Oleh Anton Muhajir
Banyaknya turis mancanegara di Bajawa, Ngada, Flores agak mengejutkan saya. Ketika saya menulis daftar tamu di hotel Edelweis, Bajawa, Senin (20/4) malam kemarin saya baca banyak nama bule yang menginap di hotel ini.
Padahal awalnya saya pikir hanya akan ada Nicolas Ardissone, turis dari Perancis yang bertemu dengan saya sejak berangkat dari Bali. Nicolas ini satu pesawat dengan saya dari Bali. Semula dia berencana ke Gunung Kelimutu, Ende. Tapi ketika ngobrol satu pesawat dengan saya, termasuk soal perjalanan saya ke Bajawa, ternyata dia mengubah rencana. Dia memilih ke Bajawa daripada ke Ende.
Saya kira dia hanya akan jadi satu-satunya turis asing di Bajawa. Ternyata tidak. Di kota Kabupaten Ngada ini cukup banyak turis. Padahal saya sendiri yang orang Indonesia juga jarang mendengar nama kota ini sebagai tempat tujuan wisata. Sebatas yang saya tahu dan pernah dengar, Bajawa masih kalah tenar dibanding Labuan Bajo tempat di mana terdapat kawasan wisata Taman Nasional Komodo atau Gunung Kelimutu di Ende.
Karena kotanya kecil, salah satunya bisa dilihat dari hotel yang semuanya hotel melati, atau bangunan di kota yang hanya satu dua yang bertingkat, maka bagi saya puluhan turis itu sudah banyak.
Objek wisata yang menarik di Bajawa juga tidak banyak. Petugas hotel yang saya tanya hanya menyebut Desa Bena sebagai satu-satunya tempat yang biasa dikunjungi turis. Desa ini adalah desa tua yang masih memegang kuat tradisi. Rumah-rumahnya pun masih tradisional baik bangunan maupun penataannya. Karena saya belum pernah ke sana dan hanya melihatnya dari foto, saya melihatnya tak jauh beda dengan dua desa tua di Bali yaitu Desa Tenganan di Karangasem atau Desa Penglipuran di Bangli.
Tanpa tempat wisata yang banyak, apalagi kalau dibandingkan Bali, maka saya agak heran dengan banyaknya turis asing di Bajawa. Apalagi bulan-bulan ini juga bukan peak season atau musim panen turis mancanegara.
Hal menarik bagi saya adalah ternyata salah satu alasan mereka ke Bajawa adalah karena mereka ingin menikmati suasana Indonesia yang sesungguhnya. Dan uniknya tiga turis asing ini bilang Bali sudah tidak seperti Indonesia.
Karakter tiga turis ini sama. Mereka di Bali terlebih dulu sebelum ke Flores. Tapi di Bali mereka hanya sehari. Paling banter dua hari. Alasannya, Bali tak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya.
Di beberapa sumber informasi yang mereka punya tentang Bali, misalnya buku atau website, mereka mendapatkan informasi tentang Bali yang masih tradisional. Setidaknya tidak seperti yang mereka temui saat ini.
Nicolas si bule Perancis itu misalnya mengaku kecewa karena Bali yang dia temui tak menawarkan kesenyapan yang dia bayangkan. Maka dia pilih kabur ke Nusa Lembongan setelah dia sampai di Bali.
Pekerja di bidang deteksi gas ini memulai perjalanan di Indonesia dari Jogjakarta sekitar dua minggu sebelumnya. Dari kota gudeg dia berkunjung ke Gunung Bromo, Kawah Ijen, lalu ke Bali.
Namun dia kecewa karena Bali menurutnya terlalu dibuat untuk turis. Hotel, restoran, dan seterusnya memang disediakan untuk kebutuhan turis. Saya pikir itu sudah hal yang seharusnya dilakukan Bali sebagai salah satu tujuan wisata. Tapi ternyata bagia sebagian orang itu tidak pas.
“Untuk apa saya jauh-jauh ke Bali kalau menemukan hal yang juga ada di negara saya,” kata Nicolas.
Memang sih dia hanya melihat Sanur dan Nusa Lembongan. Dia perlu menjelajah Bali lebih lama karena toh masih banyak tempat yang lebih tradisional seperti di Tenganan, Ubud, dan seterusnya. Namun isyarat dari Nicolas juga perlu ditangkap. Apalagi dua turis lain juga mengatakan hal yang sama.
