Campur tangan pemerintah terhadap keimanan seseorang tidak (selalu) membuat keadaan membaik.
Masyarakat memerlukan agama atau kepercayaan sebagai media untuk mendekatkan diri dengan hal yang bersifat religi. Bagi saya religi tersebut bukan semata mata membicarakan agama, tetapi lebih kepada perasaan personal terhadap apa yang Anda yakini.
Ada beberapa sudut dalam diri manusia yang tidak akan selalu mampu dinalar dengan hitungan dan logika yang pasti. Suatu ruang yang diperlukan untuk hidup dan berfikir secara independen dan mengaitkan dirinya dengan keberadaan alam semesta yang luas ini. Sampai saat ini, agama dan kepercayaanlah yang mampu memberi bagian untuk itu.
Contohlah ketika kita bingung harus bertindak seperti apa padahal segala cara sudah kita tempuh. Alhasil kita akan berserah diri pada suatu kekuatan di luar diri dan memohon yang terbaik.
Oh ya, back to the topic, agama yang awalnya sebagai sarana yang mendekatkan masyarakat dengan Tuhannya kemudian berubah menjadi sebuah pengkategorian sosial. Pergerakan besar dari masyarakat kemudian memunculkan sistem institusi di dalam agama.
Sistem institusi ini diperlukan untuk mewadahi secara profesional ledakan umat terhadap agama yang mereka anut. Dilihat dari sisi tersebut, pemegang amanat institusi agama (salah satunya) adalah untuk melaksanakan tugas-tugas yang diwahyukan Tuhan terhadap masyarakat. Alasan lain adalah untuk menjaga kesucian ajaran agama agar tidak bergeser ataupun membelok seiring banyaknya masyarakat yang menganut dan pergerakan zaman yang terus terjadi.
Dengan adanya institusi, agama menjadi pakem yang memiliki aturan terhadap ajarannya dan dapat disanksikan kepada penganutnya, jika penganutnya membelok atau tidak setuju terhadap agama tersebut. Sudah tentu semua akan kembali untuk menjaga kesucian ajaran agama seperti yang dijelaskan di atas. Namun, yang membuat agama dapat bertahan dalam kurun waktu lama adalah menyatunya kebudayaan setempat terhadap agama atau kepercayaan yang bersangkutan.
Dengan mengadopsi kebudayaan masyarakat setempat, agama dapat bertahan sesuai dengan kondisi sosial di daerah tersebut. Contohnya adalah agama Hindu di India dan Bali. Memiliki konsep yang mirip, tetapi dalam pelaksanaannya berbeda. Terlebih dari alasan di atas, dengan institusi diharapkan fungsi religius dari agama bersangkutan dapat berjalan dengan baik. Layaknya (1) fungsi pelayanan sabda tuhan ; mewartakan ajaran agama, (2) fungsi penyucian ; penyebaran rahmat dari Tuhan, dan (3) Fungsi penggembalaan ; umat / masyarakat mendapatkan pimpinan / bimbingan yang terarah.
Masyarakat merupakan pergerakan individu yang komunal. Ini berarti merupakan sebuah pergerakan sosial. Apa saja yang berhubungan dengan sosial selalu menyangkut kepentingan banyak orang. Termasuk juga kepentingan-kepentingan kelompok berkuasa.
Fenomena ini yang terjadi di Indonesia seperti saat Departemen Agama didirikan dan digunakan sebagai acuan dalam menentukan kepentingan masyarakat beragama. Campur tangan pemerintah terhadap keimanan seseorang ternyata tidak (selalu) membuat keadaan membaik. Masih saja ada individu atau masyarakat yang mendewakan agamanya masing-masing dan tidak pelak menistakan agama lain. Bahkan menjadi sangat superior di antara agama lain dan bersikeras untuk menegakkan aturan demi kelancaran masyarakat yang menegakkan aturan tersebut.
Mungkin ini bukan hanya tanggung jawab institusi semata. Bukan. Mungkin permasalahan ada pada perubahan pola pikir dan gaya hidup pada masyarakat. Iya, itu jika kita mencari siapa yang salah dan siapa yang benar.
Fenomena lain seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang memuat kolom agama sebagai identitas singkat terhadap individu yang bernaung di bawah negara Indonesia. Entah apa fungsinya di saat masyarakat yang memiliki agama yang tidak sesuai dengan enam agama besar Indonesia tidak dapat mendapat akses listrik maupun air karena tidak bisa mengisi kolom agama yang mereka tidak anut.
