Oleh I Nyoman Darma Putra
UPACARA kremasi almarhum Tjokorda Gde Agung Suyasa (Selasa, 15/7) mendapat liputan luas media massa dari semua penjuru benua, mulai dari Afrika, Eropa, Amerika, Australia dan tentu saja Asia. Kiranya tidak ada peristiwa adat dan tradisi di Nusantara yang pernah mendapat liputan seluas dan seantusias kremasi bangsawan Ubud di awal milineum ini.
Di Benua Afrika, berita kremasi disiarkan koran The Mercury, di Timur Tengah Gulf Times (Qatar), lalu The New York Times dan koran lain di Amerika, International Herald Tribune (edisi global New York Times), ABC Australia, Reuters dan BBC di Eropa. Koran-koran nasional seperti Kompas, The Jakarta Post, dan kantor berita Antara juga antusias memberitakan prosesi kremasi Ubud.
Tepatlah langkah bagian pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata untuk memfasilitasi pusat informasi (media centre) untuk mendapatkan efek promosi maksimal dari kremasi ini, tanpa mengganggu jalannya prosesi sesuai tradisi. Promosi ini penting artinya, karena Amerika belum lama lalu mencabut travel warning-nya ke Indonesia, termasuk Bali.
Spektakuler
Kantor berita dan media massa berbagai benua mengabarkan pelaksanaan tradisi Bali itu sebagai spektakuler dan kolosal. Yang mengagumkan hampir semua media memuat foto-foto kremasi yang sangat indah, warna-warni, penuh energi dan pesona.
Koran The Boston Globe memuat 13 foto jepretan fotografer Reuters yang sangat dahsyat dan memuaskan inderawi sekaligus menggetarkan rasa. Sementara itu, koran The New York Times dalam website-nya memasang slide foto kremasi Ubud yang berisi 19 rangkaian foto mulai dari lembu raksasa, naga banda dan jilatan api. Juga dimuat lokasi Bali dalam peta Indonesia agar pembacanya di Amerika sana mudah membayangkan.
Publikasi sekian banyak foto kremasi Ubud di media massa dunia membuktikan bahwa budaya dan alam Bali adalah fotogenik di mata fotografer dan kameraman televisi dunia. Selain itu, foto-foto indah itu merupakan refleksi dari puncak kreasi masyarakat Ubud yang bisa menghadirkan kebesaran, kerumitan dan estetika penuh vitalitas.
Tulisan dan foto-foto itu secara tidak langsung merupakan promosi besar buat Bali sebagai daerah pariwisata yang terkenal akan keindahan alam dan keunikan budayanya. Bayangkan, kalau pemerintah dan pengusaha harus memasang iklan di media massa besar di berbagai penjuru benua, berapa milyar rupiah yang harus dikeluarkan. Kremasi Ubud menjadi ajang promosi Bali skala besar.
Selain berita di koran, features kremasi Ubud juga akan muncul dalam siaran-siaran televisi dalam waktu yang tidak lama lagi. Siaran TV itu tentu akan memperpanjang geliat promosi Bali. Di samping liputan media massa resmi, denyut promosi Bali itu juga menggeliat lewat blog-blog yang dibuat publik, turis atau peneliti. Jumlahnya tak terhitung.
Kremasi 2004
Hal kecil yang kurang dari liputan media massa tentang kremasi di Ubud, Minggu lalu adalah klaim bahwa ini adalah peristiwa besar dalam tiga dekade terakhir. Pernyataan ini seolah menegaskan bahwa tidak pernah ada kremasi sespektakuler ini sebelumnya.
Padahal tak lama lalu, tepatnya Juli 2004, keluarga Puri Ubud juga menggelar ngaben yang sama kolosalnya. Kalau ngaben 2008 untuk almarhum Tjokorda Gde Agung Suyasa, yang tahun 2004 untuk Tjokorda Istri Muter, saudara kembar buncing Tjokorda Gde Agung Sukawati, panglingsir Puri Ubud sebelum Tjokorda Suyasa.
Sarana upacara seperti bade, naga banda, dan lembu juga sama. Bade untuk kremasi 2008 beratnya kurang lebih 11 ton dan tingginya sekitar 28,5 meter, tak beda dengan kremasi 2004. Keduanya dikerjakan oleh warga Ubud di bawah pimpinan arsitek yang sama, Tjokorda Gde Sukawati (48), sehari-hari dosen Fakultas Ekonomi Unud.
