Apa yang bisa dilakukan di tengah perkembangan teknologi untuk lingkungan? Hingga saat ini, seberapa jauh teknologi membantu kita memperhatikan perkembangan lingkungan?
Refleksi yang coba dituangkan dalam diskusi road to AJW 2022 bersama Mongabay Indonesia, Wahya Biantara dan PPLH Bali. Bertema Adaptasi Teknologi Digital Menjawab Masalah Lingkungan. Dibuka dengan kebiasaan masyarakat yang telah ditelaah kepala desa Bengkel, Wahya Biantara.
“Saya pernah ngobrol dengan warga saya, katanya ngapain ruet-ruet ngurusin sampah, dulu orang tua kita ngga pernah mikirin sampah. Dibuang saja di teba,” pemaparan Wahya menyampaikan perspektif warganya soal sampah.
Kepala desa Bengkel banyak melibatkan teknologi dalam mempercepat desa menangani soal sampah. Wahya sering menyampaikan realita zaman dulu untuk berdiskusi bersama warganya soal penanganan sampah. Realitas ketika plastik belum diciptakan secara masif. Masyarakat di Bali sebenarnya sudah mengenal sistem pengolahan sampah keberlanjutan dengan memanfaatkan teba (halaman belakang rumah).
“Teba selalu dipakai, dari dapur ke teba, dari teba ke dapur. Teba biasanya berada di belakang rumah. Di teba ditanami tanaman yang menjadi kebutuhan sehari-hari di dapur sehingga bisa dipakai dapur lagi. Tapi itu zaman plastik belum merajalela ya, itu masih relevan,” kata Wahya.
Namun, di zaman plastik ini menantang Wahya sebagai kepala desa untuk meneruskan perspektif-perspektif soal sampah ke warganya. Namun, ia merasa teknologi jauh mempercepat proses pengelolaan sampah di desanya. Keterlibatan teknologi di Desa Bengkel Wahya mulai sejak mengumpulkan 1.100 kontak Whatsapp para warganya untuk blasting informasi pengelolaan sampah.
“Kepala wilayah saya ga perlu ke rumah-rumah menyampaikan informasi itu. Melibatkan bantuan influencer untuk mempublikasikan kegiatan di bank sampah juga.”
Setelah menyebarkan pemahaman soal pengelolaan sampah ke warganya terus berjalan, Wahya melakukan identifikasi jumlah dapur warganya. Sehingga setiap ada pengangkutan sampah, petugas tau sampah itu datang dari dapur siapa. Akan terlihat jelas sampahnya sudah terpilah atau belum.
Melangkah semakin detail, setelah ketelusuran pemilik sampah terdata, dibuatkan kembali sistem informasi desa. Data yang lebih detail mengenai berapa orang yang ada di masing-masing dapur warganya. Ketika ada masyarakat yang tidak memilah sampah akan mendapat peringatan lewat WA.
Pemanfaatan google drive juga digunakan Wahya untuk mengukur serapan sampah, keaktifan warga, perkembangan jumlah warga yang ikut mengumpulkan sampah di bamk sampah. Setelah google drive, ia membuat aplikasi Simasa. Masing-masing kader banjar menginput data sampah yang disetor masyarakat di Simasa.
“Sehingga saya bisa tau di masing-masing rumah sampahnya seperti apa. Aplikasi ini disupport griya luhu,” tambah Wahya.
Setelah aplikasi itu ada dan perkembangan data semakin luasia kembali membuat sistem informasi manajemen sampah di Desa Bengkel. Terintegerasi dengan data kependudukan, sehingga data semakin sahih.
Dengan keterlibatan teknologi itu, Wahya jadi tahu berapa warga menyetor sampah organik. Dari tahun 2021 dengan percepatan informasi melalui teknologi, ia menemukan 76% kepala rumah tangga sudah mengikuti program bank sampah.
“Dari 476 dapur 76% sudah bergabung,” Wahya menambahkan.
Wahya juga mengenali siklus keaktifan warga menabung sampah di bank sampah melalui data yang ia kelola di sistem informasi manajemen sampah (Simasa). Terlihat ada siklus empat bulanan warga mengumpulkan di bank sampah.
“Jadi masyarakat aktif menabung setiap empat bulan. Setelah saya survei, masyarakat mengumpulkan sampahnya selama 2 bulan di rumah. Setelah terkumpul baru dibawa ke bank sampah. Mereka stock dulu di rumah,” kata Wahya dalam diskusi road to AJW secara daring.
Menurut Wahya data itu penting untuk melihat apa yang bisa ia kerjakan agar strategis. Ia memaparkan kembali bahwa di desanya ada 1,7 ton sampah anorganik setiap bulan dari 164 warga. Setiap kepala rumah tangga memproduksi 548 gram sampah anorganik. Sedangkan sampah residu selalu ada 7kg setiap harinya.