Indonesia secara geografis sangatlah luas dan itu berarti kepercayaan terhadap hal yang bersifat religi juga banyak dan beragam. Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan terdapat 245 aliran kepercayaan yang terdaftar di Indonesia. Namun, sayang, tidak semua itu diakui negara sebagai agama dan hanya dikategorikan kepercayaan. Sayang sekali jika pengkategorian sosial lewat KTP dan Departemen Agama hanya berlaku untuk enam agama sesuai peraturan pemerintah.
Beberapa hal yang tercecer seperti ketika penganut kepercayaan (bukan dalam enam agama yang diakui pemerintah) berniat akan mendaftarkan listrik maupun PDAM. Tentu syarat identitas penduduk yang tercantum dalam KTP harus terpenuhi. Saat mereka bertolak untuk mengurusi segala administrasinya, para pegawai pemerintah merasa enggan dan susah menerima di saat kolom agama pada KTP mereka kosong. Terbayang kemudian prosedur yang sulit lantaran satu keluarga tersebut tidak ingin ‘diwakilkan’ imannya dengan nama enam agama besar dalam selembar KTP demi kelancaran administrasi.
Tidak ada yang salah di sini. Si pemohon tidak salah karena secara pribadi apa yang beliau percayai memang turun temurun seperti itu. Petugas juga tidak salah karena pengaturan tentang kosongnya kolom agama (mungkin) memang belum ada penyelesaiannya. Yah, itu lah yang saya rasakan ketika menonton kisah tersebut dalam sebuah dokumenter pendek yang mengambil daerah di Jawa.
Sementara di luar sana, banyak polemik terjadi ketika sebuah wacana dilontarkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terpilih tentang kesetujuannya untuk menghilangkan kolom agama di KTP. Reaksi masif datang menanggapi. Ada yang setuju, tetapi tidak sedikit yang kontra. Ada yang mengatakan dengan pengosongan kolom agama, Indonesia perlahan menjadi negara yang tidak beragama. Ada yang mempermasalahkan jika kolom agama kosong, bagaimana mereka bisa mendoakan rakyat yang kecelakaan dan meninggal di jalan. Sampai ada yang kekeuh mengatakan jika tidak beragama maka orang tersebut adalah komunis.
Well, Komunisme adalah ideologi politis. Agama sesuatu yang bersifat personal. Sampai sekarang saya tidak paham dengan konsep cocoklogi yang mengaitkan agama dan komunis. Seperti yang dikatakannya bahwa yang tidak beragama berarti komunis. Selanjutnya kenapa begitu kolom agama dikosongkan, kita langsung mempermasalahkan cara mendoakan ketika rakyat tersebut meninggal? Kenapa harus mati yang dijadikan acuan pembelaan terhadap kolom agama?
Lalu ketika republik ini berdiri, para pendahulu kita tidak melulu mempermasalahkan agama namun lebih kepada bagaimana bisa merdeka dari penjajah. Sekarang sepertinya kita dijajah pemikiran atas nama agama di negeri sendiri. Jika perlu bukti, bisa dilihat kembali isi sila pertama dari Pancasila. Apakah bersifat merangkum secara general atau superior akan satu agama atau kepercayaan?
Apakah ini berarti pengkategorian sosial dalam hal agama merupakan cara yang tepat? Atau ini sebuah sistem pengaturan agar masyarakat lebih patuh terhadap kekuasaan yang lebih besar atas nama agama? Karena sekarang ini banyak orang beragama tapi tidak memiliki rasa empati terhadap manusia lainnya. Mereka berdoa, bersembahyang namun saling mencerca dan melukai satu sama lain atas nama agama.
Saya kembali terbayang akan kata-kata dari Tenzin Gyatzo, Dalai Lama ke-14 yang meraih nobel perdamaian pada tahun 1989. Dia berkata, “My religion (agamaku) is very simple (sesuatu yang sederhana). My religion is Kindness (kebaikan) ”. Duh, apakah kita tidak merasa tertampar? [b]
Salah kaprah pendidikan di Indonesia yang mengajaran bahwa komunisme sebagai antitesis keagamaan. Komunisme berakar dari komunitas. Doktrin komunisme menyatakan kepemilikan semuanya (alat produksi/lahan kebun) oleh komunitas, dan bukanlah suatu paham (ketidak adaan) agama.
Agama seharusnya adalah hubungan pribadi antara seseorang dengan Tuhan dimasa hidupnya, dan nanti nya setelah kematian. Mengapa masyarakan (yang notabene hidup sekarang) bisa merasa arogan dan memaksakan mendoakan yang mati nantinya? Apakah ini sebenarnya merupakan ekspresi ketakutan akan kelemahan kehidupannya sekarang sehingga perlu memproyeksikannya ke orang lain?