Oleh Wayan Sunarta
Bakat seninya telah muncul sejak dia masih kanak-kanak. Karena tidak mampu melanjutkan sekolah, dia menghabiskan waktunya bermain di pantai dan belajar menggambar di atas pasir. Dia suka menggambar kartun figur-figur manusia jelata. Seringkali seekor anjing liar menemaninya menggambar di pantai.
“Setiap saya menggambar di pantai anjing itu selalu muncul entah dari mana. Lama kelamaan saya jadi suka menggambar anjing di pasir,” kenang Wayan Sadha, kartunis asal Bali.
Sadha lahir di Jimbaran, Bali, 29 Juli 1948. Pendidikan resmi yang sempat ditempuhnya hanya sampai kelas dua Sekolah Rakyat. Orang tuanya yang nelayan tidak mampu menyekolahkannya karena keterbatasan biaya. Pada tahun 1960-an dia merantau ke Singaraja, berharap disekolahkan di sana oleh pamannya. Namun dia malah dijadikan pembantu dan diperlakukan sangat kasar. Tahun 1965 dia kembali pulang ke Jimbaran.
Kemudian Sadha banyak belajar dan menimpa ilmu secara otodidak, baik dari membaca buku dan koran, maupun dari pengalaman dan pergaulannya yang luas dengan kawan-kawannya. Berbagai bidang pekerjaan pernah dilakoninya. Ia pernah menjadi pedagang kayu bakar, pedagang ikan, nelayan, buruh gali, fotografer keliling, hingga wartawan. Saat menjadi fotografer keliling dan wartawan itulah ia banyak menyerap berbagai realita kehidupan, dari kelas bawah sampai atas. Pengalaman itu kemudian dituangkannya ke dalam karya-karya kartunnya.
Ketika dia memutuskan menjadi kartunis, sosok anjing kacang masa kecilnya selalu muncul sebagai maskot dalam kartun-kartunnya. Anjing kacang itu dinamainya Sompret yang selalu nyeletuk dan menutup percakapan tokoh-tokoh kartunnya yang berwujud manusia, seperti Nang Kocong, Nang Eblong, I Jebug, Tut Dalut, Men (Bu) Klecung, I Baglur, I Gede Tanglus, Si Fudin, Mas Bejo, Si Badrun.
Sadha merasa cocok dengan nama “Sompret” sebagai maskot kartun-kartunnya. Sompret bukan sekadar nama anjing kacang yang beraninya hanya menggonggong ketimbang menggigit. “Sebenarnya Sompret itu saya artikan sebagai “trompet” yang sesekali berbunyi di tengah keriuhan bunyi-bunyi lainnya. Kalau Taufik Rahzen memaknai Sompret sebagai Sombong tanpa Pretensi,” ujarnya terkekeh.
Sejak tahun awal 1990-an, kartunnya yang khas Bali banyak menghiasi majalah dan koran pariwisata yang terbit di Bali, di antaranya Majalah Archipelago, English Corner (sisipan Bali Post), Bali Echo. Kemudian kartun-kartunnya dimuat di Harian Nusa, Majalah Sarad dan Majalah Taksu. Sadha juga pernah beberapa kali ikut pameran kartun, di antaranya pameran bersama Prakarti dan pameran di ARMA Museum, Ubud, Bali.
“Tahun 1994 saat masih di English Corner, kartun-kartun saya juga pernah dikritik oleh seorang kartunis Bali sebagai kartun sampah yang tidak layak dimuat media massa. Tapi saya tidak peduli, saya terus berkarya,” ujarnya.
Kartun-kartun Sadha yang cenderung bertutur banyak mengungkap berbagai permasalah sosial yang berkembang di sekitarnya. Fenomena masyarakat itu kemudian bertautan dengan berbagai persoalan lain yang mengepung Bali, seperti masalah lingkungan, adat, budaya, agama, perilaku manusianya, pariwisata, trend budaya, hingga hal-hal yang riskan dan berbau politik. Tidak sulit bagi Sadha mencari ide untuk membuat kartun. Pengalaman hidup merupakan sumur inspirasi yang tiada habis-habisnya.
“Ketika mendapatkan ide suatu kartun, saya tertawa sendiri. Saya juga tertawa geli saat menggambar ide-ide itu menjadi kartun. Barangkali itulah kebahagiaan saya sebagai kartunis,” ungkapnya.
Pada tahun 1994, kartun-kartun Sadha dihimpun dalam buku berjudul “Bali di Mata Sompret” yang diterbitkan oleh Pustaka Bali Post. Namun karena alasan khusus buku itu tidak jadi diedarkan. Dan pada tahun 2008, dikuratori Jean Couteau, sebanyak 165 kartun Sadha kembali dihimpun dan diterbitkan menjadi buku berjudul “The Dog of Bali Sompret, Celoteh Anjing Bali” (Pustaka Larasan). Dalam buku itu, pesan-pesan kartun yang memakai Bahasa Bali diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
Namun, sebagai seorang kartunis, penghasilan Sadha tidaklah seberapa. Untuk menyambung hidup, dia masih tetap mengambil pekerjaan sebagai fotografer dan mengisi rubrik di Majalah Taksu. Keuangan Sadha juga banyak dibantu oleh seorang kawan akrabnya dari Amerika. Bahkan anaknya juga diberikan beasiswa oleh orang Amerika itu. “Saya pernah membantu orang Amerika itu penelitian tentang orang sakit jiwa di Bali. Sejak itu kami berkawan akrab,” kenang Sadha.
