Oleh Luh De Suriyani
Satu orang dengan HIV/AIDS (Odha) atau people living with HIV/AIDS (PLWH) meninggal di rumah sakit Sanglah, Denpasar pada Selasa (16/9) lalu. Sampai saat ini, Odha yang telah meninggal di RS Sanglah sebanyak 179 orang.
Pria yang meninggal karena tuberkulosis (TB) paru kemarin berusia 33 tahun. HIV telah melemahkan sistem kekebalan tubuhnya hingga gejala penyakit mudah menyerangnya. Salah satunya TB yang menjadi penyebab tertinggi kematian Odha.
Jumlah kematian Odha ini makin meningkat dari tahun ke tahun, seiring dengan peningkatan jumlah Odha yang melakukan pemeriksaan tes HIV secara sukarela (Voluntery Counseling and Testing/VCT) di Klinik VCT RS Sanglah. Rumah sakit ini menjadi rujukan bagi sebagian besar pasien Odha di Bali.
“Penjangkauan yang semakin banyak dari LSM membuat jumlah orang yang bersedia tes HIV makin tinggi,” ujar Sagung Suryani, kepala klinik VCT Nusa Indah RS Sanglah. Sagung yang juga kerap merawat Odha ini menyesalkan karena lebih banyak pasien Odha datang pada saat kondisinya sudah amat parah, yakni stadium IV. Suatu kondisi dimana gejala penyakit sudah sulit diobati karena kekebalan tubuh turun drastis.
Selain itu, menurutnya banyak Odha adalah orang miskin, sehingga sulit melakukan perawatan maksimal. RS Sanglah hanya menyediakan obat anti retro viral (ARV) gratis. Obat penghambat berkembangnya HIV dalam tubuh memang digratiskan untuk semua pasien Odha di seluruh Indonesia.
“Tapi, penyakit Odha kan banyak sekali. Ada TB, infeksi kulit, dan lainnya,” ujarnya.
Kematian Odha di RS Sanglah meningkat dua kali lipat dari tahun 2004, yakni dari 32 orang meninggal menjadi 71 orang pada 2007. Jumlah ini dari 370 Odha yang menjalani VCT di RS Sanglah. Faktor risiko mereka yang terkena HIV ini kini lebih banyak karena hubugan seks dari pasangan heteroseksual, sebanyak 353 orang.
Padahal sebelumnya, faktor risiko tertinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting drug users/IDUs). Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali menunjukkan hingga Juli ini, jumlah Odha di Bali adalah 2208 orang. Tahun ini mengalami peningkatan pesat, hampir 50%. Data ini dikumpulkan sejak 1987 di Bali, ketika kasus infeksi HIV pertama ditemukan pada turis Belanda.
Dari jumlah itu, sebanyak 1297 terinfeksi dari hubungan heteroseksual, sebagiannya berstatus suami istri. Sebanyak 662 orang terinfeksi dari penggunaan narkoba suntik, 133 orang dari hubungan homoseksual/biseksual, akibat kelahiran 29 orang, dan sisanya tidak diketahui faktor risikonya.
Sagung Suryani mengatakan pasien Odha yang dirawat di Sanglah, tidak menadapat ruang perawatan khusus agar tidak terkesan didiskriminasikan. “Semua ruangan bisa digunakan untuk merawat Odha karena kami telah mempraktekkan universal precuation,” ujarnya.
Hanya saja, ia menambahkan, dalam hal data medis, perawat dan dokter memegang prinsip kerahasiaan untuk status HIV pasiennya. Jadi, tidak diperkenankan menyebut status HIV tanpa persetujuan pasien itu sendiri.
Yusuf Rey Noldy, salah seorang konselor Odha mengakui semakin banyak mendampingi suami istri yang terinfeksi HIV. “Kebanyakan, suami yang menulari istrinya. Persoalannya banyak yang tidak tahu sudah terinfeksi HIV, istrinya hamil, dan anaknya pun tertular,” ungkap Noldy, aktivis Yayasan Hatihati, lembaga penanggulangan AIDS dan narkoba di Bali.
Ia sendiri merasa makin kesulitan karena harus mendampingi Odha yang makin banyak di pelosok pedesaan di Bali, khususnya di Kabupaten Buleleng dan Karangsem. “Ironisnya lagi, mereka semuanya sangat miskin. Akses air bersih saja susah, karena itu gejala penyakit sangat mudah menyerang,” tutur Noldy. [b]
Sesuatu yang sangat ironis memang…. kemiskinan membuat banyak masyarakat di bali tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan yang memadai.
Menurut saya peningkatan kematian ODHA dipengaruhi karena semakin meningkatnya jumlah ODHA di masyarakat. Fenomena gungu esnya seperninya udah kelihatan “sedikit”
ih serem banget baca tulisan ini. tapi ini realita yang harus dicari solusi terbaiknya. sosialiasi juga harus lebih gencar ke masyarakat.