Namanya Konser Mini, tapi bukan berarti tak spektakuler.
Tentu saja bukan spektakuler dalam pengertian panggungnya yang besar, tata suara dan pencahayaannya canggih atau iklannya membahana di berbagai media nasional. Dia spektakuler karena misi dan semangatnya yang besar.
Konser itu didedikasikan untuk menyelamatakan pesisir selatan Bali dari upaya investor PT TWBI mengurug lautan di Teluk Benoa seluas 700 hektar menjadi pulau buatan.
Konser ini sudah berlangsung beberapa kali semenjak rencana urug laut investor ini bergulir. Terakhir konser ini digelar pada 19 September 2015 di Antida Soundgarden dan akan digelar lagi 10 Oktober di Rumah Sanur.
Konser ini bukan seperti konser pada biasanya yang disponsori para korporat untuk mengampanyekan produk-produk mereka. Konser ini disponsori oleh rakyat yang bernaung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI).
Biaya konser ini didapat dari sumbangan khalayak umum lewat kotak donasi yang selalu ada dalam setiap acara dan penggalangan dana dari media sosial. Dana juga didapat dari acara lelang karya-karya para seniman yang peduli atas keselamatan pesisir Bali.
Modal Sosial
Modal perhelatan ini juga didapat dari penjualan baju kaos Bali Tolak Reklamasi oleh ForBALI. Hasil penjualan digunakan untuk mendukung logistik gerakan rakyat melawan para rakus ini. Tempat perhelatan serta panitia acara juga muncul dari inisiatif warga penolak reklamasi sendiri.
Dari proses perhelatan ini kita bisa melihat modal utama dari perjuangan rakyat menolak reklamasi di Teluk Benoa bukanlah “modal uang” namun “modal sosial”, yaitu solidaritas rakyat. Rakyat yang peduli saling berpegangan tangan mengerahkan segenap energinya. Baik itu waktu, tenaga, relasi, perabotannya, isi dompetnya, tekad serta napas hidupnya disumbangkan untuk menggagalkan kehadiran proyek yang akan merusak masa depan Bali tersebut.
Jadi Konser Mini ini adalah konser rakyat untuk rakyat. Pemandangan yang jarang terlihat bisa Anda temui di konser mini ini. Karena banyak musisi yang terlibat di dalam ForBALI, maka konser ini tak seperti di konser-konser pada umumnya yang cenderung memposisikan “musisi” sangat istimewa, dilayani panitia, atau tugas “musisi” hanya sebagai penghibur semata.
Dalam Konser Mini, kita akan melihat para musisi ikut sibuk terlibat sebagai panitia. Mereka ikut berkeringat seperti aktif mempublikasi acara ini, terlibat dalam pembuatan desain poster, menjadi MC, mempersiapkan tata suara (sound system), menata panggung hingga bersih-bersih setelah perhelatan selesai.
Patut diketahui, band-band yang bergabung dalam ForBALI adalah band-band yang punya nama besar. Superman Is Dead, Nosstress, Navicula, The Bullhead, dan Ugly Bastard adalah salah satu dari sekian banyak band yang bergabung di ForBALI.
Kesan musisi sebagai “elite” menjadi lebur, mereka menyatu dengan warga “non seniman” bahkan “fans” mereka untuk terlibat serta mewujudkan perhelatan mulia ini hingga tuntas. Musisi-musisi yang tampil pun tak dibayar sepeser pun.
Menggelar hajatan ini ibaratnya “ngayah” dalam konsep gotong royong masyarakat Bali saat warga mempersiapkan upacara kolektif atau memperbaiki bangunan pura dan balai desa. Lewat Konser Mini, rakyat penolak reklamasi ngayah untuk menyelamatkan Bali sebagai rumah bersama dari upaya penghancuran oleh para rakus.
Konser ini berguna untuk banyak hal. Tak hanya ajang untuk mensosialisasikan informasi mengenai dampak buruk proyek tersebut, tetapi juga sebagai alat penguat solidaritas, sekaligus bagian dari “ aksi protes” rakyat terhadap rencana proyek tersebut.
Karena ini adalah bagian dari “aksi protes” maka yang pentas sebenarnya bukan hanya “musisi”, namun “penonton”. Semakin banyak penonton hadir maka semakin menakutkan bagi para rakus. Keramaian penonton adalah “pentas” yang diharapkan menteror balik si biang terror yaitu para pendukung proyek merusak masa depan pesisir Bali itu sendiri.
Karena itu kesuksesan acara ini bukan semata ketika mereka yang di panggung berhasil menampilkan aksi memukaunya, namun juga ketika penonton bertumpah ruah dan bersemangat untuk meramaikannya. Musisi dan penonton menjadi kesatuan, sekat-sekat antara idola dan fans menjadi terhapus atas nama rakyat korban terror pembangunan destruktif.
Beringas Ganas
Pihak yang tidak suka terhadap gerakan penolakan pulau buatan ini menggunakan cara-cara keji seperti merusak baliho tolak reklamasi, membuat akun-akun hantu di media sosial, menebar fitnah-fitnah yang menyatakan gerakan tulus ini digerakan nasi bungkus, atau mencap muda-mudi penolak reklamasi termakan tren. Cara-cara keji ini mempertunjukkan karakter musuh rakyat yang pada dasarnya beringas ganas.
