Oleh Komang Adiartha
Berangkat dari keresahan mengamati pendidikan yang ada di pedesaan, warga adat di desa Guwang, Sukawati mendirikan Sekolah Alternatif Anak Tangguh. Keresahn tersebut karena pendidikan anak-anak kami saat ini hampir sama dengan apa yang kami dapatkan 20 atau 30 tahun yang lalu. Sementara tantangan zaman sudah berubah, anak-anak yang lahir di era tahun 2000–an, mereka menghirup nafas pada era globalisasi, di mana mereka hidup dalam era kompetisi. Persaingan merekapun bukan bersaing dengan anak-anak tetanga di desanya, tetapi mereka berkompotisi dengan anak-anak Negara tetangga.
Bali sebagai salah satu daerah global, sehingga tidak sulit bagi kita untuk melihat sekolah internasional, yang sangat berkualitas, tentu saja dengan biaya yang mahal. Namun, anak-anak yang dapat mengakses pendidikan formal bertaraf internasional tentulah anak-anak dari golongan kaya. Anak-anak yang bersekolah di sekolah internasional mendapat beragam fasilitas mulai dari internet, kolam renang, sampai kurikulum bertaraf internasional. Sementara-anak-anak di desa dan pedesaan hanya mendapat pendidikan formal dengan kualitas apa adanya.
Keresahan akan kondisi pendidikan di kampung selalu menghangati diskusi-diskusi ketika ada rapat di banjar, atau ketika me-gebag (melayat dan bergadang di rumah warga yang ada kematian). Wacana tentang pendidikan ini telah dilontarkan sekitar tahun 2002. Namun baru tahun 2007, keresahan tersebut diejawantahkan ke dalam bentuk tekad dan komitmen untuk mengambil inisiatif, mendirikan lembaga yang mencoba melengkapi pendidikan formal yang ada saat ini.
Jika dibandingkan dengan pendidikan internasional secara sederhana kelemahan pendidikan formal di desa adalah anak-anak sedikit sekali mendapatkan pendidikan bahasa inggris dan komputer.
Keresahan warga diwujudkan dengan bergotong royong membangun sarana pendidikan alternatif, bernama Sanggar Anak Tangguh. Gotong-royong ini diwujudkan dengan ada warga yang meminjamkan tanahnya seluas tiga are untuk dipakai sebagai lahan pendirian sanggar, ada warga yang menyumbang dana, ada yang menyumbang bambu, ada yang menyumbang pohon frangipani untuk taman, dan seterusnya.
Semua potensi warga dimanfaatkan untuk pembangunan sanggar. Ada desainer yang merelakan waktunya untuk mengajar gambar. Ada warga yang bisa bahasa inggris mengajar bahasa inggris. Pak Suma, salah seorang warga yang berprofesi sebagai landscaper di salah satu hotel, bersedia menata dan merawat taman di sanggar.
Gung Nik, salah seorang warga yang jadi Guide mempromosikan aktivitas sanggar kepada touris yang kebetulan di-handle, dan pasangan suami istri berkewarganegaraan Kanada yang di negaranya berfrofesi sebagai guru, menyumbang buku-buku sebanyak 250 judul untuk perpustakaan.
Program yang menjadi prioritas di Sanggar Anak Tangguh adalah pendidikan Bahasa Inggris dan komputer. Karena belum adanya fasilitas computer yang memadai, sampai saat ini yang baru bisa dilakukan program sebagai berikut; Pendidikan Bahasa Inggris, Menggambar, Menari Cha-cha dan matematika.
Relawan Asing
Yoyo (seorang ibu dengan 2 putri, dari Jepang, yang telah menikah dengan warga lokal) mengajar menari cha-cha dan tari Bali. Ibu Susan seorang guru TK yang telah mengjar TK, selama 30 tahun di Inggris, dan ibu Paulina remaja putri dari Australia membantu mengajar anak-anak bahasa Inggris.
Juga pernah ada seorang mahasiswa dari Gambia, Afrika yang mengajar bahasa inggris. Dalam acara perpisahan nya (ferewell party), ada seorang anak yang bertanya, mengapa kakak Petrick mau membantu mengajar kami, Petrick mengatakan bahwa dia ingin berterima kasih kepada warga Indonesia karena dia telah diberi beasiswa oleh pemerintah Indonesia.
Sudah menjadi kesepakatan di antara relawan local, kalau ada relawan asing yang hadir, maka kesempatan mengajar diberikan kepada relawan asing dengan pertimbangan anak-anak bisa berinteraksi laksung dengan tamu-tamu dari mancanegara, dan juga pronounsation-nya akan menjadi lebih baik. [b]