Tidak hanya menggambar kartun, Sadha juga menulis cerpen dan sesekali melukis. Tidak jauh dengan kartunnya, tema-tema lukisannya kebanyakan tentang kehidupan rakyat jelata. Lukisannya yang bernuansa kartun pernah terpilih dan ditampilkan dalam pameran Bali Bienalle 2007. Selain itu, Sadha juga menulis cerpen berbahasa Bali. Pada tahun ini buku cerpennya yang berjudul “Leak Pemoroan” akan diterbitkan oleh Balai Bahasa Denpasar. Kebanyakan cerpennya juga diolah dari ide-ide kartunnya, dan tentu saja selalu muncul tokoh anjing cerdas bernama Sompret.
Sadha sengaja membubuhkan gambar-gambar kartunnya dengan banyak pesan. Hal ini karena kebiasaan Sadha ingin menyampaikan pesan sejelas-jelasnya. Pesan-pesan kartun Sadha sangat blak-blakan, bahkan pada beberapa kartun terkesan vulgar. Namun ia tidak terlalu peduli dengan estetika kartun yang sering didegung-degungkan oleh para kartunis dari kalangan akademis. Ia terus berkarya dengan ciri khasnya sendiri: karya-karya yang sangat jelata, apa adanya, bikin kebakaran jenggot bagi yang terkena percikan api sindirannya. Kartun-kartun Sadha sangat khas Bali. Bukan hanya karena teks pesannya yang memakai Bahasa Bali, namun penokohan, suasana dan atribut-atribut pakaiannya juga khas Bali.
Kartun-kartun Sadha jarang menyerang orang per orang atau tokoh per tokoh. Ia lebih banyak menukik ke realitas sosial. Kartun-kartunnya lebih mengarah ke aliran realisme-sosial. Ia mengritik atau menyindir sepedas-pedasnya terhadap apa yang terjadi dalam realitas sosial. Kartun-kartunnya sarat dengan berbagai macam kritik dan sindiran dari berbagai gejala sosial, lingkungan, pariwisata, budaya, agama, adat yang terjadi di Bali. Bahkan Sadha tak segan-segan menelanjangi perilaku orang Bali yang dianggapnya ironis, paradoks, konyol dan tolol. Misalnya, ketimpangan perilaku orang Bali menghadapi pendatang dan turis, interaksi orang Bali dengan lingkungan hidup dan komunitasnya, cara orang Bali menghadapi perubahan sosial.
Dengan penggambaran yang kumuh, kadang seronok, apa adanya, kartun-kartun Sadha memang kebanyakan berkisah tentang rakyat jelata. Tentang ketidakberdayaan para jelata Bali menghadapi berbagai macam kekuasaan dan berbagai permasalahan yang berkembang di masyarakat. Kekuasaan tersebut bisa berupa kekerasan dan diskriminasi adat, kebijakan pemerintah, kesewenang-wenangan investor. Juga ketidakberdayaan menghadapi serbuan warga pendatang yang mengadu nasib di Bali. Secara perlahan warga pendatang memunculkan masalah kecemburuan sosial karena persaingan ekonomi dan perebutan lahan kerja yang kian menjadi-jadi.
Ketika wacana Ajeg Bali diumbar oleh pemerintah Bali dan penguasa koran terbesar di Bali hingga ke pelosok desa, banyak bermunculan ironi dan hal-hal paradoks. Wacana Ajeg Bali merupakan reaksi keras terhadap tragedi bom Kuta. Razia KTP digelar di mana-mana dengan sasaran utama kaum pendatang, para pemulung dan kuli-kuli bangunan yang menghuni bedeng-bedeng. Razia KTP dilakukan oleh hansip dan pecalang (petugas keamanan adat) yang bertampang sangar dan bersenjatakan keris. Penjagaan di pelabuhan Gilimanuk diperketat. Pecalang juga dikerahkan.
Namun seiring perjalanan waktu, penjagaan di pintu gerbang Bali-Jawa itu semakin longgar. Banyak penjaga yang tak tahan ditempeli duit sepuluh ribuan. Ini tentu sangat ironis dengan wacana keamanan dan pengamanan Bali.
Wacana Ajeg Bali kian hari kian semarak dan merebak ke mana-mana. Semua lini kehidupan di Bali dikaitkan dengan Ajeg Bali. Wacana yang sangat politis itu menjadi semacam budaya tanding terhadap para pendatang. Wacana Ajeg Bali bahkan merambah wilayah kuliner. Melalui promosi di media terbesar di Bali, berkembangkan Bakso Krama Bali yang memakai daging babi sebagai tandingan terhadap semaraknya Warung Jawa, Rumah Makan Banyuwangi, Warung Padang, Sate Madura, Bakso Malang yang telah mengepung Bali. Bakso Krama Bali bahkan telah merambah hingga ke pelosok-pelosok desa.
Melalui kartun-kartunnya, Sadha banyak mengritik wacana Ajeg Bali itu. Mulai dari konsep dan perilaku orang Bali berkaitan dengan wacana Ajeg Bali sampai ke persoalan Bakso Krama Bali yang dianggap berasa lawar (makanan khas Bali). Orang Bali terbiasa membuat lawar, namun tidak bisa membuat bakso.
Kepada pemerintah dan para penguasa di Bali, Sompret, si anjing kacang Bali, melontarkan pertanyaan yang sangat keras: “Ajeg Bali atau Adep (jual) Bali?” [b]
Eling tertarik ama Sadha N Sompret.
Bisa Kenalan dimana ya ??????????
Kayaknya nyambung nich ama Eling,,,,
hehehehe… nebeng tenar dong
Sompret Metulupan.. ini dia gambar2 kartun yg sering saya temui di majalah pariwisata saat sya masih sekolah dlu.. gaya gambarnya membumi asli Bali tidak tepengaruh gaya dan teknis modern spt kebanyakan kartunis lain.