Oleh Luh De Suriyani
Sarah, 10 tahun, terkejut ketika baru mengetahui ia telah berkolaborasi dengan sejumlah anak terdampak HIV/AIDS. Perempuan kecil ini menutup mulutnya dan dengan tergesa bertanya, ”Kenapa anak kecil bisa kena AIDS?
Pre-konser yang dilaksanakan di Bali Handara Hokaido, sebuah resor di Bedugul ini adalah pemanasan menjelang konser amal bertajuk Bali Love and Care pada 9 Juni nanti. Tak hanya bermusik, ratusan anak-anak ini menghabiskan waktu setengah hari di Bedugul dengan bermain sambil berkenalan dengan HIV/AIDS.
Sarah misalnya. Ia dan Dian, temannya yang dua tahun lebih tua terus mengajukan pertanyaan soal HIV dan AIDS ketika diajak berbincang. Ia penasaran kenapa banyak anak-anak yang bisa kena dampak akibat penularan HIV. Beberapa anak dari Gerokgak yang ikut konser adalah yatim atau yatim piatu karena orang tua mereka meninggal akibat AIDS, fase ketika kekebalan tubuh hilang dan penyakit mudah masuk akibat HIV.
Difasilitasi Bali Community Cares (BCC), komunitas yang peduli pada anak-anak terdampak HIV/AIDS, pre konser ini juga mengajak orang tua untuk memahami HIV/AIDS. Melalui anak-anaknya, mereka ikut serta dalam dialog lewat musik untuk mengurangi stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (Odha).
Untuk pertama kalinya, 30 anak-anak paduan suara Panji Sakti berdiri di atas panggung menyanyikan dua lagu, Bungan Sandat dan I Have a Dream, diiringi orkestra mini dari Bavisch. Paduan suara ini pun baru terbentuk beberapa hari menjelang pre-konser dan hanya dilatih oleh instruktur satu kali. Chairul Anam, pemilik Bavisch datang sekali ke Gerokgak dan melatih cara bernyanyi dalam paduan suara.
Tak heran, demam panggung melanda sejumlah anak-anak paduan suara. Gede Edi, 12 tahun, sampai menangis karena tiba-tiba pusing dan sulit bernafas. Edi kini menjadi yatim piatu karena infeksi HIV yang merenggut kedua orang tuanya.
Ibu Edi, Kadek Widiasih, meninggal setahun lalu karena acquried immune deficiency syndrome (AIDS). Widiasih hanya ibu rumah tangga biasa. Dia tidak pernah melakukan perbuatan beresiko tinggi menularkan virus penyebab AIDS, human immunodeficiancy virus (HIV), seperti hubungan seks berganti-ganti pasangan tanpa kondom atau memakai jarum suntik secara bergantian. Ibu satu anak itu tertular HIV dari suaminya, Wayan Sulatra yang meninggal tiga tahun lalu juga karena AIDS.
Seusai konser, mereka bermain sambil menambah pengetahuan soal HIV dan AIDS, yang dipandu dokter Oka Negara, salah satu aktivis HIV/AIDS di Bali. Menggunakan kertas warna warni dokter
Setelah mengetahui informasi dasar itu, Sarah dan Dian menjadi tak ragu bermain lebih intim dengan anak-anak yang terdampak HIV itu. Sarah yang semula agak ragu mendekat karena tak tahu, malah terlihat agresif bermain bersama sambil berpegangan tangan dengan empat teman barunya dari Gerokgak.
Sekilas peristiwa di pre konser ini tak berbeda dengan kondisi di Kecamatan Gerokgak. Ketika diketahui beberapa orang terinfeksi HIV, banyak penduduk yang mengucilkan Odha. Mereka yang terinfeksi HIV dianggap dikutuk atau kena sakit buatan (niskala).
Kemudian Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) melakukan penjangkauan dan terbukalah puluhan kasus lainnya. Kebanyakan kasus terjadi pada pasangan suami istri atau dampak hubungan heteroseksual. Menurut catatan YCUI, Gerokgak berpotensi melahirkan banyak anak-anak yang positif HIV, mengingat tingginya perilaku berisiko terinfeksi HIV di daerah ini. Semakin banyak Odha, membuat sebagian penduduk membuka mata bahwa epidemi ini sangat dekat dan menginfeksi siapa saja. Inilah yang perlahan mengurangi stigma dan diskriminasi akibat mitos soal HIV/AIDS.
Menurut Data Dinas Kesehatan Bali, hingga Februari 2007, terdapat 1368 kasus HIV/AIDS di Bali, 200 orang diantaranya di Buleleng. Gerokgak adalah daerah dengan prevalensi kasus HIV/AIDS tertinggi di Buleleng.
Semakin banyak kasus terbuka menyisakan tantangan baru soal perawatan anak-anak yang terdampak HIV, khususnya anak-anak yatim piatu. Karena itulah BCC melakukan advokasi dengan memberikan bantuan pangan, sandang, dan pendidikan bagi 23 anak-anak yatim atau yatim piatu di Gerokgak. Selain itu disiapkan arena bermain dan belajar bersama, agar kelak mereka menjadi corong pencegahan HIV di komunitasnya.
Salah satu caranya dengan melibatkan anak-anak dalam konser musik. Interaksi langsung anak-anak ini menjadi hal yang paling mudah dipahami orang tua mereka untuk mengurangi stigma dan diskriminasi pada Odha. Dan gesekan biola Sarah pun tedengar lebih merdu mengiringi paduan suara Panji Sakti. [+++]
-versi Bahasa Inggris tulisan ini dimuat The Jakarta Post [24/05/07]-