Pertemuan para elit negara penyumbang emisi terbesar di dunia telah berlangsung di Bali. Para pemimpin KTT G20 adalah negara dengan 2/3 jumlah penduduk dunia. Namun selama perayaan tersebut, pemerintah dinilai memilih membungkam partisipasi masyarakat demi mengamankan citra pemerintah di mata internasional.
Gerak Rakyat, aliansi yang terdiri dari 350 Indonesia, XR Indonesia, Satya Bumi, Yayasan Pikul, Public Virtue Research Institute, WALHI, Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, Lembaga Peradaban Luhur, Aksi! For Gender, Social, and Ecological Justice, Trend Asia, dan YLBHI menyayangkan aktivitas masyarakat sipil yang diselenggarakan di Bali dihentikan oleh negara dengan cara intimidasi dan penjegalan. Padahal penyampaian aspirasi, pendapat, dan pikiran dijamin oleh konstitusi. Namun nyatanya, gegap gempita KTT G20 hanya dirasakan oleh para elit dan berbanding terbalik dengan suasana mencekam di masyarakat.
Asfinawati, mantan Direktur YLBHI mengatakan Indonesia sudah mundur jauh. Ia mempertanyakan apa salahnya bersepeda? Apa salahnya berkumpul? Apa salahnya live streaming? Menyebut beberapa hambatan saat hendak menyampaikan isu keadilan selama G20.
Tiap perwakilan lembaga menyampaikan keprihatinanya pada jumpa pers online pada 12 dan 16 November lalu. Penyelenggaraan KTT G20 mestinya menjadi forum untuk menuntaskan berbagai permasalahan dunia, termasuk di antaranya masalah krisis iklim yang semakin nyata. Berikut adalah pernyataan sikap aliansi masyarakat sipil atas KTT G20 di Bali.
“Recover Together, Recover Stronger.” Sejak tahun lalu slogan ini tertempel di bandara, stasiun dan papan-papan iklan di jalanan. Uraian singkat di website penyelenggara menjelaskan apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “pulih bersama dan pulih lebih kuat”. “Ketika pandemi global terus mencekam semua sektor kehidupan, masa depan dari kemakmuran bersama kita bergantung pada kemampuan kolektif kita menciptakan pondasi pertumbuhan yang melibatkan semua pihak dan berkelanjutan.” Jadi, pusat persoalan adalah kemakmuran bersama 20 negara anggota forum beserta pertumbuhan ekonominya; keduanya terganggu berat oleh pandemi.
Tak diragukan, dengan kendali atas 75% perdagangan dunia, rumah dari dua-pertiga jumlah penduduk bumi dan kuasa atas separuh luas daratan di bumi, hari ini Klub G 20 adalah elit politik global. Identitas Klub G20 yang dipertontonkan kepada negara-negara di luarnya dan menjadi sumber rasa bangga adalah kekayaannya, bertolak belakang dengan identitas kolektif maupun penglihatan bersama dari sesama negara bekas jajahan di Asia dan Afrika di 1955 dan 1961.
Dulu ketika klub G20 dilahirkan di 1999 di tengah Krisis Ekonomi Asia, fokusnya adalah perumusan protokol untuk mengatasi ketidakstabilan keuangan internasional, yang bahkan tidak mampu memprediksi runtuhnya pusat transaksi keuangan global di Wall Street AS di 2008. Beberapa simpul dari putaran pertemuan pendahuluan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral tidak menunjukkan perubahan mendasar dalam pendekatan atas kekacauan di jantung pembesaran ekonomi: liberalisasi perdagangan, dukungan penuh untuk peran lebih besar bagi korporasi di pasar yang tengah berkembang, peran penuh dari sektor swasta dalam pengembangan infrastruktur “hijau”.
Bagaimana dengan penanganan penyebab mendasar dari sang wabah? Atau penyebab mendasar dari kekacauan iklim? Berapa panjang jangka waktu yang mampu dibayangkan penguasa kapital global ini sebagai “masa depan”?
Proyek Strategis Nasional dan Energi
Pemerintah telah memaksakan Proyek-proyek Strategis Nasional (PSN) di berbagai daerah dengan merampas tanah-tanah rakyat. Pembangunan PLTU Batubara, waduk, jalan tol, food estate, geothermal, sampai proyek Ibu Kota Negara (IKN) terus dikejar. Selain tidak menjawab kebutuhan rakyat, seluruh proyek tersebut juga menutup kesempatan rakyat untuk mengambil keputusan atas ruang hidupnya sendiri. Proyek energi yang diklaim energi bersih seperti PLTA dan geothermal dibangun di atas tanah-tanah rakyat dan menghancurkan lahan hutan ribuan hektar.
