Mentari menyapa dingin. Perahu-perahu kecil hikmat dibelai air laut. Hiruk pikuk di kampung nelayan mulai terlihat.
Pemandangan itu pernah akrab dengan Desa Kedonganan. Namun, kini, hiruk pikuk di Kampung Nelayan itu tak ada lagi. Lalu, masihkah Kedonganan layak mengemban julukan ‘kampung nelayan?
Desa Kedonganan tak lebih sebagai desa pesisir biasa yang terletak di daerah Tuban, Kuta Kabupaten Badung. Kedonganan pada era 80-an hanya bergelut pada hasil sumber daya laut.
Meskipun dekat Bandara Ngurah Rai dan pusat pariwisata, toh Kedonganan tak tersentuh imbas gemerincing dolar. Yang menonjol justru citra sebagai kampung nelayan, kaya nelayan namun miskin penghasilan.
Menginjak era 90-an perikanan dan kelautan tak lagi menjadi satu-satunya cara untuk memperoleh penghasilan dan kesejahteraan masyarakat Kedonganan. Sejak saat itu aktivitas pariwisata mulai tumbuh subur.
Dulu, di sepanjang pesisir Pantai Kedonganan berjejer masyarakat mengais rezeki dari laut. Kini berganti kafé di sepanjang pesisir. Usaha kafé tersebut awalnya diberikan modal oleh lembaga perkreditas desa (LPD) Kedonganan sebesar Rp 12 juta. Hasilnya ternyata memberikan efek luar biasa bagi Kedonganan.
Selain membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, juga mengubah pola pikir masyarakat Kedonganan dari agraris-pesisir menjadi masyarakat yang meninggalkan pesisir dan menjelma menjadi pembisnis.
Menurut data www.lpdkedonganan.com, semula 90 persen penduduk Desa Kedonganan bermata pencaharian sebagai nelayan. Seiring berjalannya waktu mata pencaharian penduduk mulai bervariasi. Saat ini 60 persen bekerja di kafé, 25 persen sebagai buruh dan 15 persen nelayan.
Permasalahan itu terletak pada siapakah remaja yang ingin jadi nelayan? Bukan pada keterbatasan hasil laut. Pertanyaan yang terlintas masih layakkah Desa Kedonganan mengemban julukan “kampung nelayan’ apabila miskin nelayan?
Sampai saat ini terdapat 24 kafé yang beroperasi. Namun, di balik kelancaran pariwisata tersebut, terjadi dampak negatif yaitu pencemaran di Pantai Kedonganan akibat limbah restoran. Pencemaran lainnya degradasi air laut.
Lalu, masih pantaskah julukan ‘Negara Maritim’ jika tidak mampu menjaga keamanan laut seperti Desa Kedonganan?
Tak ubahnya Indonesia hanya memprioritaskan bidang pertanian. Apakah Indonesia tidak ingin membenahi pesisir? Indonesia negara maritim? Ah kata siapa. Indonesia mengabaikan nilai laut. Ini terbukti dari setiap tahunnya kekayaan Indonesia menguap sebesar Rp 300 triliun akibat pencurian ikan oleh nelayan asing.
Kata siapa bidang kelautan dan perikanan tidak dapat bergerak dalam hal ekonomi untuk mensejahterahkan rakyat? Dan jalan satu-satunya hanya mengolah hasil laut dalam bentuk membuat kafé?
Tidak, Ekonomi kelautan tak hanya berkutat pada profesi membuat café dan nelayan. Ada sebelas sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan yaitu perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, hutan mangrove, perhubungan laut, sumber daya alam pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim serta sumber daya alam non konvensial.
Total nilai ekonomi yang dapat menyejahterakan rakyat diperkirakan mencapai 1,2 triliun dollar AS pertahun dan dapat menyediakan lapangan pekerjaan untuk 40 juta orang. Sampai saat ini laut Indonesia baru dimanfaatkan secara produktif hanya 20 persen.
Kalau potensi tersebut dapat dimanfaatkan rendahnya daya saing dapat teratasi.
Remaja tak mau menjadi nelayan. Itulah kalimat yang acap kali terucap dari bibir remaja. Remaja tak ingin menjadi nelayan karena ‘gengsi’ tinggi dan belum memiliki bayangan bagaimana menjadi seorang nelayan. Padahal ke depannya nelayan tak hanya mengandalkan memancing ikan di laut, tapi juga membuat tambak udang untuk budidaya udang vanammei, udang windu dan rumput laut.
Dapat diprediksi dalam lima tahun ke depan pendapatan nelayan per orang mencapai Rp 15 juta setiap bulan, apabila mampu mengolah laut dengan kreatif.
Lihat saja nanti, apakah pulau yang mengemban julukan pulau ‘seribu pura’ tetap mampu mempertahankan eksistensinya dalam bidang kelautan? [b]