Peristiwa ngaben 2004 juga memikat hati media massa dunia, seperti BBC (radio/TV) dan ABC Australia. Radio BBC menyiarkan langsung upacara itu dari Ubud, dan awak BBC TV, bersama ABC TV dan Trans TV, bahkan mengikuti kegiatan rangkaian upacara pembuangan abu jenazah ke laut sampai pukul dua pagi.
Televisi ABC menayangkan ngaben Ubud 2004 itu dalam program Foreign Correspondent berjudul ‘Bali Godess’, melukiskan kehidupan Tjok Istri Muter sebagai dewa. Reporter ABC Australia Tim Palmer dan kameraman Dave Anderson begitu puas meliput kremasi itu, sebuah selingan jurnalistik bagi mereka setelah jenuh meliput peristiwa dan sidang-sidang bom Bali saat itu.
‘Bali Godess’ ditayangkan November 2004 di Australia. Liputan media massa atas kremasi 2004 telah ikut meningkatkan jumlah wisatawan datang ke Bali pascabom Bali, sehingga tahun 2004/2005 (sebelum bom kedua) angka kunjungan wisatawan sudah pulih.
Liputan kremasi 2008 juga diharapkan bisa memotivasi keinginan warga dunia untuk berlibur ke Bali, termasuk turis Amerika pascapencabutan travel warning ke Bali dari pemerintahan George Bush.
Puja-puji
Puja-puji media massa dunia dalam liputannya tentang kremasi Ubud 2008 hendaknya dijadikan refleksi untuk terus memperbaiki Bali. Siapa pun tahu bahwa Bali kini mengalami banyak masalah, seperti rusaknya pemandangan akibat pembangunan yang tak teratur, polusi lingkungan dan kemacetan lalu lintas di daerah wisata. Seperti halnya di Denpasar dan Kuta, lalu lintas macet sudah menjadi pemandangan sehari-hari di Ubud.
Tak lama lalu, satu keluarga turis Australia mengeluh. Saat jalan-jalan sore di Monkey Forest Road mereka dan anaknya yang didorong dengan kereta bayi (stroller) bersin-bersin akibat asap knalpot mobil. Asap mobil-mobil menyembur-nyembur akibat lalu lintas macet, sementara separuh badan jalan dipakai parkir. Turis Australia itu tidak bisa menikmati pesona Ubud karena diterjang polusi.
Yang perlu direnungkan bahwa budaya Bali tidak saja terpancar dari keagungan tradisi dan keanggunan seni lukis dan pertunjukan, tetapi juga di jalan raya kita. Maukah kita membiarkan lalu lintas yang semrawut dan polusi udara menodai pesona seni dan tradisi kita?
Masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang memfasilitasi media centre saat kremasi Ubud perlu segera menata Ubud! Mungkin hanya dengan demikian, liputan luas media massa dunia atas kremasi Ubud bisa memberikan makna maksimal untuk penataan Ubud khususnya dan Bali pada umumnya. [b]
Darma Putra, Dosen Fakultas Sastra Unud dan Menulis dari Brisbane
Catatan: Tulisan ini dimuat di Bali Post Sabtu [26/7/08]
ngaben ini memang besar.tapi saya melihat nuansa subyektifitas tinggi dan hiperbolis di tulisan ini.bagi sebuah ngaben puri ubud ini tergolong biasa lah. dan media dunia tidak segitunya.buktinya pasca 2004 yang katanya diliput besar2an itu nyatanya kenaikan turis tidak terlalu signifikan.ini dari pengamatan saya yg bergerak di pariwisata.jadi ini sesuatu yang biasa terkesan jadi sangat luar biasa.biasa sajalah.dan masalah kesemrawutan itu sudah konsekuensi dimana-mana.mau tidak semrawut? jangan jadikan bali daerah tujuan wisata dan pemusatan modal.beres.tapi bali akan lacur.
saya setuju dengan ide bli gede di atas, jangan sampai euforia ngaben yang diklaim spektakuler ini jadi topeng atas bali yang carut marut. saya mengapresiasi terbentuknya media center pada upacara ini sebagai sumber informasi yang sangat bermanfaat bagi media.
Saya lihat departemen pariwisata mengucurkan uang yang sangat luar biasa pula pada event ini. semoga pak jero wacik berbuat adil juga dengan even lain di indonesia.
Menurut saya, pendanaan swadaya masayarakat seperti biasanya pada upacara ngaben jangan tergantikan oleh dana pemerintah yang ingin membuat industri pariwisata berdenyut. Medana punia silakan, tapi tidak mematikan udaya swadana. JIka ini terjadi, niscaya terus menerus masayarakat akan natakin lima. Apalagi kelompok masayarakat lain yang tahu berapa dana yang dikucurkan pemerintah.
itulah indahnya tradisi kita, ketika kita bergotong royong.
saya juga tidak simpati ketika mendengar informasi dari teman yang bekerja di ubud, yang mengeluh karena penebangan pohon. Saya pikir bisa direncanakan tanpa menebang pohon.
