Oleh Luh Sari (nama samaran)
Pandemi sudah terjadi dan kita tidak mungkin lari.
COVID-19 menginfeksi berbagai lapisan masyarakat. Virus ini memiliki efek berbeda pada kelompok orang berbeda pula. Bukan hanya cara kerja virus, tetapi bagaimana dampak yang ditimbulkan pada sisi kesehatan dan ekonomi dalam jangka panjangnya.
Namun, ada bukti bagaimana virus ini mempengaruhi secara berbeda. Michele Tertilt ekonom di Universitas Mannheim, Jerman mengumpulkan bukti bagaimana pandemi ini mempengaruhi pekerja perempuan dan laki-laki. Pembatasan gerak mengakibatkan hilangnya pekerjaan secara luas dan banyak negara akan menghadapi resesi. Dari sudut pandang ekonomi, perempuan berpenghasilan rendah adalah yang paling berdampak menurut Natasha Mudhar, pendiri The World We Want (PBB).
Kesenjangan upah antar jenis kelamin menambah ketimpangan ini. Perempuan lebih banyak kehilangan pekerjaan, terutama orangtua tunggal. Mereka mengalami dampak lebih parah lagi. Tiga perempat dari kelompok ini adalah perempuan. Tanpa penghasilan mereka harus tetap mengurus keluarga dan anak-anak. Mereka kehilangan pekerjaan dan tetap bertahan.
Hal ini menjadikan COVID-19 sebagai hal terbaru yang membawa kesenjangan ekonomi termasuk yang terkait dengan gender. Cllare Wenham seorang profesor kebijakan kesehatan Global di London School of Economics dan Political Science mengatakan, masalah ini tidak dibicarakan orang dan para pembuat kebijakan tidak menyadarinya.
Kompleks
Saya adalah seorang perempuan pecandu, orang dengan HIV AIDS (ODHA) dan orangtua tunggal dari tiga orang anak. Jika dibayangkan, sangatlah komplek permasalahan yang harus saya hadapi di masa pandemi ini.
Masalah kesehatan, keluarga dan finansial menjadi contoh dampak permasalahan baru yang harus saya hadapi. Saya sadar sepenuhnya saya salah satunya yang masuk dalam kelompok orang rentan akan penularan penyakit. Hal yang bisa saya lakukan saat ini hanya menjaga kesehatan dan mengikuti aturan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.
Terkait dengan lingkungan, ada aturan aturan adat yang harus tetap saya jalani selama masa pandemi ini. Misalnya, tetap ikut dalam upacara adat piodalan, ngaben masih berjalan sesuai aturan desa adat.
Akses obat antiretroviral (ARV) semenjak pandemi ini agak sedikit terhambat dikarenakan pasokan obat yang mulai terbatas. Obat saya hanya diberikan bertahap per sepuluh hari dari yang sebelumnya obat diberikan untuk satu bulan. Dengan demikian intensitas ke Rumah sakit lebih sering.
Saya berkali kali harus menghindar dan membohongi diri. Setelah beberapa saat saya pikir sudah sehat dan baik-baik saja. Tapi yang namanya kehidupan terus memberi kejutan yang selalu sempat membuat saya jatuh berkali-kali.
Satu yang saya pahami sekarang, tidak ada yang mampu menyembuhkan jiwa saya selain diri saya sendiri. Memiliki mental sehat dan kuat adalah syarat utama untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi agar mampu menjadi ibu yang baik dan menjalani peran peran lain yang saya emban di hidup saya saat ini.
Pandemi sudah terjadi. Mau bagaimanapun kita tidak mungkin lari. Hal yang bisa kita lakukan hanya beradaptasi dengan keadaan. Setiap masalah membutuhkan solusi demi menjaga kewarasan diri. Meskipun terkesan klise berusaha, bersabar dan tetap bersyukur adalah siklus yang akan terus berulang selama hidup.
Pandemi COVID-19 banyak memberikan perubahan pada kehidupan manusia dari perubahan aktivitas dan kebiasaan sehari-hari. Semua itu pasti ada positif dan negatifnya. Mengingatkan kita semua untuk lebih peduli lagi akan kesehatan diri, keluarga dan lingkungan.
Harapan saya ke depannya kita semua selalu diberikan kesehatan dan kekuatan untuk bisa melalui semua bersama-sama dan saling menguatkan satu sama lain. [b]
Catatan: Tulisan ini merupakan juara pertama kategori komunitas dalam lomba menulis HIV AIDS Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) periode Oktober 2020 dengan tema Suka Duka Penanggulangan HIV AIDS di Tengah Pandemi COVID-19.