Oleh Luh De Suriyani
Wakil Gubernur Bali Kesuma Kelakan dan Wakil Bupati Buleleng Gede Wardana hanya menghela nafas panjang ketika mereka berkunjung ke Gerokgak, Buleleng, pada 2007 lalu. Dua pejabat teras Bali ini dengan wajah riang campur trenyuh memangku dua bayi kembar yang dilahirkan oleh ibunya yang terinfeksi HIV.
Dua wajah bayi itu menunjukkan fenomena gunung es yang sebenarnya terjadi di Bali. Ibu-ibu rumah tangga yang tidak berperilaku beresiko serta anak-anak mereka kini menjadi korban HIV, virus yang melemahkan ketahanan tubuh itu.
Ratapan sang ibu dan si bayi kembar tak bersudahan. ”Kenapa kami yang harus menghadapi HIV ini juga?”. Sampai kini keluarga miskin di utara Pulau Bali ini masih sulit menjelaskan apa itu HIV dan bagaimana masa depan mereka.
Di Rumah Sakit Sanglah saja, semakin banyak ibu-ibu yang melakukan terapi agar anaknya tak tertular HIV seperti ibunya. Sang ibu sudah merelakan terinfeksi HIV dari suaminya. Karena itu, ia tak ingin anaknya juga membawa HIV dalam tubuhnya.
Untung saja Men Sari, sebut saja demikian, tak sendiri. Ia, suami, dan anak-anaknya kini dibantu banyak orang untuk melakukan pengobatan. Keterbukaan keluarganya membuat banyak pihak bersimpati dan mengulurkan tangan.
Misalnya anak-anaknya diberikan bantuan pangan dan susu dari Bali Community Cares. Sedangkan Men Sari dan suami dibantu penyediaan obat antiretroviral (ARV) sebagai penghambat pertumbuhan HIV dalam tubuh. Ketika melahirkan si kembar pun, Men Sari mendapat bantuan operasi dan pendampingan dari konselornya di Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI).
Keterbukaan keluarga Men Sari juga berbuah empati dari tetangganya di desa. Masyarakat sekitar mau belajar soal HIV dan tidak serta merta menjauhi keluarga itu. Tetangga dan kerabatnya yang lain juga kini mempercayai bahwa infeksi HIV itu ada dan siapa pun bisa kena.
Masyarakat di sejumlah dusun di Buleleng telah menunjukkan keinginannya untuk mencegah penularan HIV ke lebih banyak keluarga sekaligus berani menghadapi HIV itu sendiri. Salah satu tokoh kuncinya adalah petugas penjangkau. Misalnya yang dilakukan petugas lapangan YCUI. Setelah itu kini ada Kader Desa Peduli AIDS (KDPA).
Diawali pada Februari 2005, ketika YCUI membuat pelatihan KDPA pertama di Buleleng. Enam belas orang kader desa pertama yang bersedia menjadi saluran informasi dan komunikasi soal HIV/AIDS di desanya. Kader desa ini diharapkan mampu mengurai kesalahpahaman soal infeksi HIV.
“Petugas LSM tidak bisa selamanya bertugas di desa, karena itu harus ada penduduk desa setempat yang akan memfasilitasi kasus-kasus HIV,” kata Anang, pengurus YCUI. Kader desa ini mirip relawan yang kegiatannya tidak terikat. Mereka hanya dibekali kode etik, diantaranya menjaga kerahasiaan orang dengan HIV/AIDS (Odha) dan memberikan informasi yang benar.
Setelah Buleleng, KDPA kini ada di enam kabupaten dan kota di Bali, kecuali Klungkung, Gianyar, dan Bangli. Total ada 243 orang relawan KDPA di 118 desa/kelurahan se-Bali. Setelah dua tahun, kader-kader desa ini dianggap YCUI sebagai modal untuk keberlanjutan program penanggulangan AIDS di desa-desa.
Misalnya kader-kader desa yang terdidik soal HIV dan AIDS ini bisa menjadi pihak pertama yang dicari warga setempat jika ada fobia atau kepanikan karena munculnya kasus HIV di daerahnya. Hal ini terbukti dari beberapa kasus yang muncul, dan kader desa berperan untuk memfasilitasi agar Odha dapat segera mendapat pelayanan kesehatan.
Pun demikian, kebanyakan Odha yang terjangkau di desa-desa adalah mereka yang terlambat mendapat tindakan medis. “Banyak sekali Odha yang didampingi, penyakitnya sudah tahap terminal. Gejala penyakitnya sudah sangat parah dan akhirnya mereka meninggal,” ujar Novita E. Wuntu, salah seorang konselor yang kerap mendampingi Odha di rumah sakit.
Inilah yang menyisakan pekerjaan berat. Odha yang telah meninggal itu tentu kemungkinan besar punya istri, suami, pacar, atau anak yang beresiko tertular HIV. Ini karena Odha yang telah meninggal itu tidak menyadari sebelumnya terinfeksi HIV, namun sudah bisa menularkan ke pasangannya.
HIV dapat menular melalui pintu masuk darah dan cairan kelamin. Artinya siapa pun bisa beresiko terinfeksi HIV juga jika berkaitan dengan dua hal itu. Tak semua orang yang sempat kontak darah atau cairan kelamin, langsung kena. Tergantung jumlah virus dan kondisi fisiknya. Satu-satunya cara untuk memastikan hanya dengan tes HIV sukarela dan rahasia yang bisa didapatkan secara gratis di Rumah Sakit Sanglah dan sejumlah klinik lain.
Tantangan untuk Novita dan konselor lainnya adalah melakukan pendekatan ke orang-orang terdekat Odha untuk memberikan informasi dan pencegahan. Ini pula yang dilakukan ke Men Sari. Setelah dipastikan suaminya terinfeksi HIV, konselor atas ijin suami melakukan pendekatan ke istrinya. Karena itulah kini Men Sari dapat lebih cepat mendapat pengobatan dan pencegahan agar tidak menulari anak-anaknya juga.
Bayangkan saja, berapa lipat orang yang dengan mudah tertular jika konselor atau petugas lapangan tak sigap melakukan penjangkauan ke keluarga Odha. Kini, tantangan ini diamanatkan ke kader-kader desa untuk meluaskan informasi HIV dan AIDS yang benar.
Upaya menutup diri dari sesuatu yang bisa dihindari mungkin hanya menghasilkan penyesalan. Bagaimana cara kita menjawab, misalnya jika si kembar nanti bertanya, “Kenapa saya bisa kena HIV, apa yang saya lakukan?”