Sepasang turis dari Hongaria itu tinggal di Kuta selama dua hari. Dan mereka mengaku Kuta terlalu bising, tak seperti mereka yang dapatkan di internet: tenang dan tradisional.
Maka mereka kemudian pilih ke Flores, termasuk Bajawa. Di Flores mereka memulai perjalanan dari Labuan Bajo, Manggarai Barat. Lalu lanjut ke Ruteng, Bajawa, terakhir di Gunung Kelimutu.
Pasangan Hongaria mengaku terkesan dengan suasana Flores. “Ini tempat yang saya cari karena masih apa adanya,” kata si cowok.
Pilihan tempat yang sederhana itu seperti bukan hanya mereka bertiga. Ada sekitar 20 orang di restoran tempat kami makan Selasa tadi malam. Hanya tiga di antaranya, aku dan dua teman lain, yang dari Indonesia. Sisanya bule semua. Restoran yang dipilih pun bukan Camellia yang dilengkapi musik dan karaoke. Mereks justru memilih Dito’s yang lebih sederhana: berdinding kayu..
Setelah capek dengan kehidupan yang modern, para bule itu sepertinya ingin sesuatu yang lebih apa adanya. Itu yang kadang-kadang memang terasa hilang dalama pariwisata Bali. [b]
aduh… Bajawa, sangat menyenangkan sekali daerah ini. apalagi ditemani dengan segelas kecil moke dan rokok yang digulung dengan daun lontar…, hehehehe :D. mantap!
“…salah satu alasan mereka ke Bajawa adalah karena mereka ingin menikmati suasana Indonesia yang sesungguhnya…” ==>> ini maksudnya mereka suka daerah yang “tertinggal” gitu ya? dan mengharapkan agar indonesia tetap “tertinggal”? hehehehe… 😀 😀 (ini celetukan asal aja lho..)
Aku pernah komentar seperti itu di Jogja Ton, dalam beberapa diskusi dengan beberapa teman kuliah. Bali sibuk menjual diri dengan mall, klub malam, hotel berbintang, dsb. Istilah gampangnya, bali jadi pemburu turis, bukan sebaliknya, turis yang memburu bali.
Bali terlalu menuruti keinginan turis. Pusat perbelanjaan super lengkap, hotel berfasilitas internasional, restoran dengan menu makanan/minuman asing, klub malam dan diskotik yang nyata2 jauh banget dari budaya bali, dsb., adalah barang dagangan bali sekarang ini. Trus, apa bedanya bali dengan negara asal para turis itu? Kasarnya, bali itu udah pasaran banget, ndak ada spesialnya.
Memang sih, tamu (turis) adalah raja. Tapi tuan rumah toh bukan babu. Seharusnya bali bisa memposisikan diri sebagai raja (tuan rumah) yang sedang menyambut raja (tamu). Bukan babu yang menyambut juragannya.. 🙂
bukannya seneng ma daerah tertinggal, tapi kesehajaan. Misalnya makan pakae alas daun, minum pake wadah bambu. hmm…. yummy..
setelah dijajah belanda selama 350 tahun, mental bangsa kita menjadi mental budak kolonial. kita masih saja beranggapan, bahwa orang kulit putih lebih tinggi derajadnya daripada bangsa sendiri. banyak cewek indonesia bermimpi ingin kawin dengan laki bule, dengan alasan demi keturunan. ingin keturunan mereka bertampang indo, supaya bisa jadi selebriti. menyedihkan, tetapi fakta.
turist2 eropa senang datang ke flores disebabkan karena persamaan agama. memang agama bisa menjadi alat pemersatu yang kuat, dan sebaliknya bisa menjadi alat pemecah yang sangat berbahaya. kefanatikan agama dapat membuat manusia menjadi lupa daratan, berani berbuat sesuatu diluar nalar yang sehat.
pulau bali tetap menjadi tujuan vakansi utama, sebab sudah terkenal sebagai pulau yang exotis dan murah. sebagai anak bali saya sedih melihat bali yang makin lama makin redup keasliannya. cemerlangnya hanya karena lampu listrik.
komentar2 para turist eropa tidak perlu ditanggapi terlalu serius. siapa sih mereka itu ? apakah mereka bill gates ?
bukan ! mereka 90 persen adalah kelas kampungan.
