yaitu seperti Karangasem, kemudian Kamasan, dan tentunya di pelosok desa yang autentik pula. Karena mereka akan mengunjungi desa Tegallalang, maka mereka bermalam di salah satu hotel di daerah Ubud.
Perjalanan dimulai dari Ubud menuju Desa Tegallalang dengan mengunjungi pelukis Bapak Pande Ketut Bawa, beliau merupakan pelukis tradisional yang menciptakan gaya sendiri dan memengaruhi rasa pada pelukis tradisional lainnya. Gaya lukisan tradisional Pande Ketut Bawa diakui oleh masyarakat menjadi gaya lukisan tradisional Tegallalang yang mendunia. Para peserta melali pun antusias dalam menyerca pertanyaan kepada Pande Ketut Bawa sang pelukis, kok bisa sih lukisannya sedetail itu?
Dengan senyuman serta kumis tipisnya beliau menjawab, dengan ketekunan dan kesabaran terjadilah lukisan yang detail seperti ini. Memang mengujutkan lukisan beliau telah laku ratusan juta, saking cintanya dan teliti dalam berkarya. Peserta melali sampai kehabisan kata-kata dengan melihat keterampilan beliau menstilir bentuk-bentuk alam ke dalam lukisannya.
Lanjut cabut dari rumah Bapak Pande Ketut Bawa, peserta menuju rumah arsitek tradisional yang kini sudah mulai menikmati masa pensiunnya dalam mengerjakan bangunan tradisional Bali, yaitu Kakek Winarka sang Undagi, sebutan untuk ahli bangunan tradisional di Bali. Peserta melali langsung disambut oleh Kakek Winarka dan langsung menyapa dengan bahasa Bali. Untungnya ada penerjemah sekaligus pemandu dalam melali kali ini, peserta langsung melihat komponen dapur tradisional Bali yaitu Paon dalam bahasa Indonesia berarti Dapur.
Dijelaskan oleh Kakek Winarka, bahwa dapur di Bali diyakini memiliki kemampuan spiritual dalam memberikan spirit dalam hal kebutuhan pokok. Pada dapur diyakini ada tiga dewa yang disebut Tri Murti kemudian memberikan spirit masing masing yaitu, Dewa Brahma pada Api, Dewa Wisnu pada Air, dan Dewa Iswara pada angin. Kemudian dalam mengerjakan bangunan Tradisional Bali, Kakek Winarka juga mepresentasikan karyanya dan juga perabot tradisional yang beliau gunakan. Beberapa alat yang masih tradisional yaitu, Sangkal, Klisut, Pahat, dan Pangotok (palu) semua nama alat tersebut merupakan istilah dalam Bahasa Bali.
Kemudian berpindah ke tempat melali paling terakhir, yaitu rumah Bapak Sukanda seorang Mangku atau Pemangku yang dapat dijelaskan dengan seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam keagamaan di Bali. Di rumahnya terdapat berupa warisan Lontar atau buku beraksara Bali dalam media daun Lontar. Dalam kesempatan ini para peserta melihat beberapa Lontar yang berisikan kitab pengobatan tradisional, kemudian tata laksana sebagai Undagi atau arsitek tradisional Bali, ada pula tentang ilmu spiritual Bali yang disakralkan.
Sebelumnya, para peserta telah dijamu dengan makanan khas Bali yaitu Lawar dan Kuah Ares atau Gedebong Pisang yang tentunya sangan menggugah selera. Setelah makan, para peserta melihat koleksi lontar dan mendengarkan bait Kekawin yang dilantunkan oleh Bapak Sukanda secara langsung.
Karena sayup-sayup alunan bait Kekawin, para peserta terhanyut dalam lagu membuat sedikit mengantuk. Untuk menyegarkan kembali, para peserta disuguhkan kopi Bali yang disajikan secara Tubruk atau seduhan khas Indonesia kemudian menikmati demo Topeng Bali yang dibawakan secara langsung. Kali ini Topeng Bali diprsentasikan oleh Satya Bhuana dengan mengenalkan tokoh dan karakter dari masing-masing topeng. Gelak tawa yang sedikit berbisik menghiasi ketika memperagakan salah satu Topeng Bali, tawa mereka lepas karenaketidak pahaman dari bahasa tembang yang peserta dengarkan.
Pengalaman melali ditutup dengan kelas singkat melukis tradisional oleh salah satu murid Bapak Pande Ketut Bawa yang ditemui diawal. Dia bernama Gede Yudistira, yang sudah akrab dengan lukisan tradisional sedari anak-anak. Gede melanjutkan hobi melukisnya kemudian dibimbing oleh Bapak Pande Ketut Bawa kemudian kali ini berbagi dengan para peserta melali.
Para peserta melali dicontohkan salah satu ornamen sederhana yaitu Patra Pungel dengan beberapa tahapannya. Mungkin ini akan menjadi pengalaman dan juga menjadi kenang-kenangan mereka saat melali ke Desa Tegallalang, hasil lukisan yang dipandu oleh Bli Gede Yudistira langsung dibawa pulang kemudian disimpan dengan baik untuk mereka. Harapannya dari lukisan mereka sendiri akan menjadi pengingat bahwa Tegallalang memiliki cerita yang sangat dalam dan jarang tersentuh.
Rute-rute Melali ke Desa lainnya bisa dipilih di web melali.id. Pilih tanggal di kalendernya, lalu reservasi ya. Rute itu juga bisa dimodifikasi dengan kesepakatan bersama, seperti perjalanan kali ini. Yuk Melali ke Desa, karena hidup adalah desa.