Saat ini, dampak lingkungan terhadap proyek-proyek tersebut sudah menimpa masyarakat: sumber air kering, air minum tercemar, lingkungan tercemar, udara kotor, tanah pertanian rusak, ikan-ikan mati, hutan-hutan rusak, dan areal tangkapan nelayan menyempit.
Pembungkaman Demokrasi
Seluruh dokumen-dokumen proyek seperti AMDAL, Izin Lingkungan, Izin Operasi Pertambangan diputuskan secara sepihak dan tertutup tanpa mengikutsertakan masyarakat. Demikian juga dengan perundang-undangan PSN yang dibuat dengan cepat, tertutup, dan nir partisipasi rakyat.
Penolakan masyarakat atas proyek-proyek tersebut secara terang disampaikan melalui serangkaian aksi di lapangan, demonstrasi, sampai audiensi kepada Gubernur, Bupati, DPRD, BPN sampai pemerintah pusat. Tetapi, pemerintah justru menjadi aktor yang melindungi perusahaan maupun beroperasinya PSN dan proyek-proyek energi. Demikian juga pemerintah daerah tidak menolak PSN yang mengancam kehidupan warganya, pun tidak menanggapi protes masyarakat. Pemerintah justru membungkam protes-protes masyarakat dengan berbagai cara, yaitu kriminalisasi, intimidasi oleh aparat keamanan, preman maupun Ormas, pembubaran aksi, penutupan akses dokumen, sampai perpanjangan perizinan perusahaan atau Hak Guna Usaha. Selain itu, gugatan-gugatan hukum masyarakat kerap kandas di pengadilan karena putusan hakim yang tidak adil.
Hukum dalam hal ini menjadi alat perampas hak misal melalui Perpres PSN, UU Minerba, dan UU Omnibus Law Cipta Kerja (OLCK). Hukum juga menjadi alat kontrol bahkan memuluskan politik adu domba. Peraturan Polisi tentang PAM Swakarsa menempatkan Satkamling termasuk yang berasal dari kearifan lokal sebagai pemberi keterangan atau informasi yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban lingkungan.
G20: Sebuah solusi palsu?
Selama periode jabatannya, doktrin utama diplomasi pemerintahan Jokowi bersandar pada indikator ekonomi yang mereduksi kerja diplomat hanya sebagai broker bisnis dan perdagangan yang keberhasilannya diukur melalui seberapa banyak investasi asing yang masuk ke Indonesia. Dengan menjadikan capaian finansial sebagai orientasi utama diplomasi Indonesia, Presiden Jokowi menaruh label harga terhadap Indonesia: karena memiliki harga, maka kita bisa dibeli. Tak terkecuali pada perhelatan G20 yang diselenggarakan di Bali saat ini.
Sejak awal berdirinya, G20 prinsipnya adalah komite untuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi melalui praktik imperialisme: ketika negara-negara besar menentukan takdir negara miskin melalui instrumen politik dan ekonomi dengan perjanjian global untuk memperoleh keuntungan.Di tengah polarisasi dunia, pemerintah Jokowi mewakili Indonesia dengan bertindak sebagai ”pedagang” di meja diplomasi untuk menarik investasi sebesar-besarnya. Ini tercermin secara vulgar sampai ke politik lokal pemerintah Bali yang memanfaatkan momentum G20 untuk mempercepat pembangunan megaproyek dengan pembenaran bahwa proyek ini selaras dengan agenda G20. Harapannya, megaproyek yang dibangun ini bisa menarik minat investor negara-negara besar untuk berbisnis di Indonesia.
Pada konteks ini, ada pertautan yang rumit antara politik lokal (pemerintah Bali), Nasional (pemerintah Indonesia), dan politik global yang semuanya berorientasi menjadikan forum G20 ini untuk kepentingan bisnis dan politiknya masing-masing. Dalam setiap kampanye publiknya, pemerintah mengklaim bahwa dengan adanya G20, pemulihan ekonomi akan terjadi, khususnya bagi pariwisata Bali yang krisis setelah pandemi. Klaim ini sejatinya menyembunyikan berbagai masalah pembangunan megaproyek oleh Pemprov Bali dengan alasan menopang G20.
Setidaknya di sepanjang tahun ini, ada megaproyek besar yang dilakukan oleh Pemprov Bali bersama dengan pemerintah pusat, di antaranya: Pembangunan KEK Pariwisata Medis di Sanur; Terminal LNG di Kawasan Hutan Bakau; dan Pusat Kesenian Bali (PKB) di Klungkung.