Sangat berbeda dengan rakyat penolak reklamasi yang tampil dengan cara-cara terpuji yaitu lewat kesenian.
Upaya penguasa-pengusaha yang selalu ingin mengokohkan pandangan bahwa protes massa bisa merunyamkan kedamaian Bali, menjadi ambrol jika kita melihat konser mini ini. Melawan lewat berkesenian ini justru membuktikan protes bisa terjewantahkan dengan cara-cara damai dan beradab.
Citra manusia Bali cinta damai yang berusaha dirawat untuk mengontrol manusia Bali agar menjauhi arena protes dan perlawanan terhadap para rakus, dibalik pemaknaannya. Malahan protes dengan cara-cara non kekerasan dalam aksi rakyat menolak reklamasi adalah wujud dari rakyat Bali cinta damai.
Pemberhalaan situasi damai tanpa protes oleh para rakus adalah upaya mengontrol benak rakyat untuk memandang situasi bungkam adalah makna dari kedamaian itu sendiri. Gerakan rakyat tolak reklamasi, meremukan pemahaman seperti itu sebab kebungkaman bukanlah fondasi damai yang sesungguhnya.
Kedamaian sesungguhnya berfondasi keadilan bagi rakyat dan alam beserta kehidupan mahluk hidup lainnya. Kedamaian tanpa keadilan adalah penindasan.
Leluhur kita mengajarkan, pagelaran bukan semata untuk tontonan tetapi dipersembahkan untuk kerahayuan jagat. Tarian-tarian dan kidung-kidung acapkali dipanjatkan setiap musim panen sebagai bentuk rasa syukur terhadap anugrah semesta raya. Dari praktik ritual manusia Bali, kita bisa melihat “kesenian” mengabdikan dirinya terhadap keberlangsungan alam.
Semenjak pariwisata hadir di bumi Bali, berkesenian setahap demi setahap berubah menjadi “komoditas” yang bisa diperjual belikan. Nyanyian dan tarian-tarian yang dulunya berkorelasi dengan alur alam, berubah mengikuti alur kapitalisme pariwisata. Sejak saat itu nyanyian dan tarian dipentaskan dalam pangung-panggung megah di hotel, dan villa yang berpijak pada penyiksaan terhadap alam.
Nyanyian dan tarian di pura-pura digunakan para rakus sebagai “alat” merayu wisatawan untuk datang ke hotel-hotel mereka yang berdiri di atas penggusuran sawah, pembabatan hutan di tebing-tebing, serta penyedotan banyak air tanah di bumi Bali.
Abdi Alam
Dalam “Konser Mini”, kita bisa menyaksikan adanya kesamaan napas berkesenian dengan apa yang dilakukan leluhur kita dahulu. Dendang-dendang yang dipentaskan dalam konser mini ini adalah upaya menempatkan “kesenian” sebagai abdi alam raya, bukan abdinya kaum kaya raya perusak lingkungan.
Leluhur kita dahulu menciptakan kidung-kidung sakral untuk mengusir para perusak alam semisal hama atau roh-roh jahat. Sekarang dalam konser mini ini, kidung-kidung untuk mengusir para perusak alam juga dipanjatkan. Para perusak kali ini adalah penguasa-pengusaha perusak lingkungan.
Sampai detik ini proyek reklamasi Teluk Benoa belum berdiri, dan sampai detik ini pula anak cucu kita beserta alam pesisir selatan Bali di masa depan masih terselamatkan dari proses percepatan kehancurannya. Berarti ini penanda bahwa masih ada kemungkinan besar untuk menyelamatkan masa depan Bali.
Jika kita benar-benar sayang terhadap tanah air tempat kita hidup dan dihidupi ini, maka momentum ini harus kita lihat sebagai jalan penebusan terhadap sikap diam kita di masa lalu yang berdampak terhadap kerusakan alam Bali di hari ini.
Hukum sejarah megajarkan kita, bahwa masa depan akan semakin jauh dari kiamat jika kita mau menebus kesalahan masa lalu kita di masa kini.
Sangat terasa pengaruh kuasa politik para rakus yang ingin membangun kerajaan bisnis di Bali itu begitu kuat, karena mampu mendapatkan dukungan dari kalangan pejabat. Kekuasaan mereka yang terasa kuat ini bukanlah fakta namun “mitos” jika kita tak membiarkan mereka menjalankan aksinya dengan mudah.
Semangat gotong royong masyrakat Bali sudah teruji kesolidannya. Jika energi gotong royong masyarakat Bali baik di pesisir maupun di pelosok menyatu dengan nyanyian dan tarian penolak bala reklamasi itu, kepastian akan keselamatan anak cucu sudah pasti berada dalam pundak kita bukan pundak para korporat-aparat tak pro rakyat.
Ngiring ngayah pang ten Bali nambah benyah (Mari bergotong royong supaya Bali tidak tambah hancur). [b]