jika mereka ingin kesunyian, keterbelakangan atau ketentraman, kenapa mereka harus kepulau bali ?
dinegeri mereka banyak sekali desa2, dimana banyak rumah yang tidak mempunyai wc (water closet). suruh saja mereka tinggal didesa eropa. lho jika kita meninggalkan kebiasaan mekilat, koq mereka ingin lihat kita mekilat lagi.
jika turist bule mau mekilat, sediakan saja disetiap penginapan sebatang pohon waru atau dadap.
hongaria ? itu negara miskin, yang utangnya dua kali lipat daripada gross domestic product. negara ini praktis sudah bangkrut, sekarang menunggu infusi dari imf. ditahun 60-an, ketika eropa masih terbelah oleh tirai besi menjadi dua bagian, dengan satu bos rokok marlboro atau 3 pasang kaos kaki nylon, para hidung belang dengan mudahnya mengencani cewek hongaria yang terkenal panas seperti lombok (paprika).
memang seharusnya kita menghormati tamu ! tetapi harus ada timbal balik yang setimpal. apakah orang2 bule menganggap kita sebagai manusia yang sederajad, yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi ? walahuallam. mereka berbuat seenaknya di bali. apakah mereka berani bertingkah di singapura, tokio atau monaco ?
kemiskinan yang membuat kita hilang harga diri.
kita masih miskin, tetapi para pembesar di jakarta cekcok
urusan pangkat dan jabatan. Quo vadis Indonesia.
bli made,bli ketut, bli putu mengatakan..”bali bukan milik bali lagi,,”
miris memang rasanya mendengar pernyataan tersebut..
memang di satu sisi bali yang menjadi salah satu tempat tujuan para turis berusaha berbenah diri dengan melakukan pembangunan di berbagai sektor…
tapi pembangunan yang semakin gencar tanpa memikirkan faktor yang lain seperti adat dan budaya bali itu sendiri, maka yang terjadi adalah penghancuran bali sedikit demi sedikit sehingga apa yang akan di wariskan generasi sekarang kepada generasi selanjutnya hanya akan menjadi sebatas wacana saja…
seandainya kita sadar akan sebuah potensi suatu daerah dimana potensi serta daya tarik daerah tersebut memang murni berasal dari adat serta budaya maka yang harus kita lakukan adalah menjaga tanpa harus merubah apa yang telah ada..
jangan hanya berusaha mengejar yang namanya devisa semata kita menjadi babu di rumah sendiri..
hilangkan sifat ketergantungan terhadap orang lain(turis) dan mulailah membentuk paradigma bahwa orang lain(turis) yang membutuhkan kita dan dia akan datang pada kita.. dan kita akan menjadi raja di tanah kita sendiri..
ya begitulah bali. sing ngidaan ngomong ape2, ngantosang semakin usak aja, dirusak oleh kerakusan. tidak salah turis beralih ke destinasi yang lebih tenang dan alamin.
tapi mereka kayaknya belum ke daerah tianyar karangasem. di sana juga senyap dan pemandangannya indah. tapi susah air, yang ada tuak dan arak..
Nyoman oken.Coment jangan asal coment, seandainya bali tiada turis masuk berarti bali masih yang asli yang dulu tak ada bedanya alias ketinggalan jaman. Bali tetap bali dan juga tetap indonesia.Kalau memang orang bali kuat uang ya jangan dijual tanahnya.Memang merata dibali sekarang adalah orang asing,tanahnya dibeli dibikin hotel,pekerjanya orang indonesia kan nambahin adanya tempat kerja.Bukannya orang asing datang kebali karena miskin seperti yang dikatakan nyoman oken. Coba lihat bali aslinya dulu,jadi jangan iri dong dengan orang asing yang liburan ke bali jalan2 merekakan ada uang,coba pikir masak2 seandainya anda ingin liburan berapa juta yang harus disiapkan untuk liburan?Bisakah pak nyoman begitu?
Nyoman oken emang aneh. di AS dan Kanada bule2 nya juga ga terlalu suka Bali tuh, kumuh dan bising, tidak seperti iklan.
Kasian deh elu, bilang2 bule2 Eropa kampungan, wong orang2 sedunia senengnya malah ke Eropa, bahkan Bill Gates apalagi!
payah kamu, di kasih masukan yang baik buat Bali malah jelek2in negara lain.