Konflik antara manusia dengan satwa juga terjadi di lautan.
Bedanya, jika di hutan kita menemukan konflik manusia dan orang utan, masyarakat dengan harimau, gajah, badak dan lainnya, maka di laut juga ada konflik manusia dengan sebut saja paus, penyu serta hiu.
Hiu merupakan top predator yang banyak sekali dibicarakan.
Baru-baru ini ribuan orang di Australia Barat berkumpul membicarakan kebijakan pemerintah untuk membunuh hiu agar tidak mengancam manusia. Namun bagi para aktivis lingkungan, masalahnya tidak sesederhana itu. “Biarkan hiu-hiu itu hidup. Itu tempat mereka,” seru para aktivis.
Hiu-hiu yang dibunuh adalah hiu yang memiliki panjang 3 meter. Hal ini dikarenakan sering sekali hiu menyerang manusia yang sedang melakukan kegiatan di sepanjang pantai.
“Hiu adalah hewan penyeimbang,” ujar Dewa Wirya salah seorang nelayan Kusamba, Klungkung, Bali. Menurutnya, hiu hanya akan memakan tongkol-tongkol yang tidak sehat.
Berdasarkan pengalamannya jika ada tongkol yang gerakannya lamban atau keluar dari kelompoknya maka hiu akan memfokuskan mangsanya pada ikan satu itu. “Banyak sekali hiu yang hidup di perairan timur Bali,” ungkap Wirya.
Pada Juli tahun lalu di daerah pantai Klatakan, Kabupaten Jembrana terdapat satu hiu mati terdampar. Panjangnya empat meter. Penyebab kematiannya karena luka pada mulut yang diperkirakan adalah luka bekas kail pancing.
Menurut catatan National Geographic tiap tahun 100 juta ekor hiu dibunuh. Angka ini didapatkan dari berbagai data ilmiah yang dikumpulkan. Data di atas memang tidak akurat, untuk itu para ahli memberi data rentang kematian antara 63 juta sampai 273 juta ekor tiap tahun.
Hiu diburu untuk siripnya yang biasanya digunakan untuk sup sirip hiu yang memiliki khas serta tidak berbau. Dari cita rasa sirip itu di Asia banyak orang mengonsumsinya. Hal paling mencengangkan bahwa harga per mangkuknya mencapai Rp 1 juta.
Karena permintaan di atas itulah maka hukum permintaan yang bermain. Meski sudah dilarang undang undang namun hiu tetap diburu. Konflik ini akan terus berlanjut seiring angka yang terus merongrong.
“Hidup di lautan haruslah seimbang,” ungkap Dewa Wirya. Ambil saja contoh hewan lumba-lumba merupakan musuh nelayan ikan tongkol. Hal ini karena lumba-lumba memakan tangkapan nelayan. Namun, jika diambil positifnya bukankah lumba lumba serta burung camar yang menjadi kompas nelayan dalam mencari ikan?
“Yang paling penting adalah mengedukasi para nelayan serta para pemesan hiu di pasaran, dengan menjaga keseimbangan maka hidup akan semakin baik,” ungkap Renggo nelayan lain. Menurut Renggo, masalah nelayan adalah menyelamatkan profesinya.
I Nyoman Yayus nelayan lain mengatakan profesi nelayan diapit dari empat penjuru. Dari arah belakang nelayan harus menyiapkan modal untuk melaut, dari depan dihantui tangkapan yang belum pasti, dari kiri ada kebutuhan keluarga sementara dari kanan masih ada saja rentenir yang memanfaatkan profesi nelayan.
“Hidup kami kini semakin sulit,” ungkap I Nyoman Yayus sambil mengakhiri obrolan kopi kami di pagi itu. [b]