Pemerintah menyebutkan bahwa semua proyek ini sejalan dengan agenda prioritas G20, utamanya di sektor energi dan kesehatan, dan secara khusus pengembangan pariwisata Bali sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional. Dengan adanya G20, berbagai proyek yang telah dirancang sebelumnya dipercepat prosesnya agar bisa menjadi ”pajangan” bagi mata investor besar yang akan menghadiri perhelatan G20 di Bali.
Menguji Klaim Pemerintah: G20 untuk Kepentingan Ekonomi Rakyat Bali?
Sejak megaproyek pemerintah Bali dijalankan, ada berbagai macam persoalan yang memantik protes rakyat Bali sendiri.
Pertama, pembangunan terminal LNG di kawasan hutan bakau yang juga sekaligus akan menjadi showcase bagi mata pejabat-pejabat dunia. Proyek terminal LNG ini ditolak oleh Desa Adat Intaran karena ancaman kerusakan lingkungan dan ekosistem laut Bali yang akan dihasilkan dari proyek ini. Namun, di tengah penolakan ini, pemerintah Bali tetap memaksakan pembangunan ini karena Bali akan dijadikan percontohan kawasan yang menggunakan energi bersih, dengan harapan ini memberi insentif bagi investor besar mendanai proyek strategis nasional pemerintah di sektor energi terbarukan.
Kedua, pembangunan Pusat Kesenian Bali (PKB) di Klungkung, yang menuai kritik karena banyaknya persoalan dalam proses pembangunannya, mulai dari maraknya pengerukan ilegal di bukit Klungkung untuk memasok material proyek ini hingga pembangunannya yang berada di kawasan rawan bencana. Namun, dengan semua masalah tersebut pembangunan ini tetap dipaksakan, khususnya menjelang G20 sebagai upaya untuk mensosialisasikan proyek ini kepada dunia untuk berinvestasi dalam proyek ini. Bahkan, Pemprov Bali mengklaim bahwa proyek PKB ini telah sesuai dengan prioritas G20.
Ketiga, pembangunan KEK Pariwisata Medis di Sanur. Pembangunan proyek ini sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia untuk menarik investasi di sektor arsitektur kesehatan yang juga menjadi agenda prioritas G20. Bukan hanya itu, bahkan selama persiapan perhelatan G20 di Nusa Dua, tak ada peningkatan kesejahteraan buruh pariwisata secara signifikan: buruh tetap memperoleh gaji pokok sesuai dengan standar upah minimum, kecuali pada peningkatan biaya servis yang sudah biasa terjadi di musim tingginya pariwisata. Semua hal ini membantah semua klaim yang selalu dipropagandakan oleh pemerintah ketika berbicara tentang G20: alih-alih memperbaiki penghidupan rakyat Bali, ada masalah besar yang akan dihadapi oleh masyarakat Bali setelah proyek investasi ini berjalan.
Rakyat Indonesia harus melihat secara kritis dan waspada akan dua faktor berikut:
- Bahwa dengan jumlah dan proyeksi penduduk Indonesia yang terus didengungkan akan mencapai bonus demografinya pada 2045, maka rakyat Indonesia dalam kacamata ekonomi global akan rentan diposisikan sebagai dua hal saja: konsumen produk-produk yang
sesungguhnya jauh dari kata keberlanjutan dan tenaga kerja murah dan miskin perlindungan; - Bahwa berbagai kekayaan alam Indonesia: bumi, air, dan berbagai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan dieksploitasi sedemikian rupa: mengundang berbagai bencana alam dan kemanusiaan, mengulangi kembali lingkaran setan kutukan sumber daya alam, dan membawa rakyat semakin jauh dari janji kesejahteraan, apalagi kedaulatan. G20 dan kesepakatan-kesepakatan di dalamnya tidak ditujukan untuk kesejahteraan rakyat; G20 dan kesepakatan-kesepakatan di dalamnya ditujukan untuk pemulihan, keberlanjutan dan ekspansi kepentingan para elite ekonomi baik luar ataupun di dalam negeri. Elite Stronger, Elite Together.
Oleh karena itu, menyerukan kepada rakyat Indonesia:
- Untuk saling bahu membahu menjaga sumber-sumber penghidupannya dari proses penghisapan oleh para pelaku industri ekstraktif;
- Memastikan bahwa transisi energi, dalam pengertian yang luas, juga menjadi proses demokratisasi energi, dan oleh karena itu demokratisasi ekonomi dan politik. Transisi energi harus diselenggarakan dengan prinsip dan nilai transisi yang adil dan berkelanjutan: akuntabel, transparan, dan partisipatif; menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia; adil secara ekologis; adil secara ekonomi; dan transformatif;
- Membangun kekuatan bersama untuk membangun tata produksi-distribusi-konsumsi sesuai dengan kultur dan budaya yang selama ini melekat di sendi-sendi kehidupan.