Oleh Anton Muhajir
Minggu lalu saya bekerja membantu panitia Joint Convention Bali (JCB) 2007. Lembaga kami Sloka Institute yang bergerak di bidang pengembangan media, jurnalisme, dan informasi membuat media internal untuk konvensi gabungan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) – Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) – Ikatan Ahli Pertambangan Minyak Indonesia (IATMI) tersebut.
Selama empat hari (Senin-Kamis), saya dan dua teman lain pun harus bolak-balik Denpasar – Nusa Dua karena konvensi itu dilaksanakan di Bali International Convention Center (BICC) Nusa Dua sedangkan cetak media internal itu harus di percetakan Temprina milik Jawa Pos di Denpasar.
Empat hari bolak-balik Denpasar – Nusa Dua itu ternyata melelahkan. Dulu, ketika saya masih kuliah di kampus bukit Universitas Udayana Bali di Jimbaran, jarak itu tidak terlalu jadi masalah. Mungkin karena sudah bertahun-tahun, persisnya delapan tahun, menempuh perjalanan sekitar 25 km tersebut. Jadi rutinitas itu tidak terasa.
Tapi sekarang berbeda. Saya sudah lama tidak ke Nusa Dua, apalagi harus bolak-balik tiap hari. Jadi, perjalanan saat ini terasa sangat membosankan dan melelahkan.
Jarak Denpasar – Nusa Dua sebenarnya relatif tidak jauh. Mungkin hanya 30 km. Namun perjalanan ke Nusa Dua jadi menyebalkan karena beberapa hal.
Pertama jalan yang ditempuh ke Nusa Dua harus memutar. Dari Denpasar, kita harus lewat Jalan By Pass Ngurah Rai yang melewati Kuta timur, Tuban, Jimbaran, baru ke Nusa Dua. Ini satu-satunya jalur untuk ke Nusa Dua dari Denpasar. Makanya, kalau jalan raya di samping bandara itu putus, misalnya karena naiknya permukaan air laut, maka praktis tidak ada jalan lain. Ini yang sebenarnya harus diantisipasi.
Perjalanan memutar ini, tentu saja, menyebalkan. Sebab jarak Nusa Dua – Denpasar itu seharusnya bisa lebih dekat kalau pemerintah Bali mau sedikit berusaha untuk membuat jembatan yang bisa menghubungkan Benoa atau Serangan (bagian paling selatan dari Denpasar) dengan Tanjung Benoa.
Kondisinya begini. Kalau ditarik garis lurus, Denpasar – Nusa Dua itu bisa lebih dekat. Mungkin tidak sampai 15 km. Tapi jarak ini terpotong oleh selat kecil sehingga tidak bisa dilewati dengan kendaraan darat. Kalau mau nyeberang ya harus ke Pelabuhan Benoa lalu naik jukung ke Tanjung Benoa baru ke Nusa Dua. Nah, kalau saja ada jembatan yang menghubungkan Tanjung Beno dengan Benoa atau Serangan, maka jelas perjalanan akan lebih dekat. Konsekuensinya banyak: waktu lebih hemat, bahan bakar minyak lebih hemat, tenaga lebih hemat, dan seterusnya.
Saya pernah mendengar adanya rencana pembangunan jembatan ini. Tapi tidak terlalu jelas. Katanya sih ada yang menolak karena dianggap tidak sesuai dengan adat dan budaya Bali. Kalau sudah dua hal ini dipakai alasan, waduh, itu sudah seperti harga mati. Susah dibantah.
Alasan kedua kenapa perjalanan ke Nusa Dua menyebalkan adalah karena kita juga harus menempuh jalanan yang tidak sedikit macetnya. Dari rumah saya di Denpasar Utara ke Denpasar Selatan saja sudah macet tak terbilang. Paling parah sih kalau pagi-pagi sekitar pukul 08 Wita macet ini di Jalan Pattimura, Jalan Surapati, Jalan Letda Made Putra, Jalan Waturenggong, Jalan Diponegoro Selatan dekat Pesanggaran, hingga Jalan By Pass Ngurah Rai di daerah Simpang Siur, Kuta Timur.
Ada beberapa titik menyebalkan karena kemacetan itu. Misalnya Jalan Waturenggong dan Jalan Diponegoro Selatan. Macetnya parah banget. Biasanya sih karena lampu merah saja. Tapi panjang macet ini bisa sampai 500 meter. Lalu pengguna jalan serobot sana serobot sini seenaknya.
Jadi baru berangkat kerja saja otak kita sudah penuh dengan rasa sebal, capek, marah, dan seterusnya. Saya jadi berpikir bagaimana dengan mereka yang tiap hari harus mengalami hal seperti ini? Tidakkah bebannya jauh lebih berat?
Empat hari bolak-balik Denpasar – Nusa Dua, saya jadi ingat tulisan di Reader Digest soal lalu lintas Jakarta. Judulnya kurang lebih sama: kita bisa mati tua di jalan raya karena saking lama dan menyebalkannya perjalanan itu. [b]