Iya, benar pak darma, ngaben 2004 lalu juga sama besarnya.
Dancing on the dead body?
Yap untuk penyelenggaraan Media Centre- nya.
karena media asing sudah menjadualkan liputan tersebut sejak mendapat informasi bahwa Juli ada upacara ngaben massal di Bali salah satunya di Puri Ubud 15 Juli.
Jadi sejak bulan Juni, ratusan crew media asing sudah sliweran di Bali, tanpa harus koar- koar bahwa mereka awak media massa asing.
Wajar jika kemudian seminggu sebelum tanggal 15 Juli redaksi mereka mendapat undangan dari Indonesia untuk MELIPUT acara itu. Reaksinya Are you dancing on the dead body dengan nada tinggi.
Yah, negatif marketing lagi dech.
Mudah- mudahan hasil liputan mereka tidak diklaim bahwa itu HASIL UNDANGAN.
Kacian dech media.
Yah saya setuju itu memang upacara yang sangat besar apalagi katanya berita, menghabiskan dana sampai miliaran rupiah. Namun yang menjadi pertanyaan saya, apakah hal itu harus kita lakukan, khususnya oleh keluarga eks raja2 yg ada diBali ditengah himpitan kemiskinan masyarakat kita? Yang bahkan hanya untuk makan hari ini saja sudah susah?
Menurut saya akan jauh lebih baik kalau dana sekian banyak dipakai untuk memberikan bantuan dalam rangka membangun generasi muda Bali yang saat ini kesulitan dalam menempuh pendidikan. Siapa tau nantinya Bali bisa bener2 dikelola oleh orang Bali, sehingga ajeg Bali bisa benar2 tercapai dan bisa kita wariskan ke anak cucu kita. Dari pada sekarang kita hanya kebagian sebagai preginanya, sedangkan yg untung orang lain.
Ada yang keberatan?
sampai kapan masyarakat Bali, mau dan bisa diajak jor-joran ritual kayak gini? apa yang mau dibuktikan? di karangasem dan buleleng masih banyak warga miskin yang belum bisa makan 3 kali sehari. capek deh….
wawan, bagaimana kalau pembangunan pariwisata karangasem dan buleleng digenjot dikit seperti di ubud, tapi terbatas, agar PAD di kedua daerah itu meningkat sehingga ada dana untuk membangun pendidikan atau air bersih. masak kalau buleleng dan karangasem ngundang investor, orang-orang ‘bali selatan’ protes agar daerah-daerah itu jangan dirusak sementara mereka yang protes tak pernah mau hidup di sana. capek deh…capek dong…
Thanks, Pak Darma. Bapak orang asli Bali yang tepat sekali untuk menulis artikel seperti itu.
Saya rasa perlu ada cultural & tourism highlights (icons) exposures dari suatu negara, dan untuk itu Ngaben di Bali (antara lain) cocok sekali (one of the best) untuk Indonesia, sama seperti Perayaan Natal & Sinterklas di negara-negara Barat, Mooncake Festival di Hongkong, dan Festival Bunga Sakura dan Ice Carving di Jepang, dll.nya. Ya, tentu saja memakan biaya banyak karena besarnya dan indahnya, dan sudah sewajarnya kalau Pemerintah memberi bantuan dana karena impactnya kuat sekali untuk menggalakkan kembali kepariwisataan tidak hanya di Bali tetapi juga ke kawasan Indonesia lainnya.
Memang seakan-akan ironi hal seperti itu diselenggarakan sewaktu di mana-mana masih ada kemiskinan dan rakyat yang lapar, tapi kurang benar juga kalau upacara-upacara dan perayaan-perayaan adat yang penting dan indah seperti itu (dengan daya tariknya ke seluruh dunia yang dahsyat sekali!) tidak boleh diselenggarakan karena masalah kemiskinan belum teratasi.
Masalah kemiskinan, pengangguran dsbnya harus ditangani oleh bidang dan sektor lain dari Pemerintahan dengan cara tersendiri yang sungguh-sungguh, benar dan tepat. Idea yang baik antara lain mengadakan program peningkatan taraf pendidikan dan ketrampilan, serta menggalakkan kepariwisataan atau meningkatkan sumber penghasilan lain di wilayah miskin tersebut untuk mengangkat mereka dari kondisi tsb.