Di era digital di PPLH juga menggunakan media sosial dan aplikasi mensosialisasikan pengelolaan sampah. Anak Agung Istri Tatik Rismayanti dari PPLH menggunakan peran media sosial untuk sosialisasi ketika pandemi.
Kerja-kerja PPLH yang banyak bergelut di bidang edukasi terkait pengelolaan sampah, Gung Tik, panggilan akrabnya, menyatakan ada tahapan dasar sebelum sosialisasi. Sebelum melanjutkan pada tahap penyadaran soal pengelolaan sampah, ia bersama teman-temannya di PPLH melakukan survei lewat aplikasi terlebih dulu.
“Karena masyarakat tidak semua terakses internet, kami memilih aplikasi untuk collect data secara offline. Dari survei itu mereka semua bisa mengetahui bahwa sampah itu harus dipilah dan dikelola,”
Tapi, ia menambahkan, soal pengelolaan sampah di masyarakat lebih mudah terbentuk ketika ada penegakkan yang kuat. Sayangnya, penegakkan terkait pengelolaan itulah yang belum maksimal. Sehingga, pengelolaan lingkungan juga belum baik.
Dari antusias yang ia lihat banyak anak muda menggunakan medsos. Sehingga PPLH menyiapkan konten untuk menyasar anak-anak dan anak muda. Apalagi selama pandemi PPLH banyak melakukan sosialisasi ke sekolah melalui daring.
Justru lebih ramai dan banyak yang bergabung ketika daring. PPLH mendorong anak-anak sekolah yang berbagi pengalamannya soal pengelolaan sampah ke teman-temannya sendiri. Platform digital ini adalah peluang untuk edukasi. Terutama sasaran anak muda dan anak-anak.
“Ketika diberikan ruang untuk berbicara, ternyata banyak cerita yanng tidak biasa dia ceritakan di kelas jadi seru dan bisa mengajak yang lain melalui daring,” Gung Tik membagikan ceritanya.
Akhyari Hananto dari Mongabay Indonesia menyampaikan dunia teknologi digital ini jadi media yang strategis untuk melakukan gerakan lingkungan. Apalagi hasil survei mengatakan kaum milenial dan gen z adalah generasi yang paling care soal lingkungan hidup. Ditemukan bahwa kaum-kaum ini sangat konsen soal bahaya global warming.
Atas kesadaran kaum ini dalam survei menemukan 71% mereka menjawab sustainability adalah jawaban. Ketika mindset sudah terbentuk, sadar akan pesan keberlanjutan, maka membangun konservasi lebih mudah diterima.
Soal mengurangi krisis iklim lewat teknologi sebenarnya sudah kita lakukan. Intenet menjadi tools untuk mengatasi krisis. Hanya saja format informasi yang beragam. Saat ini selera anak muda sudah bergeser ke video-video vertikal dan video pendek.
Di tengah perkembangan teknologi yang bergandengan dengan konservasi lingkungan, Wahya dan Gung Tik masih terus memilah agar teknologi bisa menambal persoalan baru. Seperti Wahya, saat aplikasi dan penggunaan teknologi di desanya terus berkembang, ia juga fokus menjangkau warganya yang jauh.
“Saat ini fokus menjangkau warga yang ragu-ragu agar bisa memilah,” kata Wahya.
Tantangan pengolahan sampah Desa Bengkel masih soal masalah pendanaan, budaya, regulasi prosesnya. Meski sudah berbasis teknologi, Wahya hingga saat ini tidak menerapkan denda untuk warganya yang belum memilah sampah.
Ia justru menggunakan media sosial sebagai kontrol sosial. Dengan memberikan insentif pada pemuda untuk menjaga ekosistem air yang sedang dibentuk di desanya. Cara kerjanya, para muda harus mempublikasikan apapun yang mereka lakukan. Sehinga kegiatan yang ada di desanya itu viral. Pesan-pesan soal menjaga lingkungan tersirat di dalam konten digital itu.
“Secara tidak langsung di sekitarnya jadi tahu di Desa Bengkel ga boleh mancing di saluran irigasi. Karena kita punya kelompok memelihara ikan. Setiap malem mereka patroli untuk menjaga,” tutur Wahya.
Di sisi lain, PPLH bersama Gung Tik mengalami perbedaan generasi ketika sosialisasi menggunakan teknologi. Dulu kadernya generasi atas agak kesulitan menggunakan pertukaran info melalui digital. Namun ia mulai melibatkan relawan anak muda.
“Kami ingin mengembangkan pengelolaan sampah berbasis teknologi digital di Nusa Penida. Tantangannya tidak semua anak nusa penida tidak semua menggunakan hp apalagi kami menyediakan sistem secara online. Sehingga khusus di Nusa Penida PPLH tidak menggunakan aplikasi. Kita harus aware pada masyarakat lapisan ini,” kata Gung Tik.